7 Desember 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Nanga Bayan, Penghasil Lada di Batas Negeri

BatasNegeri – Berada di wilayah perbatasan antara Indonesia-Malaysia, siapa sangka Kabupaten Sintang ternyata juga menjadi salah satu wilayah penghasil lada di Tanah Air. Salah satu desa yang banyak menghasilkan lada itu adalah Nanga Bayan.

Beberapa waktu lalu, IDN Times berkesempatan mengunjungi desa di tapal batas negeri ini.  Hari itu (13/7), jarum jam baru menunjukkan pukul 06.00 WIB saat mobil kami melaju di jalan tanah berbatu. Jalanan yang lebarnya hanya cukup dilalui satu mobil ini masih basah, tersiram air hujan yang turun semalam. Kendati permukaannya tidak rata, berbatu, dan ada lubang di sana sini, namun kondisi jalan itu tergolong yang paling baik, yang kami temui usai menembus perkebunan sawit dan hutan Kalimantan.

Jalan itu menuju arah Desa Nanga Bayan, sebuah desa di Kabupaten Sintang, yang letaknya persis di perbatasan antara Kalimantan Barat, Indonesia dan Sarawak, Malaysia. Desa Nanga Bayan merupakan satu dari 14 desa di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Sarawak. Penduduknya mayoritas Suku Dayak Iban.

Nanga Bayan terletak di kawasan Bukit Kelingkang, bukit yang memisahkan antara Indonesia dan Malaysia. Karena itu, pantas disebut Nanga Bayan adalah beranda depan Indonesia, desa pertama yang harus dilalui jika ingin masuk ke Indonesia dari Sarawak, Malaysia.

Desa ini luasnya sekitar 20 hektare persegi, dan dihuni oleh 1.165 jiwa. Warga tersebar di 3 dusun yakni di Dusun Keburau, Dusun Lubuk Ara, dan Dusun Belubu. Kepala desanya bernama Runa, tinggal di Dusun Lubuk Ara yang menjadi pusat desa.

“Saya jadi kepala desa sejak 2016 dan menjadi kepala desa ke-4 di sini, desa kami berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia,” ujar Runa, 37 tahun, saat ditemui IDN Times, Jumat (12/7) lalu.

Menurut Runa, sebagian besar warganya bekerja sebagai petani dan berkebun, dengan produk unggulan saat ini adalah lada atau merica.

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Dari Kota Sintang, Desa Nanga Bayan bisa dijumpai setelah menempuh perjalanan lebih dari 9 jam. Dari awal perjalanan, kita sudah disuguhkan jalan tanah berwarna merah kekuningan, yang jika hujan turun akan berubah menjadi lumpur dan jika panas menjadi debu tebal.

Medan menuju Desa Nanga Bayan memang tidak mudah. Selain jaraknya yang sangat jauh dari Kota Sintang–dengan jalan yang hampir sebagian besar berupa tanah–kita juga harus melewati perkebunan sawit dan hutan, dengan perjalanan yang terkadang naik dan kemudian turun menyeberangi sungai mengikuti alur bukit.

Banyaknya tantangan yang harus dihadapi, membuat perjalanan menuju Nanga Bayan hanya bisa dilalui oleh kendaraan jenis double cabin berpenggerak 4 roda, seperti Ford Ranger, Mitsubishi Estrada, atau Toyota dengan jenis yang sama. Tentu dengan bahan bakar yang harus penuh sebelum memulai perjalanan.

1. Sudah ada puskesmas, Desa Nanga Bayan membutuhkan bidan

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Memasuki Desa Nanga Bayan, pemandangan pertama yang terlihat adalah barisan bukit hijau yang terbentang di sisi kanan jalan. Di bawahnya tumbuh pohon lada berderet rapi mengikuti kontur bukit.

Uniknya, Desa Nanga Bayan termasuk yang “bersih” dari  tanaman sawit. Tak seperti yang kami temui sebelumnya di sepanjang jalan menuju desa perbatasan ini. Hanya terlihat jalan tanah berbatu, kemudian kebun karet yang sudah tidak terurus karena ditinggal pemiliknya, dan sesekali rumah penduduk di titik-titik tertentu.

