BatasNegeri – Indonesia telah meningkatkan pengawasan perbatasan lautnya yang luas dan rentan dengan Filipina Selatan, seiring pemerintah Manila dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) mengejar kesepakatan damai yang memberi kaum Muslim di pulau Mindanao otonomi yang lebih luas, dengan imbalan mengakhiri tujuan-tujuan separatis mereka.
Para pejabat Indonesia mengatakan mereka khawatir bahwa kesepakatan itu—yang melibatkan penonaktifan senjata oleh para pejuang Muslim—dapat menyebabkan “kebocoran”, di mana beberapa senjata api dan senjata lainnya dijual dan diselundupkan ke Indonesia.
Kedua negara berbagi perbatasan laut lebih dari 1.000 kilometer yang melibatkan ratusan pulau di laut Sulawesi, Maluku, dan Halmahera serta Selat Makassar.
“Pengawasan sedang ditingkatkan. Pasti ada ancaman potensial, yang telah kami analisis,” kata juru bicara Polri Dedi Prasetyo, Senin (11/3).
Para teroris telah diketahui menggunakan wilayah perbatasan laut ini—yang membentang dari Kalimantan ke Papua—untuk menyelundupkan senjata ke Indonesia.
Dan para pejabat khawatir bahwa lebih banyak senjata dapat dibawa ke Indonesia, setelah perjanjian damai yang mengharuskan pejuang MILF untuk menyerahkan senjata.
Satu kelompok yang menggunakan perbatasan yang rentan ini untuk membawa senjata adalah Jemaah Islamiah, yang berada di balik pengeboman Bali tahun 2002 yang mematikan. Yang lainnya adalah Jemaah Ansharut Daulah, yang menjadi terkenal ketika melakukan serangan bunuh diri di Jakarta pada Januari 2016, dengan menggunakan senjata dari Filipina selatan.
Pengadilan terhadap veteran teroris Suryadi Mas’ud pada awal tahun lalu, mengungkapkan bagaimana gerilyawan Indonesia terhubung dengan jaringan di Marawi, Filipina selatan, untuk mendapatkan senjata. Suryadi, alias Montilia Perez, menggunakan jaringan yang ia kenal saat bertempur bersama pemberontak lokal di bawah MILF dari tahun 1996 hingga 2000, menurut dokumen pengadilan.
Dalam referendum bulan lalu, lebih dari 1,5 juta Muslim Filipina sangat memilih undang-undang untuk menciptakan wilayah baru yang dikelola sendiri yang dikenal sebagai Bangsamoro, di selatan Filipina yang bermasalah, untuk mengakhiri hampir setengah abad kekerasan separatis.
Di bawah undang-undang tersebut, ribuan senjata di tangan sekitar 12.000 pejuang MILF akan dinonaktifkan mulai tahun ini.
Para pemberontak akan mendapatkan bantuan pemerintah untuk kembali ke kehidupan sipil, menurut laporan berita.
MILF telah memberikan jaminan bahwa setidaknya 12.000 dari 30.000 senjata akan dinonaktifkan segera. Penonaktifan sisanya akan tergantung pada bagaimana transisi ke pemerintah Bangsamoro berlangsung.
Seorang pejabat senior pemerintah Indonesia mengatakan kepada The Straits Times sebelumnya: “Setelah perang Vietnam, perdagangan senjata merajalela di perbatasan. (Itu) sama dengan perang Afghanistan. Sekarang, puluhan ribu senjata sedang dinonaktifkan. Kekhawatirannya adalah bahwa tingkat transparansi masih rendah. Apakah kita yakin tidak ada yang bocor dan pergi ke pedagang senjata?”
Indonesia juga khawatir tentang kemungkinan pejabat nakal yang menjadi pedagang senjata, setelah mantan polisi Sofyan Tsauri memasok senjata ke kamp pelatihan paramiliter Aceh pada tahun 2009. Dia kemudian ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Terdapat industri penyelundupan yang berkembang pesat di segitiga perbatasan yang melibatkan kepulauan Filipina selatan, negara bagian Sabah dan Sarawak, Malaysia, dan kepulauan Indonesia.
Para pejabat Indonesia mengatakan bahwa selama beberapa dekade, penyelundup Indonesia telah membawa rokok dan pakaian ke Filipina, sementara orang Filipina membawa minuman bersoda dan minuman beralkohol ke Indonesia.
Pihak berwenang biasanya menutup mata terhadap kegiatan ini karena dianggap kejahatan kecil yang membantu mengatasi kemiskinan lokal.
Tetapi dengan kemungkinan senjata diselundupkan, ada pengawasan yang lebih ketat terhadap arus barang.
Pakar anti-teror Adhe Bhakti dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi—merujuk pada militan yang mungkin menggunakan rute penyelundupan lintas batas yang sama untuk mengangkut senjata—mengatakan: “Salah satu cara efektif adalah untuk menumbuhkan kebiasaan, di antara para penyelundup kecil ini, tidak mudah mempercayai siapa pun yang mereka tidak kenal yang meminta tumpangan.”
Sulawesi Utara, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara adalah wilayah yang mungkin digunakan militan untuk mengangkut senjata dan melakukan perjalanan bolak-balik antara Indonesia dan Filipina.
“Tempat-tempat itu memiliki wilayah yang luas dan banyak pulau, memberikan peluang,” kata Adhe.[*]
Sumber : matamatapolitik.com
More Stories
BP3OKP: Masyarakat Asli Papua Harus Tahu Label Pemanfaatan Dana Otsus
Harmony in the Pacific Menjadi Program Belajar Bersama RI-Pasifik
Tamu PON 2024 Dapat Berwisata ke Museum Aceh Saksikan Peninggalan Kesultanan Iskandar Muda