BatasNegeri – Di tengah upaya pemerintah RI untuk mengklaim landas kontinen seluas 196.568,9 km di luar perairan utara Papua ke PBB, muncul ancaman berkurangnya batas negara karena empat pulau terluar di Provinsi Riau mengalami abrasi parah.
Kondisi ini tengah dibahas serius oleh pemerintah. Sebuah rapat koordinasi yang dikomandani oleh Kemenko Bidang Kemaritiman digelar di Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Tujuannya, untuk mendapatkan masukan dari para akademisi dan pemangku kepentingan dari Kementerian dan Lembaga terkait mengenai langkah-langkah perbaikannya.Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa (SDAJ) Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono yang memimpin rapat mengungkapkan, pentingnya pemerintah menyusun langkah menanggulangi abrasi parah yang terjadi di empat pulau terluar di kawasan Riau.
“Awalnya, karena kita berbicara tentang mangrove, yang sebagian besar sekitar 52% di Indonesia hilang atau rusak, kemudian kita buat cluster di seluruh Indonesia ini agar ada rehabilitasi mangrove-nya,” ujarnya dalam pengantar sambutannya.
Dari penyusunan cluster tersebut lanjutnya, terungkap sebuah permasalahan besar yang melanda Riau. “Ternyata masalahnya tidak hanya masalah ekosistem atau lingkungan tetapi ada masalah kedaulatan karena mangrove-nya rusak,” ungkapnya.
“Tanahnya pun terkena abrasi sehingga dikhawatirkan batas negara kita bergeser apalagi wilayah itu berbatasan dengan Selat Malaka, Malaysia dan Singapura,” sambung Deputi Agung.
Tentang berkurangnya garis pantai karena abrasi ini, dia mencontohkan bahwa di Pulau Rangsang, wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, jumlah yang hilang telah mencapai 1 km.
“Dari data yang ada, di pulau Rangsang laju kerusakan pantai berkisar antara 6,6 meter sampai 8,9 meter per tahun dan ini sudah terjadi selama puluhan tahun,” tutur Deputi Agung.
Targetnya, rakor yang diikuti oleh akademisi dari ITB, UGM, IPB, pejabat Kementerian PUPR, Kementerian LHK, KKP, Kemenritekdikti, Kementerian ATR/BPN, LAPAN, Pushidrosal, serta pejabat dari pemerintah Provinsi Riau dapat menghasilkan beberapa masukan.
Masukan tersebut antara lain data rinci wilayah yang rusak, penyiapan teknologi pemecah ombak, implementasi teknologi pemecah ombak, rehabilitasi mangrove, perlindungan existing mangrove dan pemberdayaan masyarakat berbasis mangrove.
“Pak Menko sangat concern dengan kerusakan mangrove serta abrasi yang mengakibatkan hilangnya garis pantai di Pulau Batu Mandi, Pulau Rupat, Pulau Rangsang dan Pulau Bengkalis,” jelas Deputi Agung.
Hasil rakor hari ini, tambahnya, akan dibahas dengan Menko Bidang Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan pada tanggal 11 Juni 2019.
Pada kesempatan itu, Gubernur Riau Syamsuar menyambut baik masukan-masukan akademisi, antara lain dari Nita Yuanita (ITB), Profesor Radianta Triatmadja (UGM) dan Profesor Dietrich Bengen (IPB) mengenai teknologi pemecah ombak serta rehabilitasi pesisir.
Namun demikian, dia meminta agar para pakar dapat memberikan masukan ilmiah berdasarkan kajian yang komprehensif. “Pulau pulau ini berbeda karakteristiknya,” ujarnya.
“Misalnya Pulau Rangsang yang tidak ada pasirnya. Kalau di Bengkalis ada pasirnya. Oleh karena itu saya sepakat agar perlakuannya tidak bisa disamakan,” tambahnya.
Menutup rakor itu, Asisten Deputi Lingkungan dan Kebencanaan Maritim Sahat Panggabean menyatakan secara teknis pihaknya akan segera mengkoordinasikan upaya-upaya penanganan tersebut.
“Kita akan kumpulkan usulan-usulan dari para pakar dan pemangku kepentingan terkait dan menyusunnya dalam bentuk rencana aksi dan timeline penyelesaiannya untuk didiskusikan pada level menteri tanggal 11 Juni mendatang,” pungkasnya. (sindonews)
More Stories
Satgas Yonif 512/QY Bagikan Makanan Gratis untuk Anak-anak Sekolah di Perbatasan PNG
PMI Pusat Adakan Pelatihan Fasilitator PMR di Perbatasan Natuna
Tokoh Pemuda Perbatasan Entikong Surati Presiden Prabowo tentang Perekonomian Perbatasan