BatasNegeri – Pemerintah Indonesia dan Timor Leste diharapkan dapat melibatkan masyarakat adat dalam negosiasi sengketa perbatasan antara kedua negara. Komunitas adat orang Ambenu di Timor Leste memiliki hubungan kekerabatan dengan orang Amfoang di Timor Barat, Indonesia. Mereka telah memulai dialog mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah yang timbul dari perselisihan perbatasan.
DAMPAK TERHADAP KOMUNITAS
Dua garis perbatasan darat memisahkan wilayah Indonesia dan Timor Timur. Di timur, bentangan 150 kilometer membelah pulau Timor menjadi dua. Di barat, di dalam provinsi Nusa Tenggara Indonesia, lengkungan sepanjang 120 kilometer menciptakan daerah kantong Timor Timur, Oecusse, di dalam wilayah Indonesia. Sementara bagian timur perbatasan telah berhasil dinegosiasikan, perbatasan di sekitar Oecusse masih terus dipersengketakan.
Perselisihan yang berkepanjangan telah menghambat pengembangan daerah tersebut. Lebih buruk lagi, perselisihan juga telah menyebabkan ketegangan di antara orang-orang yang menghuni daerah perbatasan. Konflik dan kekerasan muncul sebagai akibat dari situasi yang tidak pasti ini.
NEGOSIASI ALAMI KEBUNTUAN
Indonesia dan Timor Leste mulai menegosiasikan perbatasan mereka tahun 2000 setelah jajak pendapat yang terakhir untuk kemerdekaan dari Indonesia tahun 1999. Sementara perbatasan timur dengan cepat diselesaikan, perbatasan di sekitar Oecusse tetap belum terselesaikan.
Negosiasi perbatasan yang tidak pasti sampai hari ini hanya membuat sedikit kemajuan. Pertemuan terbaru para menteri luar negeri kedua negara bulan Januari 2018 tidak menghasilkan solusi nyata.
Kedua negara mendasarkan negosiasi perbatasan mereka pada Perjanjian 1904 antara Portugis dan Belanda serta keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen 1914. Tetapi mereka berbeda dalam menginterpretasi Perjanjian 1904. Para negosiator Indonesia bersikeras bahwa perbatasan terletak di Sungai Noelbesi, yang akan menyusutkan wilayah Timor Leste. Sementara itu, para negosiator Timor Leste mengatakan bahwa perbatasan itu terletak di Sungai Nonotuinan yang lebih kecil.
Para negosiator Indonesia berpendapat bahwa dasar untuk menetapkan perbatasan tidak dapat diandalkan. Selain segmen-segmen yang belum terselesaikan, beberapa wilayah di kecamatan Bikomi Nilulat di Kabupaten Timor Tengah Utara masih belum terselesaikan.
DIALOG MASYARAKAT ADAT
Di tengah negosiasi yang lambat antara kedua pemerintah Indonesia dan Timor Leste, masyarakat adat di kedua negara telah mempromosikan pendekatan budaya untuk menyelesaikan perselisihan.
Tiga pertemuan masyarakat adat antara orang Amfoang dari Indonesia dan orang Ambenu dari Timor Leste telah berlangsung di Oecusse, Timor Leste tahun 2012; di Kefamenanu, Timor, Indonesia tahun 2012; dan Oepoli di Amfoan Timor, Kupang, Indonesia tahun 2017.
Pertemuan terakhir di Oepoli tanggal 14 November 2017 mempertemukan empat kerajaan utama di Timor. Tiga raja, yaitu Liurai Wahali, Liurai Sonbai, dan Raja Amfoang dari Indonesia bertemu dengan Raja Ambenu dari Timor Leste. Mereka dipersatukan oleh semangat Nekaf mese ansaof mesa Atoni Pah Meto yang berarti “Satu Hati Satu Jiwa sebagai Orang Dawan.”
Pertemuan itu dilakukan sesuai dengan tradisi Timor serta ditandai oleh sejumlah upacara dan ritual.
Para raja berfokus pada menghidupkan kembali ikatan kekerabatan dan perdamaian di antara orang-orang dengan keturunan yang sama. Mereka sepakat untuk menyelesaikan semua masalah berdasarkan prinsip perdamaian dan kekerabatan. Mereka menandatangani perjanjian yang berjanji untuk melihat perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste sebagai perbatasan administratif yang tidak boleh membatasi dan memisahkan hubungan kerabat mereka.
Pertemuan di Oepoli merupakan kasus unik di mana hubungan internasional, yang merupakan hubungan sosial modern, bertemu dengan tradisi. Pertemuan itu bukan bertujuan menyelesaikan sengketa perbatasan antar negara. Namun, implikasinya untuk menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dan Timor Leste tidak dapat diabaikan begitu saja.
Di Indonesia, keterlibatan masyarakat adat dalam menyelesaikan sengketa perbatasan telah dimulai dengan dukungan aktif dari komando militer setempat, dengan memfasilitasi diskusi kelompok terfokus bulan Mei 2018 antara pemerintah Indonesia dan para akademisi. Diskusi tersebut menemukan bahwa sebelum Portugis berkuasa di Timor Leste, terdapat perjanjian perbatasan antara kerajaan-kerajaan Timor dalam bentuk sumpah.
Pemerintah Indonesia dan Timor Leste harus mulai melibatkan para pemimpin adat dalam negosiasi perbatasan. Keduanya harus mendengarkan aspirasi masyarakat adat untuk membantu menciptakan pemukiman berkelanjutan yang bermanfaat bagi negara dan rakyat masing-masing. (matamatapolitik)
More Stories
Sebanyak 18.481 keluarga di perbatasan RI-Malaysia Mendapat Bantuan Pangan dari Bulog
Indonesia-Malaysia Jalin Kerja Sama Pembangunan SOSEK MALINDO di Wilayah Perbatasan
Ini Lima Pintu Imigrasi yang Sering Digunakan Buronan Internasional untuk Masuk Indonesia