BatasNegeri – Siang itu, Ardi (33) bersama kedua rekannya sudah berhasil mengisi penuh muatan kapal dengan banyak ikan. Beberapa jaring yang mereka tebar ke tengah laut ternyata berhasil menangkap banyak ikan. Sampai di sini, semuanya berjalan dengan lancar.
Masalah baru muncul ketika mereka hendak pulang ke daratan. Mesin motor yang membawa kapal mereka ke tengah laut mendadak tak bisa berfungsi. Telepon genggam yang mereka bawa pun tidak bisa digunakan karena sulit mendapatkan akses jaringan seluler. Alhasil ketiga nelayan ini tak bisa memberi kabar ke sanak saudara. Mereka terjebak di tengah laut.
Keadaan seperti itulah yang sehari-hari dirasakan warga Pulau Salura, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Selama 72 tahun Indonesia merdeka, mereka belum bisa menikmati akses jaringan seluler yang memadai. Gara-gara akses jaringan seluler yang sulit itu, tak jarang warga Pulau Salura hilang di tengah lautan ketika kapalnya mengalami kerusakan mesin.
“Sekitar tiga tahun lalu ada warga yang hilang karena kapalnya mengalami kendala saat melaut,” ujar Ibrahim Muhammad Saleh dan Munajar yang juga merupakan warga Pulau Salura.
Tak cuma jaringan seluler, masalah lain datang dari ketersediaan pasokan listrik. Pada malam hari, warga di sana harus rela hidup gelap gulita akibat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) tak bisa beroperasi selama 24 jam. Menurut Selasa Majid, warga Desa Prai di Pulau Salura, rumah-rumah di sana hanya mendapatkan penerangan listrik dari pukul 08.00 sampai maksimal pukul 21.30 waktu Indonesia tengah (Wita).
“Dulu usai PLTS dibangun, listriknya menyala selama 24 jam selama lebih kurang 1,5 tahun. Namun sekarang, kadang pukul 08.00 malam pun sudah padam,” ujar Majid.
Dengan demikian, lanjut Majid, warga—terutama nelayan—amat dirugikan dengan pemadaman tersebut. Mereka tak dapat lagi menyimpan hasil tangkapan lautnya ke lemari pendingin atau freezer. Tantangan lain datang pula dari pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Masyarakat di pulau terluar bagian selatan Indonesia ini harus pergi ke Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur, untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya.
Warga harus menempuh tujuh jam perjalanan, dengan rincian dua jam ke Pulau Sumba menggunaan kapal dan lima jam perjalanan darat. Itu pun mereka harus menyewa kapal motor nelayan karena tidak ada kapal angkutan dari dan ke Pulau Salura. Untuk ini, warga harus merogoh kocek hingga ratusan ribu rupiah.
Keluhan warga setempat juga terjadi pada bidang kesehatan. Menurut mereka, pelayanan kesehatan di sana masih kurang karena minimnya petugas medis di wilayah tersebut.
Warga Pulau Salura, Kecamatan Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang berbatasan dengan Negara Australia, saat menggelar upacara bendera untuk pertama kalinya di wilayah mereka.
Meski mengalami banyak kendala dalam menjalani aktivitasnya, warga Pulau Salura tetap cinta dan setia dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal tersebut terlihat pada peringatan HUT Ke-72 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2017. Waktu itu, ratusan warga dan pelajar di pulau tersebut dengan antusias mengikuti peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan di pinggir pantai.
Usai melaksanakan upacara bendera, warga pun mengibarkan 1.945 bendera Merah Putih yang disebarkan di Pulau Salura dan dua pulau terluar lainnya, yakni Pulau Kotak dan Pulau Mangudu. Mereka melakukan itu sebagai bentuk wujud kecintaannya terhadap Republik Indonesia.
“Kami semua warga di sini sangat senang dan bangga ada upacara bendera di sini. Sejak dulu sampai sekarang, kami tidak pernah ikut upacara bendera saat hari kemerdekaan, dan ini adalah yang pertama bagi warga,” kata Iwan.
Membangun dari pinggiran
Masalah-masalah yang terjadi pada jaringan seluler, pasokan listrik, transportasi, dan pelayanan kesehatan di Pulau Salura bisa jadi dialami daerah-daerah pinggiran lain di Tanah Air. Untuk itu, Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan selalu menegaskan komitmennya untuk membangun Indonesia dari pinggiran.
Komitmen ini dia tunjukkan dengan blusukan ke kawasan Indonesia Timur dan pulau terluar. Dia juga berkali-kali meminta jajarannya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, terlebih di daerah pinggiran dan perbatasan antar-negara. Lalu, apakah membangun dari pinggiran itu hanya tanggung jawab pemerintah semata?
Jawabannya tentu saja tidak. Semua elemen di negeri ini, termasuk sektor swasta, bisa membantu pemerintah dalam membangun daerah pinggiran.
Deputy GM Marketing PT Yamaha Indonesia Motor Mfg. (YIMM), Eddy Ang, memberikan donasi kepada Kepala SD Inpres Pulau Salura, Rasyid Longsoh, di Nusa Tenggara Timur, Minggu (11/3/2018). Donasi tersebut dalam rangka VixionR_1DekadePeduli.
Salah satunya seperti yang dilakukan PT Yamaha Indonesia Motor Mfg (YIMM) dalam kegiatan corporate social responsibility (CSR) bertajuk “VixionR_1DekadePeduli” YIMM di Pulau Salura pada Minggu (11/3/2018).
Melalui aktivitas tersebut, YIMM bekerja sama dengan kitabisa.com untuk menyerahkan donasi sebesar Rp 50.453.886 ke SD Inpres Pulau Salura. Pabrikan roda dua asal negeri sakura itu juga memberikan Power Product Generator seri EF6600E yang berfungsi sebagai sumber listrik untuk mengatasi krisis listrik di sana.
“Semoga bantuan yang diberikan Yamaha dapat meningkatkan kesadaran belajar siswa-siswi. Bantuan ini diharap menjadi dorongan bagi orangtua dan guru untuk lebih memperhatikan pendidikan anak-anak Salura,” ucap Rasyid, Kepala SD Inpres Pulau Salura, seperti dimuat situs resmi YIMM.
Diharapkan, kepedulian pabrikan motor berlogo garpu tala itu bisa menjadi penggerak, tak hanya bagi sektor swasta, tetapi juga semua elemen bangsa untuk membangun daerah-daerah pinggiran di Indonesia. Dengan begitu, pemerintah tak lagi sendirian dalam membangun kawasan tersebut.
Harapan warga perbatasan untuk mendapatkan akses jaringan seluler, pasokan listrik 24 jam, kemudahan transportasi, dan kesehatan yang memadai, seperti keinginan penduduk di Pulau Salura, bisa segera terpenuhi.[*]
kompas.com
More Stories
Membangun Masa Depan Anak Perbatasan RI- Timor Leste melalui Minat Baca
Belajar dari Rote: Sekolah di Perbatasan, Ilmunya dari Penjuru Dunia
Dampak kemarau di perbatasan Indonesia-Timor Leste