11 Oktober 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Indonesia Raya dan Air Mata di Entikong

BatasNegeri – Semua khidmat, meski tak begitu kompak. Mungkin tak merdu, tapi semua siswa melantunkan suara terbaik mereka sampai bendera tepat di atas tiang. Inilah upacara bendera yang dirindukan.

Hari itu jadi Senin paling dramatis, setidaknya di SDN 17 dan SMPN 05 Satap Palapasang, Dusun Palapasang, Desa Palapasang, Kecamatan Entikong, Sanggau. Sudah 73 tahun merdeka, sang Merah Putih memang berkibar, tapi tanpa seremoni, tanpa kumandang Indonesia Raya.

Aku mendengar cerita ini dari Diana Kristina Nenggolan dan Tri Vanila Noviza, dua di antara beberapa orang panitia Enthusiastic Youth Movement For Nation (Eyemoveon), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap pengembangan kapasitas masyarakat wilayah perbatasan.

Dua bulan lalu, mereka membuka pendaftaran bagi siapa saja yang ingin ikut mengabdikan diri ke wilayah perbatasan. Pendaftaran dibuka seluasnya. Tidak hanya dari Kalbar, peserta dari Bangka Belitung, Bengkulu, Padang, Jogjakarta, Semarang berbondong mendaftar.

Tujuannya sederhana, agar orang luar dapat berkunjung ke daerah pedalaman Kalimantan Barat, terutama wilayah perbatasan. Dengan begitu, permasalahan yang selama ini dihadapi bisa tereksplorasi.

Namun, panitia selektif. Peserta diminta membuat sebuah narasi rangkaian yang akan mereka kerjakan di lokasi. Dari 338 peserta terdaftar, hanya 18 yang dipilih. Rencana aksi mereja harus konkret.

Sabtu, 2 Februari 2019 lalu jadi menit pertama perjalanan jauh mereka hingga 7 Februari 2019.

Lirik penutup Indonesia Raya mengantar bendera tepat di ujung tiang, Senin (4/2) pagi. Sehari sebelumnya, persiapan matang dilangsungkan. Takzim walau tak begitu kompak. Suara siswa, guru, dan para relawan menggema menyanyikan lagu kebangsaan.

“Bahkan ada beberapa volunteer dan guru yang meneteskan air mata. Mungkin karena saking terharunya karena kita pertama kalinya menaikan bendera Merah Putih di sana,” cerita Diana.

Naiknya bendera Merah Putih di sekolah itu, kelak akan jadi awal perjalanan. Betapa permasalahan di sana begitu kompleks terungkap.

Dari cerita Noviza, angka putus sekolah masih tinggi. Anak-anak mudanya lebih memilih melepas masa remaja untuk bekerja, dibanding meneruskan pendidikan. Rahasia umum sebenarnya. Keterlibatan pemerintah daerah dirasa kurang. Akses serta fasilitas pendidikan tidak mendukung.

“Bayangkan, untuk mencapai ke dusun ini mesti melalui dua akses, air dan darat (dari Entikong). Sekitar dua jam jalan darat dan 30 menit pakai speedboat,” ujarnya.
Kehadiran mereka di sana, paling tidak membangkitkan antusias belajar anak-anak. Sejumlah kegiatan diadakan, di antaranya Indonesia Is Me, Surat Tapal Batas, Baca Tulis Hitung (Batuhit), Origami Learning, serta Youth Dream and Motivation Speech.

Angka putus sekolah tentu berimbas pada kualitas sumber daya manusia. Dari cerita mereka, ada keluarga yang lebih dari separuh jumlah anaknya meninggal, akibat penyakit yang tak tertangani.

“Di sana hanya ada Polindes tanpa ada tenaga kesehatan,” ujarnya.

Opsi lain untuk berobat masyarakat, menempuh perjalanan panjang ke Entikong, atau berangkat ke pos perbatasan TNI.

Walau hanya seminggu, para relawan hafal kelakar miris masyarakat; garuda di dadaku, ringgit di perutku. Bukan karena kecintaan terhadap Indonesia diragukan, bukan. Ini disebabkan akses mata uang Malaysia lebih mudah digunakan sebagai alat tukar dibanding rupiah. Bahkan ketika para peserta mengadakan sebuah bazar murah berupa pakaian, rata-rata masyarakat membayar dengan ringgit.

Itu hanya sedikit cerita. Bila duduk lebih lama dengan para relawan, mungkin lebih banyak yang bisa digali. Dituliskan sebagai pengingat pemimpin negeri.[*] 

(suarapemredkalbar.com)