Mendekati gerbang pintu masuk desa, dari kejauhan di sebelah kiri jalan terlihat bangunan gereja. Murjani, warga setempat yang menjadi pemandu jalan kami mengatakan, gereja tersebut merupakan rumah ibadah umat Kristen Protestan.

Selang beberapa meter dari titik ini, kami kembali menjumpai satu bangunan gereja. Kali ini, posisinya persis di pinggir jalan di sisi kanan dengan bangunan yang lebih permanen dari batu bata. Gereja ini merupakan rumah ibadah umat Kristen Katolik.

Tidak hanya gereja, setelah melewati jembatan kayu memasuki perkampungan, kami menemukan sebuah surau di sisi kiri jalan. Masjid Nurul Hidayah Desa Nanga Bayan, demikian nama surau sederhana yang bangunannya berbentuk rumah panggung dari kayu itu.

Meski hanya berupa desa terpencil, dengan rumah penduduk di titik-titik tertentu, namun Desa Nanga Bayan terhitung lengkap. Selain memiliki tiga rumah ibadah sesuai agama yang dianut penduduknya, di desa ini juga ada satu sekolah dasar, yakni SDN 13 dengan jumlah siswa 150 orang, satu SMP yang berada di awal pintu masuk desa, yakni SMP Negeri 4, dan juga satu Puskesmas.

Namun, kata Runa sang kepala desa, di Puskesmas ini hanya bertugas 1 orang mantri saja, selebihnya tidak ada petugas kesehatan lainnya.

“Bidannya tidak ada, kita minta itu,” ujar Runa. Dia juga mengungkapkan harapannya agar dibangun sekolah SMA atau SMK tempat anak-anak Nanga Bayan melanjutkan pendidikan, juga jalan-jalan diperbaiki.

2. Bagi warga desa ini, lada adalah jantung kehidupan

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Bagi penduduk Nanga Bayan, lada atau sahang adalah jantung kehidupan mereka. Dengan lada, mereka bisa membeli kebutuhan hidup sehari-hari, bisa menikmati terangnya cahaya listrik, dan bisa menyekolahkan anak-anak mereka.

“Harga sahang jatuh, anak-anak kami putus sekolah,” ujar Imau, Ketua Adat Suku Kumpang, Dayak, yang tinggal di Dusun Lubuk Ara.

“Lada sekarang kena penyakit, harga jatuh, kami susah,” lanjut bapak 60 tahun, yang mengaku lebih lancar berbahasa Dayak Iban daripada bahasa Indonesia.

Memang, kata Runa, anak-anak putus sekolah saat harga lada jatuh atau pohon lada mati merupakan fakta yang dihadapi warganya. “Karena ongkos sekolah dari lada tadi,” papar bapak dua anak ini.

Dia mengungkapkan, ada 20 persen anak-anak SMP yang putus sekolah karena tidak ada biaya. “Sangat berdampak langsung dari hasil lada,” lanjutnya.

Sementara hasil dari perkebunan karet, Runa dan warga lainnya menggeleng. Sudah lama mereka tidak bisa mengandalkan hasil karet karena harganya yang sangat rendah, hanya Rp5.000 per kilogram. Tak heran, wargapun meninggalkan kebun karet mereka dan membiarkannya tertimbun bersama pepohonan liar di hutan.

3. Lembah Empaung penghasil lada

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Tanaman lada tidak hanya tumbuh di kebun-kebun dekat perkampungan penduduk, tapi juga hingga di bukit dan lembah yang menjadi pembatas antara Indonesia dan Malaysia.

Sebuah kebun lada yang menjadi penanda perbatasan Indonesia-Malaysia terletak di lembah bernama Empaung. Lembah Empaung di Dusun Keburau ini persis berada di bawah Bukit Kelingkang, bukit yang memisahkan Indonesia dan Malaysia.

Dari kejauhan, dari atas bukit, kebun lada di Lembah Empaung terhampar luas, dikelilingi bukit dan lebatnya hutan tropis Kalimantan. Tak ada suara manusia atau pun angin yang biasa berhembus di sela dedaunan.

Lembah di perbatasan ini tak mudah dijangkau. Dari pusat Desa Nanga Bayan, kami bisa menggunakan sepeda motor, menyusuri jalan setapak di pinggir hutan. Kondisi jalan yang berupa tanah dan batu, membuat warga swadaya meletakkan selembar papan kayu sebagai pengganti aspal. Di atas selembar papan yang sambung menyambung membentuk jalan setapak inilah, sepeda motor melaju menuju pintu masuk hutan.

