BatasNegeri – Para dokter tentu harus memiliki jiwa petualang. Pasalnya, bisa saja mereka ditugaskan untuk pelayanan kesehatan ke daerah-daerah terpencil, perbatasan dan pedalaman.
Seperti halnya program Dokter Spesialis yang dikirim ke Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) sesuai program pemerintah. Mereka harus siap dikirim ke daerah-daerah perbatasan dalam waktu tertentu.
Setelah beberapa tahun program pelayanan kesehatan dihentikan, memasuki triwulan-II 2018 program dokter spesialis DTPK kembali diadakan. Untuk Kabupaten Malinau, Kalimantan Barat ada dua daerah pedalaman yang tersentuh program ini, yakni Desa Long Sule, Kecamatan Kayan hilir dan Desa Wisata Setulang, Kecamatan Malinau Selatan Hilir.
Sesuai geografis wilayah, Desa Long Sule merupakan desa paling susah dijangkau dari jalur darat dari daerah mana saja. Hingga saat ini desa penghasil anyaman rotan ini belum dapat ditembut melalui jalur darat. Salah satu transportasi yang dapat menjangkau desa ini, pesawat terbang.
Namun, terbatasnya penerbangan ke desa terpencil dan terisolasi ini membuat semakin sulit menyambangi desa berpenduduk kurang lebih 600 jiwa tersebut. Untuk menjalankan program dokter terbang, pemerintah harus mencarter pesawat terbang dengan isi penumpang 9 orang Rp 17 juta sekali penerbangan.
Desa Long Sule memang belum pernah menerima program ini. Melihat tantangan itu, dua dokter di RSUD Malinau tertantang menjadi bagian dari program tersebut. Ia adalah dr Anak Agung Gede Dwipa BSp PD, dokter penyakit dalam dan dokter gigi Emawati Prawitasari SpKg.
“Beberapa kali kami ingin ikut ke desa ini memberikan pelayanan kesehatan. Tapi, selalu saja ada kendala saat kami ingin berangkat. Mulai tidak adanya penerbangan sampai batalnya penerbangan ke desa ini,” ujar dokter Ema saat bercerita soal perjalanannya ke Long Sule beberapa waktu lalu.
“Saya sangat antusias untuk berangkat ke Long Sule. Meskipun desa ini cukup jauh dan harus menggunakan transportasi khusus ke sana, saya mendengar desa ini memiliki keunikan. Saya ingin melihat masyarakat menganyam tas rotan, dan sekaligus memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat,” ungkapnya.
Ditanya soal apakah ada persiapan khusus sebelum berangkat ke Long Sule, dokter yang juga berstatus sebagai pegawai negeri ini mengatakan, tidak ada. Sebelum bertugas di RSUD Malinau, 2007, Ema lebih dahulu menjadi PTT di Desa Long Alango, Kecamatan Bahau Hulu yang juga merupakan daerah perbatasan dan pedalaman.
Sama seperti Ema, dokter Gede menyatakan, beberapa kali ingin ke Long Sule selalu gagal. Antusiasme Gede semakin bertambah, karena ia akan mendatangi desa yang paling susah terjangkau. Persiapan khusus pun tidak ada. Sama dengan Ema, sebelum bertugas di RSUD Malinau, ia juga sempat bertugas di Desa Pulau Sapi, Kecamatan Mentarang pada 2001 lalu.
“Jaman tahun segitu, Pulau Sapi tidak seperti sekarang ini yang sudah rame penduduk, ramai kendaraan dan jalan menuju ke sana sudah lebar dan beraspal. Dulu kendaraan sangat minim di sana. Jalan darat tidak ada. Jadi, saya juga pernah bertugas di terpencil seperti itu,” bebernya.
Selama dua hari, dua dokter didampingi 7 petugas kesehatan akan memberikan pelayanan kesehatan di Long Sule dan desa tetangganya Long Pipa. Dalam dua hari, 400 pasien berhasil dilayani dokter ini.
Setelah dari Long Sule, beberapa hari kemudian tim kesehatan langsung bertolak menuju Desa Wiasata Setulang, untuk menjalankan program yang sama.[*]
tribunnews.com
More Stories
Belajar dari Rote: Sekolah di Perbatasan, Ilmunya dari Penjuru Dunia
Dampak kemarau di perbatasan Indonesia-Timor Leste
Nelayan Johor Keluhkan Polusi dan Ikan yang Berkurang, Causeway Singapura-Malaysia Disebut Biang Keladinya