9 Oktober 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Membaca bersama Gadis-gadis Cilik di Skow, Desa di Perbatasan Papua dan Papua Nugini

Oleh: Leya Cattleya

BatasNegeri – Meski saya bolak balik bepergian ke Papua sejak tahun 2005 sampai dengan 2015 untuk urusan pekerjaan dan riset, selalu ada perasaan khusus tentang apa yang belum saya tuntaskan untuk Papua. Tentang anak anak di sana. Tentang pendidikan mereka. Tentang masa depan mereka. Selalu ada mata basah ketika meninggalkan mereka.

Ini adalah catatan dari buku lama saya di tahun 2010 sampai 2013. Catatan tentang perjalanan ke Desa Skow. Kita dengan mudah menemukan desa ini di peta karena ini adalah desa di perbatasan dua negara, RI dan Papua Nugini.

Kali ini saya sengaja membawa satu set ensiklopedia anak anak Mengapa Begini, Mengapa Begitu milik anak saya yang sudah menikah. Seri ensiklopedia berjumlah 24 seri terbitan Widya Wiyata itu cukup berat. Saya ingat perlu merogoh kantong untuk membayar ekstra bagasi untuk itu.

Setelah perjalanan 2 jam dari Jayapura melewati jalan baru yang panjang dan lurus itu, akhirnya kami tiba di Skow. Agak berbeda tampilan desa Skow dibandingkan dengan desa lain di Papua.

Rumah rumah dan bangunan yang ada lebih seragam. Kami tidak mencoba untuk menyeberang ke desa Wutung di wilayah Papua Nugini yang hanya dibatasi kawat berduri karena saya tidak membawa paspor. Tujuan kami adalah ke suatu SD perintis. SD itu sepi sekali ketika kami tiba. Beberapa anak perempuan langsung mengikuti saya yang saat itu membawa kardus berisi buku.

Setelah dicatat oleh seorang petugas, buku buku diterima. Saya melihat terdapat ruang perpustakaan yang baru namun kosong melompong. Satu bukupun tak ada. Hanya ada rak.

Dokpri

Gadis gadis kecil yang berjumlah tujuh itu terus mengikuti langkah saya. Karena hari masih pagi, saya tawarkan kepada mereka untuk membaca bersama buku buku yang telah diterima sekolah tadi. Mereka bersorak senang, tanda setuju. Kami memilih satu ruang kosong yang berlantai bersih. Kami saling berkenalan.

Dengan malu malu, gadis-gadis ini memperkenalkan dirinya. Ada Anna Maria dan Dorothea yang duduk di kelas 4, Cornelia dan Helia duduk di kelas 3, Kor dan Ida duduk di kelas 5, dan Yuanita satu satunya yang duduk di kelas 6. Cornelia memperkenalkan pula adik laki lakinya yang berumur sekitar 4 tahun yang pagi itu bertelanjang tanpa baju.

Saya minta anak anak memilih salah satu judul dari ensiklopedia yang menarik bagi mereka. Dan ini menjadi sesuatu yang seru. Mereka berebut melihat buku buku itu. Membaca sekilas, melihat gambar, meletakkannya lagi, memilih yang lain. Ini berjalan sekitar seperempat jam. Saya biarkan mereka mengeksplor. Akhirnya mereka menetapkan pilihan.

Ketertarikan mereka pada tema tema ensiklopedia cukup beragam. Anna Maria memilih tema Geografi dan Peta. Cornelia memilih tema Dunia Serangga. Dorothe memilih “Kehidupan Sehari hari”. Ida memilih Dunia Bawah Laut. Yuanita yang badannya paling bongsor cukup lama untuk menentukan pilihannya.

Ia akhirnya memilih tema Tubuh Kita. Saya memberi waktu mereka untuk membaca buku masing masing. Lalu, kami buat kesepakatan agar masing masing membaca keras keras 2 paragraf yang ada pada buku pilihan mereka.