Namun, sepeda motor hanya bisa digunakan sampai di pintu masuk hutan. Tiba di pintu masuk, kami disambut oleh jalan tanah yang mulai menanjak dan terbelah, juga satu pos polisi yang sudah hancur. Kami memarkir motor dan meninggalkannya untuk melanjutkan perjalanan menembus hutan lindung Sintang menuju Lembah Empaung.

Sekitar dua jam kami berjalan kaki menyusuri bukit, lembah, dan sungai di tengah hutan untuk bisa tiba di lembah ini. Jalanan ini juga menjadi jalur menuju pos jaga TNI di perbatasan. Namun bedanya, untuk mencapai pos kami harus mengambil jalur setapak sebelah kanan, dan untuk ke kebun lada mengambil jalur setapak sebelah kiri.

4. Meninggalkan desa untuk merawat lada di tapal batas

Di Lembah Empaung ini tinggal sekitar 91 warga. Mereka merupakan warga Nanga Bayan yang meninggalkan desa untuk tinggal sementara waktu di lembah demi merawat pohon lada mereka.

Menti, seorang ibu yang memiliki kebun lada, mengaku sudah 4 tahun tinggal di lembah untuk mengurus tanaman ladanya. Hanya suaminya yang sering turun ke kampung untuk menengok rumah atau mengantar anaknya saat tiba waktu sekolah.

Di Desa Nanga Bayan, pekerja di kebun atau ladang yang disebut uma, mayoritas perempuan. Mereka merawat ladang atau kebun dan juga keluarga. Sementara laki-laki lebih berperan sebagai pembuka ladang dengan pekerjaan menebang pohon dan membakar lahan, berburu, bekerja di kebun sawit, mencari ikan, atau memasang pancang tiang lada.

Saat tiba di Lembah Empaung, pada Jumat (12/7), kami disambut Menti dan anaknya yang masih kelas 6 SD, dan lima perempuan lainnya. Para perempuan yang sudah bersuami ini tengah memanen lada di kebun Menti. Mereka bukan buruh pemetik lada semata, tapi juga pemilik kebun.

Jumlah warga yang minim memaksa mereka harus berperan ganda–menjadi pemilik kebun sekaligus buruh pemetik lada. Saat panen lada di kebun tetangga, mereka akan menjadi buruh pemetik untuk membantu tetangganya tersebut. Sebaliknya jika lada di kebunnya harus dipanen, para tetangga pemilik kebun lainnya bekerja kepadanya menjadi pemetik lada.

Peran ganda ini juga terjadi pada laki-laki. Para suami perempuan itu bergantian menjadi buruh yang memanggul lada dari kebun hingga ke perbatasan Malaysia saat lada dijual ke negeri tetangga.

5. Jalan kaki memasok lada ke Negeri Jiran demi harga yang lebih baik

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Sebagian besar lada hasil perkebunan di desa perbatasan ini dijual ke Sarawak, Malaysia. Baik lada hitam maupun lada putih. Mereka memasok sahang ke Malaysia tidak hanya melalui jalur tikus di Dusun Keburau, tapi juga melalui pintu perbatasan lainnya, seperti di Kecamatan Entikong Kabupaten Sanggau, yang merupakan kabupaten tetangga Sintang.

Mereka memilih menjual sahang ke Negeri Jiran, selain karena lokasinya dekat dengan kampung, juga karena harganya lebih menggiurkan. Jarak Desa Nanga Bayan ke Sarawak sekitar 10 km, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 2,5 jam. Jarak ini menjadi lebih dekat jika berangkat dari Dusun Keburau atau Lembah Empaung, yakni sekitar satu jam jalan kaki untuk sampai di Kampung Gua, sebuah kampung di pintu masuk Sarawak yang berbatasan langsung dengan Dusun Keburau, Desa Nanga Bayan.

Warga lebih memilih berjalan kaki ke Sarawak, meski harus sambil memanggul lada atau barang lainnya, karena tak perlu mengeluarkan ongkos mahal untuk sewa kendaraan ke perbatasan di Entikong atau ke Kota Sintang.

