BatasNegeri –
Oleh: Rama Wibi
Saya pernah membaca buku yang berjudul Madilog milik Sutan Ibrahim Datuk di e-book langganan dan ternyata Madilog sendiri kepanjangan dari MA-terialisme, DI-alektika, LOG-ika. Buku ini mengeluarkan entitas manusia pada penghambaan dan hal-hal yang berbau dogmatis mutlak. Sehingga ia menulis di pengantarnya “Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang minimum sudah mendapatkan latihan otak, berhati lapang, dan seksama serta akhirnya berkemauan keras untuk memahaminya.”
Hari ini tepat 25 November, 73 tahun yang lalu terbentuklah komunitas yang bersifat nasional untuk para guru 100 hari setelah Indonesia merdeka kongres tersebut diselenggarakan, dan barulah mulai tahun 1994 para guru mempunyai hari untuk “sekedar” membanggakan mereka saja, nyatanya sejak Indonesia merdeka hingga sampai 73 tahun para guru hanya sekedar mendapatkan angin surga tentang kesejahteraan yang layak. Terlebih kepada guru-guru honorer atau guru-guru swasta yang berada di pulau-pulau terluar di Indonesia.
Dalam buku Madilog yang sumpah bikin muntah sendiri kalo membacanya saya hanya bisa mengasumsikan kita sebagai guru harus bisa membuat Materialisme dalam diri seorang guru, karena Materialisme sendiri membuat kita tidak percaya dengan hal-hal yang gaib, akan sangat aneh jika seorang guru lebih mempercayai mitos dibandingkan dengan unsur sebab-akibat, ada pepatah yang bilang “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” pepatah itu mungkin berlaku ketika Google belum tercipta, ketika Instagram belum membuat fitur InstaStories untuk para penggunanya. Tapi ketika Google semakin hebat untuk pencarian maka seorang siswa dapat lebih hebat dari seorang gurunya dalam mencari kunci jawaban soal Penilaian Akhir Semester, dan saat si siswa bisa mengerjakan soalnya dengan tepat berkat bantuan Google, guru tersebut percaya dengan mitos jaman dulu kalau guru tidak pernah salah atau melihat Google itu salah.
Dialektika dalam buku Madilog mengedepankan unsur berfikir dengan melihat perubahan yang ada bukan karena ada yang mempengaruhinya, prinsip dari Dialektika adalah berfikir untuk perubahan. Jika seorang guru tidak mau berfikir untuk perubahan anak didiknya, tidak mau berfikir untuk membuat perubahan di tempatnya mengajar, tidak mau berfikir untuk perubahan model dan metode pembelajarannya, maka kita akan melihat betapa sedihnya Muhammad Sjafei di alam kuburnya melihat siswa/i jaman sekarang tidak bisa dikembangkan oleh para guru yang tidak mau berfikir untuk perubahan. Atau betapa tersiksanya Steve Jobs yang menyumbangkan keseluruhan hartanya untuk pendidikan dan pengembangannya, jika kita sendiri sebagai guru takut akan perubahan teknologi.
Logika adalah penutup dari sebuah buku yang ditulisnya ketika berada dalam persembunyiannya, mencari solusi dalam mencari jawaban dari suatu permasalahan adalah tujuan dari logika dalam buku tersebut. Jika ada siswa yang lebih suka bermain game saat pelajaran maka pilihannya adalah kita mengambil gawai tersebut atau mencari tahu tentang game tersebut dan mencoba mengkolaborasikan antara mata pelajaran kita dengan game tersebut, pasti akan lebih harmonis dan dapat solusinya. Seperti contoh, dalam setiap game pasti mengandung unsur bahasa inggris, jika siswa tersebut bisa merangkai sebuah kalimat positif/negatif/tanya dari kata-kata yang ada dari game tersebut pasti pembelajaran akan lebih seru dan asik, tujuan utama belajar bahasa inggris kan agar siswa/i dapat bisa berbicara dalam bahasa inggris secara terus menerus.
Jauh sebelum pendidikan keterampilan belum dikembangkan di Nusantara, Sutan Ibrahim Datuk sangat menekankan bahwa pendidikan anak-anak tidak hanya sebatas kognitif, seperti mempelajari Sejarah, Ilmu bumi, dan Ilmu hitung yang sangat ditekankan di sekolah-sekolah Eropa pada masa itu. Sutan Ibrahim Datuk memandang bahwa sebuah kewajiban untuk menanamkan etos kerja, dan keterampilan praktis yang akan menimbulkan rasa mencintai kerja kepada daerahnya, dan seharusnyalah pendidikan memberikan nilai tambah.
MaDiLog menciptakan hal yang baru harusnya untuk para guru-guru di ulang tahunnya ke 73 ini, sudah hampir sepuh dengan usia 73 dan harusnya sudah lebih bijaksana lagi untuk tidak terus menerus berganti-ganti kurikulum, tidak setiap tahun ada perubahan kurikulum yang tidak jauh berbeda dengan kemarin-kemarin. Kasian para guru-guru yang tiap semester harus belajar kurikulum terus, padahal seorang guru juga harus belajar public speaking, workshop table manner, tutorial beauty class, belajar bahasa internasional yang kesemuanya membutuhkan kesiapan dari pemerintah, dari pada bimtek kurikulum yang ra uwis-uwis mending fasilitasi para guru-guru bukan hanya workshop kurikulum lagi, atau untuk guru-guru swasta mengharuskan yayasannya membuat program training dan development untuk memajukan pendidikan di lembaga dan sekolahnya.
Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa, itu mungkin saat kalo telpon-telponan masih pakai 2 kaleng susu dan benang tipis, tapi saat sekarang orang lebih suka telpon pake whatsapp calls yang di mana hampir sama kaya telpon-telponan pake 2 kaleng susu tersebut. Maka guru jangan lagi di cap sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, jangan jadikan dogma tersebut melekat ke anak cucu bangsa ini, karena yang namanya pahlawan itu dibuatkan makam pahlawannya sendiri, nyatanya guru yang meninggal masih harus mengkais-kais celengan untuk membeli tanah kuburannya. Jargon pahlawan tanpa tanda jasa menjadikan para guru berlomba-lomba untuk sertifikasi dan inpassing untuk membeli tanda dan jasa untuk kebutuhan pokok hidupnya, yang mana setelah mendapatkan sertifikasi ia lupa untuk terus meningkatkan kemampuan pedagogik dan andragogiknya.
Apakah hari guru ke 73 hanyalah selebrasi dan ucapan-ucapan penuh dengan omong dan kosong belaka? atau bisa menjadi pelecut para guru untuk terus menghasilkan karya dan menciptakan karya bersama anak-anak bangsa meski sambil memperbaharui status tentang katalog-katalog terbaru dari online shopnya. Apapun itu, kita semua adalah guru, guru untuk keluarga kita, guru untuk anak didik kita, guru untuk rekan kerja kita. Karena guru berasal dari bahasa Sansekerta yang merujuk pada dewa Brahmana yaitu guru para dewa, maka berbahagialah kita sebagai guru untuk orang-orang di sekeliling kita.
“Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”, Tan Malaka.[*]
(kompasiana.com)
More Stories
Personel Yonkav 12/BC Bantu Masyarakat Cor Jalan Di Perbatasan RI-Malaysia
TNI-POLRI Kerjasama Susun Kajian Pertahanan Perbatasan Negara dalam Mendukung IKN
Presiden Jokowi Buka dan Hadiri Nusantara TNI Fun Run di IKN