5 Desember 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Keraton Matan Tanjungpura, Peninggalan Melayu di Pulau Kalimantan

BatasNegeri – Sore itu saya berkesempatan berkunjung ke Keraton Kerajaan Matan Tanjungpura. Keraton yang terletak di Jalan Pangeran Kesuma Jaya, Kelurahan Mulya Kerta, Kecamatan Benua Kayong. Keraton ini memiliki arsitektur yang unik dengan dominan warna kuning dan hijau di setiap dindingnya.

Seorang penjaga keraton Uti Syahrudin menceritakan, Kerajaan Matan, sekarang di Ketapang, adalah bagian dari garis keturunan kerajaan melayu di Pulau Kalimantan. Sejarah dan asal-usul Kerajaan Matan sendiri cukup rumit karena pemerintahan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tanjungpura yang kemudian melahirkan dua pemerintah turunan, yaitu Kerajaan Sukadana dan Matan.

Akibat konflik internal yang berujung pada perebutan kekuasaan, Pemerintah Matan kemudian terbagi lagi menjadi dua, yakni Kerajaan Simpang-Matan dan Pemerintah Kayong-Matan. Di sisi lain, Pemerintah Sukadana, sebagai penerus pertama Kerajaan Tanjungpura, masih tetap eksis di samping dua kerajaan pecahan Kerajaan Matan tersebut.

Kerajaan Tanjungpura sendiri pada mulanya adalah kerajaan yang didirikan oleh Brawijaya yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Kerajaan Tanjungpura mengalami masa keemasan sekitar abad ke-14. Kerajaan ini adalah kerajaan tertua di Tanah Kayong. Tanah Kayong digunakan untuk menyebut Ketapang yang konon terkenal sebagai tanah para penyihir. Dari sejarah Kerajaan Tanjungpura inilah asal-usul Kerajaan Kerajaan Matan.

Ibu kota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Penyebabnya terutama karena serangan dari kawanan bajak laut (bajak laut) atau dikenal sebagai “lanun”. Pada saat itu gerombolan lanun sangat kejam dan mengganggu. Pemerintah Tanjungpura menggeser pusat pemerintahan demi mempertahankan diri dari serangan.

Negara Baru Ketapang adalah salah satu tempat yang pernah menjadi pusat Pemerintahan Kerajaan Tanjungpura.  Dari Negara Baru, ibu kota Kerajaan Tanjungpura pindah ke Sukadana. Selama masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724), pusat istana kembali bergeser. Kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan.

Dari sinilah sejarah Kerajaan Matan dimulai. Setelah raja pendiri kerajaan Kerajaan Tanjungpura meninggal dan dimakamkan di Kota Tanjungpura, pemerintahannya dilanjutkan oleh Perdana Menteri Pangerang (Pangeran Jaya Anom) (1833 – 1845). Pada tahun 1845, kepemimpinannya dilanjutkan Perdana Menteri bernama Haji Muhammad Sabran. Kemudian pada 1876, pusat kerajaan dipindahkan lagi ke Mulia Kerta.

Menurut Uti Syahrudin, sejak berdiri, keraton tersebut belum pernah dirombak. Hanya pengantian atap sirap sebanyak dua kali. “Ini semua masih asli, baik dinding maupun alas. Hanya atap yang sudah ganti dua kali,” katanya.

Selain bangunan yang masih utuh, keraton tersebut juga masih menyimpan dokumen dan benda pusaka yang hingga kini masih terawat dengan baik. Salah satunya sepasang  meriam Padam Pelite. Menurutnya, Meriam Padam Pelite merupakan dua buah meriam yang berpasangan dan tidak bisa dipisahkan.

Ia menceritakan, dahulu sebelum ia menjadi penjaga keraton, orang tuanya pernah mencoba menguji kebenaran meriam Padam Pelite ini, apakah benar merupakan sepasang suami istri. Singkat kata, kedua meriam itu dipisahkan. Salah satu disimpan di kamar lain. Alhasil, di malam harinya, orang tuanya yang memindahkan meriam itu tidak bisa tidur tenang karena selalu bermimpi. Di dalam mimpi, ada yang memintanya menyatukan kembali kedua meriam tersebut.

“Setelah disatukan lagi, baru orangtua saya bisa tidur tenang. Kalau saya sih tidak berani,”  katanya. Meriam Padam Pelite tersebut merupakan benda pusaka yang jika dinyalakan, gemanya terasa sampai ke daerah Padang tikar Kabupaten Kubu Raya Pontianak. Konon akibat ledakan meriam itu, semua pelita akan padam.

Selain itu, meriam padam pelite juga dipercayai masyarakat sebagai tempat bayar niat (nazar). Masyarakat pengunjung percaya permintaan mereka akan terkabulkan jika berdoa kepada Tuhan di dekat meriam. Caranya dengan membawa kain kuning, beras dan ayam kampung.

Adapun cara untuk menyampaikan niat adalah dengan membaca Alfatihah tiga kali, salawat empat kali dan kemudian mengucapkan apa yang kita ingini di dalam hati. Meriam Padam Pelite ini, pernah juga dibunyikan waktu acara festival keraton belum lama ini. Orang yang menyulutnya bukan orang sembarangan melainkan tujuh raja dari berbagai daerah.

“Cara menghidupkannya harus melewati beberapa ritual. Pertama kita harus permisi dengan penunggu meriam tersebut. Kedua, kita juga harus membawa garam sendawe obat penawar senapan lantak,” tutup Uti Syahrudin.[ARIEF NUGROHO, Ketapang/ Foto dari berbagai sumber]

www.pontianakpost.co.id