Untuk bisa ke Entikong atau Kota Sintang dari Desa Nanga Bayan, harus menggunakan kendaraan jenis pick up double cabin. Tarifnya sekali perjalanan, Rp400 ribu per orang untuk tujuan ke Kota Sintang.

Tak heran, warga desa yang sudah terbiasa turun naik bukit baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, lebih memilih menembus hutan berjalan kaki menuju Malaysia. Kondisi jalan yang sangat tidak bersahabat, juga membuat mereka enggan ke Sintang atau daerah-daerah tetangga lainnya di Kalimantan Barat.

“Sampai sekarang kepala kita ni masih sakit,” ujar Imau mengungkapkan jauhnya perjalanannya yang harus ditempuh jika ke Kota Sintang atau Entikong, dengan kondisi jalan yang sebagian besarnya berupa tanah dan berbatu, hingga membuat sakit kepala saat perjalanan.

6. Mengumpulkan ringgit tanpa paspor

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Sebagai warga desa yang berbatasan langsung dengan Malaysia, warga Nanga Bayan mengaku tidak sulit masuk ke Malaysia. Mereka tidak perlu menggunakan kartu lintas batas, apalagi paspor.

Polisi Malaysia yang menjaga perbatasan pun seolah sudah mengenal mereka, sehingga tidak menggeledah atau memeriksa mereka saat menginjakkan kaki di Negeri Jiran. Apalagi bahasa mereka sama, yakni Bahasa Dayak Iban.

Menjual lada ke Sarawak, warga desa Nanga Bayan merasa dimanjakan. Selain harganya lebih mahal, saat tiba di perbatasan, mereka dijemput oleh tauke-tauke yang memborong lada mereka.

Para tauke tersebut menyediakan kendaraan yang menjemput warga Nanga Bayan di perbatasan untuk dibawa ke pasar dan kota di Sarawak. Tak jarang para tauke tersebut memberikan makanan, minuman, dan juga kebutuhan lainnya kepada mereka.

Soal harga jual, Runa mengungkapkan, di Sarawak lada dijual sesuai harga pasar dengan mata uang ringgit Malaysia. Jika harga bagus, bisa sampai di atas Rp100 ribu per kilogram.

7. Perbandingan harga lada di Malaysia dan Indonesia yang timpang

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Menurut Runa, harga jual lada di Malaysia lebih mahal daripada Indonesia. Jika di Sarawak satu kilogram dijual 16 ringgit atau sekitar Rp54.000, maka di Indonesia harga bisa menjadi Rp26.000 per kilo. Tak heran, meski berjalan kaki dua jam lebih menembus hutan, namun warga lebih memilih ke Sarawak untuk menjual hasil ladangnya.

Warga mengungkapkan, kondisi di Sarawak jauh berbeda dari Desa Nanga Bayan. Jika di Nanga Bayan warga harus menembus hutan dan naik bukit untuk sampai ke perbatasan, maka di Sarawak, jalan aspal sudah menyambut warga begitu keluar dari hutan perbatasan.

“Di sana bagus, jalan aspal, beda dengan kita,” ujar hampir seluruh warga Nanga Bayan mengenai kondisi yang sangat berbeda jauh antara wilayah perbatasan Indonesia di Nanga Bayan dengan Sarawak, Malaysia.

8. Dayak Iban, bahasa penyatu dua bangsa

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Warga ramai-ramai pergi menjual hasil ladang mereka ke Sarawak setiap Kamis dan Minggu. Jika sedang musim durian tiba, mereka beramai-ramai pergi membawa lada, durian, sayur, dan hasil ladang lainnya untuk dibarter dengan barang-barang kebutuhan berladang seperti pupuk dan juga kebutuhan pokok seperti gula, minyak goreng, beras, ayam, hingga terasi untuk dibawa pulang ke Indonesia. Durian Sintang dikenal sangat enak rasanya loh.

Barang-barang itu dipikul oleh para laki-laki dari ladang atau desa dengan upah pikul 1 ringgit per kilogram barang. Sementara upah pikul telur berbeda lagi karena membawanya harus ekstra hati-hati.

