BatasNegeri – Pembangunan Jalan Trans-Papua terganggu dengan insiden penyerangan oleh TPN/OPM di Nduga, awal pekan ini. Bagaimana korelasi antara pembangunan infrastruktur tersebut dan kondisi terkini di Papua?
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Pamungkas menuturkan kepada Republika, ia sempat berkunjung ke salah satu lokasi pembangunan Trans-Papua di Batas Batu, perbatasan Wamena-Nduga. Tepatnya, tak jauh dari Danau Habema di Distrik Mbua, Nduga.
“Di situ cuacanya bisa mencapai enam derajat (Celsius), ketinggian 3.000 meter (di atas permukaan laut,” kata dia, melalui sambungan telepon, Rabu (5/12/2018).
Cahyo datang pada awal Juni lalu dengan berkendara dari Wamena guna mengumpulkan bahan untuk penelitiannya tentang dampak pembangunan infrastruktur terhadap penghidupan orang asli Papua.
“Di perbatasan saya sudah dicegat dua orang dengan panah,” ujar dia. Ia menyatakan, pihak yang mencegatnya merupakan anggota keamanan adat warga tempatan yang biasa berafiliasi dengan TPN/OPM.
Tiba di sekitar Danau Habema, ia menemui sejumlah warga dan pejabat yang tengah meninjau. Ia kemudian menanyakan soal siapa yang mengerjakan Jalan Trans-Papua di lokasi tersebut. Cahyo mendapat informasi bahwa ruas jalan sepanjang Wamena hingga Nduga sebagian besar dikerjakan oleh TNI AD dari satuan Zeni Tempur.
“Biasanya memang tentara karena masyarakat sipil tidak berani,” kata Cahyo mengutip informasi yang ia peroleh.
Jalur Wamena-Nduga masuk dalam Segmen Lima Jalur Trans-Papua yang menjadi lokasi insiden pada Ahad (2/12) lalu. Sementara, jalur dari Wamena menuju Elelim, Kabupaten Yalimo, kebanyakan dibangun pekerja sipil.
“Ada warga Papua juga yang bekerja di situ,” kata Cahyo.
Ia lalu menyatakan, pembangunan jalur Trans-Papua yang beraspal juga kerap disertai dengan pendirian pos TNI di sisi-sisi jalan. Hal tersebut menimbulkan kesan bahwa jalur tersebut merupakan penegasan wilayah NKRI di Papua.
“Jadi, wilayah kekuasaan kita, wilayah kekuasaan Indonesia, ya hanya sepanjang jalan aspal itu saja,” ujar dia berkelakar.
Sementara, wilayah pegunungan tengah Papua yang jauh dari jalan aspal, kata Cahyo, merupakan kawasan yang dikuasai kelompok separatis. Kelompok yang disebut pemerintah dengan nama TPN/OPM tersebut, kata Cahyo, lancar bergerak secara mobile di gunung-gunung di Nduga, Lani Jaya, Puncak Jaya, dan sekitarnya.
“Artinya, ada persepsi di sana bahwa pembangunan Trans-Papua terkait dengan TNI secara langsung maupun tidak langsung,” kata dia.
Selain itu, kata dia, setidaknya dalam jangka pendek pihak yang mampu memanfaatkan jalur Trans-Papua baru kaum pendatang saja. Hal ini karena mereka yang memiliki modal dan sumber daya untuk hal itu.
“Sementara, orang asli Papua masih harus jalan kaki dari kampung mereka membawa sayur atau kayu sampai ke pinggir jalan,” ujar Cahyo.
Berbagai faktor itu kemudian membuat pasukan TPN/OPM punya dukungan di kalangan masyarakat. Para anggota kelompok separatis kerap juga merupakan anggota masyarakat adat. Yang membedakan, kata Cahyo, hanya bahwa anggota kelompok TPN/OPM membawa senjata dan warga setempat, tidak.
“Jadi, eksistensi Republik di masyarakat Papua memang harus dipertanyakan,” kata dia.
Ia menekankan, siapa pun korbannya, baik pekerja sipil maupun personel TNI, pembunuhan di Nduga harus dikecam. Namun, pemerintah harus berhati-hati menyikapi kejadian itu. Operasi militer, kata Cahyo, bisa menimbulkan trauma dan ketakpercayaan yang semakin menjauhkan warga Papua dari Indonesia.
“Orang Papua bisa punah, identitas dan martabat mereka hancur kalau operasi militer dilanjutkan,” ujar dia.
Solusi yang bisa dilakukan, kata Cahyo, adalah mengaktifkan dialog lintas sektoral yang sempat digagas Presiden Joko Widodo setahun lalu, tetapi belum ada tindak lanjutnya.
“Dialog itu kata kuncinya,” ujarnya menegaskan.
Faktor militer
Sedangkan, aktivis HAM Papua Natalius Pigai menilai, pembantaian terhadap 31 pekerja PT Istaka Karya tidak ada kaitannya dengan rasa suka-tidak suka masyarakat Papua terhadap pembangunan Jalan Trans-Papua.
“Pembangunan ruas jalan itu siapa yang tidak suka? Pastilah suka. Tapi, ketidaksukaan itu adalah karena ada keterlibatan TNI Angkatan Darat itu,” kata dia, Rabu (5/12).
Pigai menjelaskan, bahaya tersebut bukan terhadap tentara, melainkan karyawan yang mengerjakan pembangunan. Sebab, karyawan sipil di sana pun akan dianggap sebagai bagian dari TNI AD atau sebagai mata-mata mereka.
“Tentara punya senjata, tapi karyawannya itu yang bisa kena bahaya, apalagi di daerah pedalaman,” ujar dia.
PT Istaka Karya selaku pihak kontraktor pembangunan jembatan Trans-Papua menyatakan, 28 pekerja yang ditugaskan di Distrik Yigi merupakan warga sipil. Sekretaris PT Istaka Karya, Yudi Kristianto, menegaskan, tidak ada unsur TNI-Polri yang dipekerjakan dalam pembangunan jembatan Kali Yigi dan Kali Aurak.
“Mereka semua 28 orang dari sipil, murni pekerja profesional di bidang konstruksi. Tidak ada dari unsur TNI-Polri satu pun,” katanya melalui sambungan telepon.
Yudi juga menyampaikan, proyek pekerjaan jembatan Trans-Papua di Kabupaten Nduga sudah berjalan sejak 2016. Untuk pekerjaan di Distrik Yigi, baru digarap sekitar enam hingga delapan bulan terakhir.
Selama pekerjaan jembatan itu, kata Yudi, belum pernah ada laporan dari pegawai PT Istaka Karya yang mendapat intimidasi dari pihak manapun. Untuk pekerjaan di sana, belum pernah ada (gangguan).
“Untuk pelaksanaan pekerjaan di sana sampai saat ini belum pernah mengalami gangguan, apalagi sifatnya seperti ini,” ujarnya.[*]
republika.co.id
More Stories
Proyek Basilika dan Gereja di IKN Telan Anggaran Rp 704,9 Miliar
RI Gandeng 10 Negara Perangi Penangkapan Ikan Ilegal
Pengelolaan Perbatasan RI-PNG Jadi Sorotan Utama di Sidang JBC ke-38