21 September 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Papua Adalah Indonesia, Indonesia Adalah Papua

BatasNegeri – Kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Papua Barat, hari ini mengundang perhatian banyak pihak. Tak terkecuali sesepuh masyarakat Papua, Ambassador Freddy Numberi, yang menginginkan semua anak bangsa hidup rukun dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dia menuturkan, harapan untuk hidup dalam NKRI yang merdeka, berdaulat, adil, demokratis, dan menghormati HAM menjadi kabur manakala dirasakan menjadi Indonesia hanya sebuah nama tanpa makna. Bagi mahasiswa mahasiswi Papua yang berada pada kota-kota studi di Surabaya, Malang, Semarang, dan lainnya yang mengalami diskriminasi dan perlakuan tidak adil oleh sesama anak bangsanya atau saudaranya setanah air, tentunya ada perasaan kesal dan kecewa.

“Apalagi dihina dengan kata-kata kasar dan tidak dilindungi oleh negaranya dalam hal ini aparat keamanan. Mereka pasti memiliki perasaan bahwa tidak ada bedanya antara perlakuan Kolonial Belanda dengan negara yang dicintainya, Indonesia,” ujar Freddy dalam keterangan pers yang diterima di Martapura, Sumsel, Senin (19/8/2019).

Dia mengatakan, Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan UUD 1945 dan memiliki falsafah hidup Pancasila yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain didunia. Namun, UUD 1945 dan Pancasila sebagai falsafah hidup dalam berbangsa dan bernegara, yang notabene dibacakan setiap saat, terutama pada peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus setiap tahun, dan diagungkan sebagai pilar-pilar kebangsaan, terasa jauh dan terkesan tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari malah diabaikan.

Dia mengaku sangat prihatin, Indonesia dalam usia kemerdekaannya yang ke-74 tahun dan Papua setelah 56 tahun sesuai prinsip Internasional ‘Uti Possidetis Juris’ (John Saltford, The United Nations and the Take over of West Papua 1962-1969;2003:hal.8), kembali ke rumahnya yang bernama NKRI masih saja diperlakukan diskriminatif, dihina, dan diperlakukan tidak adil. Ada kesan pembiaran diskriminasi oleh negara terhadap sekelompok kecil warga negaranya yang notabene adalah mahasiswa-mahasiswi asal Papua.

“Mahasiswa mahasiswi Papua bertanya, ‘Apakah orang Jawa, Makassar, Batak, dan etnis lainnya di Nusantara harus menjadi orang asli Papua dulu agar dapat bersolidaritas dan membela hak asasi orang Papua dalam keberagaman jati diri Bangsa Indonesia?’ Pertanyaan ini menggelitik untuk dicermati oleh setiap anak Bangsa Indonesia yang peduli terhadap sesama saudaranya di negara maritim Indonesia, suatu negeri kepulauan terbesar di dunia,” ujarnya.

“Papua adalah Indonesia dan Indonesia adalah Papua. Mengenal dan memahami anatomi masalah Papua berarti memperkenalkan kita pada Indonesia yang sebenarnya,” ucap Freddy.

Menurut dia, Papua adalah Indonesia yang proses negosisasi kebangsaannya belum tuntas, apalagi divonis harga mati. Membicarakan masalah Papua berarti NKRI ikut memikirkan dan peduli terhadap sebagian rakyatnya yang perlu diselamatkan, dilindungi, disejahterakan, dan dihormati hak asasinya sesuai UUD 1945 dan Pancasila.

Dia mengingatkan, pada peristiwa Surabaya dan Malang, semua pihak harus menahan diri agar tidak timbul konflik yang mengarah pada penyakit laten Bangsa Indonesia, yaitu suku, agama, ras, dan antarolongan (SARA). Pihak keamanan harus memproses pelakunya secara profesional tanpa pilih kasih, sehingga mendapat kepercayaan dari para pihak yang bertikai. Termasuk kejadian-kejadian di Tanah Papua.

“Bapak Proklamator Bung Karno pada pidato HUT Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1951 di Medan, Sumatera Utara, mengatakan bahwa ‘Hukum itu berlaku buat segala zaman, buat segala tempat, buat segala warna kulit, buat segala agama dan ideologi. Hak-hak asasi manusia itu, satu konstitusi yang dapat kamu banggakan, satu konstitusi yang dapat kamu teladani’. Semoga,” tuturnya. (inews)