Jual beli berlangsung di Pasar Kuari daerah Lacau, Sarawak. Bahasa yang dipakai di tempat ini adalah bahasa Iban, seperti warga Nanga Bayan, sehingga tidak ada kesulitan komunikasi. Bahkan banyak warga yang memiliki saudara dan kerabat yang tinggal di Sarawak.

Menti mengungkapkan, sepupunya menikah dengan seorang polisi Malaysia di Sarawak, dan banyak saudara-saudaranya yang merupakan warga negara Malaysia dan menetap di Sarawak. Tak heran Menti dan keluarganya di Nanga Bayan sering bolak-balik Nanga Bayan-Sarawak untuk belanja, berobat, atau berlibur. Begitu juga dengan Imau yang mengaku anaknya tinggal di Sarawak dan bekerja di supermarket.

9. Berobat di Sarawak pakai KTP Indonesia

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Untuk berobat di rumah sakit di Sarawak, warga juga mengaku tidak kesulitan. Cukup mendaftar dan menyerahkan KTP Indonesia, tanpa harus menggunakan paspor dan terkena birokrasi lainnya, mereka sudah ditangani oleh dokter-dokter spesialis.

Karena itu, hampir semua warga Nanga Bayan memilih berobat ke Malaysia dan percaya pengobatan di Negeri Jiran lebih bagus dan murah.

Sinan, suami Menti mengungkapkan, pernah sakit ginjal dan berobat di Sarawak. Cukup menyerahkan KTP dan deposit 50 ringgit atau sekitar Rp169 ribu (dengan nilai tukar sekitar Rp3.389 per 1 ringgit), dia sudah ditangani dokter spesialis dan tidak membayar apa-apa lagi hingga pengobatan selesai.

“Cuma itu, cukup sampai selesai. Saya di sana cek darah dan air kencing,” ujar Sinan, laki-laki 46 tahun itu mengisahkan pengalamannya.

Sementara kalau berobat di Indonesia, kata Sinan, harus menyiapkan banyak uang karena selain rumah sakitnya jauh, juga harganya mahal.

“Mana obatnya banyak lagi, maka saya kalau sakit kalau masih bisa ke sana (Malaysia) lebih baik ke sana, kecuali kalau sudah tidak bisa ke sana (Malaysia),” ungkap ayah 2 anak ini.

“Kalau saya bandingkan ongkos berobat itu lebih murah, padahal kan kita orang asing,” lanjutnya. Karena lebih sering berobat ke Malaysia, Sinan mengaku tidak paham bagaimana proses berobat di rumah sakit Indonesia.

“Jadi kita itu mau berobat berkali-kali ke rumah sakit pun enak. Semua mudahlah, jadi rasa persaudaraan itu gak mengenal warga negara,” ucapnya.

Soal mudahnya berobat ke Sarawak, tidak hanya disampaikan Sinan, tapi hampir seluruh warga Desa Nanga bayan yang ditemui IDN Times mengungkapkan hal yang sama. Kalau ada warga yang sakit parah atau darurat, maka warga kampung beramai-beramai menandunya membawa berobat ke Malaysia.

9. Lada sebagai komoditas unggulan Kabupaten Sintang

Lada, Jantung Kehidupan Desa Nanga Bayan di Tapal Batas Negeri

Di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, lada tidak hanya tumbuh di Desa Nanga Bayan. Pohon lada juga tumbuh subur di desa-desa lain seperti di wilayah Kelam. Lada yang dihasilkan adalah lada putih dan hitam, dengan kualitas A.

Banyaknya pohon lada dengan produksi yang terus meningkat dari tahun ke tahun, membuat Bupati Sintang Jarot Winarno menjadikan lada sebagai salah satu produk unggulan daerahnya, selain sawit dan karet.

Kini Dinas Penanaman Modal Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sintang tengah berupaya memperluas pasar ekspor lada ke negara-negara lainnya, selain Malaysia.

Untuk diketahui, pada 2018 pohon lada ditanam di lahan seluas 2.355 hektare yang tersebar di 14 kecamatan di Sintang. Produksi lada pada 2018 mencapai 901,30 ton, jumlah ini meningkat pesat dari produksi pada 2017 yang menghasilkan 773,00 ton.

Sementara untuk produktivitas, pada 2017 produktivitas lada mencapai 877,00 kilogram per hektare. Sementara pada 2018, mampu menghasilkan 847,48 kilogram per hektare. (idntimes)