Cornelia malu malu membaca (Dok. penulis)

Ensiklopedia anak anak ini sengaja saya bawa untuk gadis gadis kecil di desa Skow. Saya punya kesan cukup mendalam tentang ensiklopedia ini. Selain anak saya menikmati membaca dan belajar darinya, tampilan ensiklopedia ini memang bukan hanya menarik tetapi sangat ramah anak.

Saat ini mungkin anak anak tidak lagi mengenal ensiklopedia semacam Mengapa Begini, Mengapa Begitu. Namun, di tahun 1980an, kita pernah ingat Agnes Monica menjadi ‘host’ acara “Tralala Trilili” di RCTI dan memiliki “Mengapa Begini Mengapa Begitu” dalam setiap acara itu.

Acara itu memuat semacam tayangan ensiklopedia yang dikemas sangat menarik dan mudah dipahami oleh anak-anak tentang pertanyaan-pertanyaan yang biasanya dilontarkan oleh anak-anak mulai dari kehidupan sehari-hari, binatang, tumbuhan dan lain lain.

Pertanyaan seperti “Mengapa saya cegukan?”, “Kenapa ayah pakai kacamata?” tentu menarik untuk anak anak. Ensiklopedia ini sendiri terdiri dari beberapa seri, yaitu Seri Kehidupan  (1 -6), Seri Alam (7 sampai 12), Seri Sains (13 sampai 18), dan Seri Dunia Kita (19 sampai 24).

Saya memang cukup dekat dengan ensiklopedia ini karena seri pengetahuan yang ditawarkan secara nyata memberi pengetahuan yang baik pada anak saya. Jadi, ini romantisme khusus saya pada ensiklopedia ini.Saya memberikan contoh sedikit. Saya pilih salah satu halaman dari tema Dunia Serangga yang dipilih Cornelia.

Saya baca keras “Mengapa Capung Mencelupkan Ekornya dalam Air?.Capung betina mencelupkan ekornya dalam air untuk bertelur. Pada gambar ini kita dapat melihat beberapa dari banyak jenis capung. Tiap jenis mempunyai caranya sendiri dalam bertelur di air” Kemudian, saya tunjukkan gambar dari halaman yang saya baca kepada gadis gadis kecil. Selanjutnya, Cornelia melanjutkan membaca kalimat kalimat selanjutnya. “Apa yang terjadi setelah telur menetas?”. 

Saya membantu membaca tulisan yang tertera pada kotak di bawah halaman itu “Bagi Orang Tua”. Informasi yang ada di dalam kotak itu adalah catatan bagi orang tua untuk menerangkan lebih lanjut bila anak anak bertanya. Gadis gadis itu sangat antusias membaca. Memang sayapun sangat menyukai ensiklopedia ini. Setiap tema bahasan ada dalam bentang 2 halaman.

Yuanita dan Cornelia

Anak anak dapat membuka halaman mana saja, tanpa harus mengikuti urutan halamannya. Bentuk bahasan berupa Tanya Jawab merangsang rasa ingin tahu anak terhadap tema yang mereka baca. Orang tua atau guru dapat membantu melontarkan pertanyaan dan kemudian membantu mengelaborasi penjelasannya.

Selanjutnya giliran Ida. Ia membaca tema Dunia di Bawah Laut. Halaman yang ia pilih adalah tentang gurita. I agak pelan membaca. Beberapa kali mengulangnya, tetapi kami semua dapat menangkap pesannya. 

“Mengapa Kepala Gurita Begitu Besar? Gurita tampak seolah olah berkepala besar. Tetapi yang tampak seperti kepala besar itu adalah tubuhnya. Perut, jantung dan organ organ lain ada di dalamnya“.

Gadis gadis cilik ini bergantian membaca. Dorothea membaca tema Kehidupan Sehari Hari. Ia memilih halaman “Mengapa Orang Tua Kita Bekerja”. Sambil memeluk adik laki lakinya yang duduk di sebelahnya, Dorothea membaca pelan kadang berhenti “Banyak ibu dan ayah meninggalkan rumah untuk bekerja. Sebagai imbalan kerja kerasnya, mereka mendapatkan upah dan gaji”. 

Cornelia dan adiknya Agustinus (Dok. penulis)

Ini menjadi menarik karena Cornelia saat itu mengasuh adiknya. Sayapun turut menjelaskan beberapa hal soal bekerja. Bekerja tidak harus pergi ke kantor seperti yang ada di buku. Juga, tidak selalu bekerja mendapatkan upah langsung. 

Ada orang tua kita yang bekerja sebagai nelayan, petani dan berburu binatang. Ada yang harus ke pasar dahulu untuk menjual hasil kerjanya. Mereka juga mungkin meninggalkan anaknya di rumah dengan kakaknya. Dorothea tertawa lebar melihat adiknya. Cornelia bercerita bahwa ibunya sedang mencari bakar 

Memang kemampuan baca anak-anak Papua sempat menjadi pekerjaan rumah bersama. Sering kali, anak-anak yang sudah lulus SD pun belum bisa lancar membaca.

Yuanita adalah salah satunya. Kasus ini ditemukan di banyak wilayah Papua. Bukan hanya di wilayah pegunungan seperti di Wamena, wilayah seperti Yuanita dari SD Skow ini juga masih ditemui. Oleh karenanya beberapa program yang didukung badan dunia seperti UNICEF dan World Vision Indonesia menggalakkan program literasi anak sekolah.

Data tentang tingkat pendidikan di Papua memang menunjukkan peningkatan. Namun, persoalan tantangan membaca yang dihadapi anak-anak Papua masih ada. Walaupun masyarakat, khususnya perempuan melihat pendidikan sebagai asset yang penting, akses anak anak Papua pada pendidikan masih mengalami keterbatasan.

Rata rata lamanya bersekolah yang rendah dinilai sebagai bagian dari kinerja pendidikan di Papua. Angka melek huruf juga masih cukup tinggi, khususnya di kalangan perempuan. Data BPS 2012 menunjukkan bahwa 27% penduduk di atas usia 5 tahun masih buta huruf, dan lebih dari separuhnya adalah perempuan. 

Data BPS 2017 tentang buta aksara tidak mencantumkan prosentase pada anak-anak di bawah 15 tahun, tetapi dengan angka pada usia di atas 15 tahun 6,11% untuk penduduk di atas usia 15 tahun, 24,66% untuk penduduk antara 15 sampai 44 tahun dan 30,46% untuk usia di atas 45 tahun.

Memang, sejarah pendidikan di Papua memang berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya. Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di masa Orde Lama dan sebagian Orde Baru di Papua sangat tergantung pada keberadaan misionaris.

Diberhentikannya kerja misionaris pada masa Order Baru membawa beberapa tantangan dalam upaya melanjutkan kerja di bidang pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar. Persoalan absentisme guru, khususnya guru perempuan yang disebabkan persoalan jarak dan beban kerja perempuan juga ditemukan.

Siang itu saya meninggalkan SD Skow dengan rasa bercampur baur. Gembira berkumpul dengan gadis gadis cilik yang antusias membaca dan akan memulai kegiatan membaca di perpustakaan sekolahnya. Gundah bahwa tingkat literasi anak-anak generasi emas ini masih terbata. Peristiwa membaca bersama gadis gadis kecil itu terjadi sekitar 10 sampai 12 tahun silam. Bila diberikan kesehatan dan umur panjang, anak anak itu tentunya sudah berumur sekitar 19 sampai 22 tahun. 

Pagi tadi saya panjatkan doa kecil tulus semoga anak-anak gadis ini terus bersekolah menuntut ilmu dan menjadi anak dan perempuan dewasa yang bahagia. Aamiin …

Persoalan kesulitan membaca di kalangan anak Papua dan anak-anak di wilayah terpencil di Indonesia bukanlah hanya PR bagi pemerintah dan guru di wilayah wilayah itu saja. Ini PR kita semua.

Pustaka:

  • Laporan Pembangunan Manusia Provinsi Papua 2013, Leya Cattleya untuk UNDP, 2013
  • Program Literasi UNICEF Tingkatkan Kemampuan Baca Tulis, ANTARA News, 2018

kompasiana