BatasNegeri – Hermene Gilda Dos Santos (44) baru saja menapaki halaman tempat tinggalnya, Senin (5/8/2019) pagi. Kedua tangannya menenteng ember berisi air dari sumur yang tak jauh dari sana.
Di beranda depan, Agusta Dos Santos (13), anak perempuan Hermene, tengah menumbuk jagung. Siswi kelas VII SMP Salore itu ditemani Wilson Dos Santos (5), si bungsu. Lima bendera Merah Putih yang terpasang di pagar dan terus berkibar diterpa angin menemani aktivitas mereka pagi itu.
Setelah meletakkan ember di kamar mandi, Hermene mengambil potongan daun lontar kering, lalu dibuat anyaman tanasak. Daun itu dibelinya Rp 7.500 per ikat. ”Sa jual tanasak, tempat sirih pinang ini, Rp 65.000,” kata Hermene.
Kesehariannya, Hermene juga membuat anyaman untuk tempat beras atau jagung yang dijual Rp 25.000 per buah, serta tikar ukuran 2,5×1,5 meter yang dijual Rp 100.000 tiap helai. Sebulan ia bisa membuat belasan anyaman wadah, serta 2-3 helai tikar. Hasil penjualan anyaman itu untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Antonio Dos Santos (48), suami Hermene, sehari-hari mencari ranting kering di hutan untuk kayu bakar, serta berkebun. Lahan sekitar 1.500 meter persegi milik kerabatnya itu ditanami jagung. Panenan tahun ini hanya menghasilkan dua karung, masing-masing sekitar 50 kilogram. Jagung yang dihasilkan tidak dijual, tetapi dikonsumsi sehari-hari. ”Kami makan siang sa. Pagi dan malam, tidak (makan). Kalau ada uang beli sayur, kalau tak ada uang makan jagung sa,” kata Hermene.
Keluarga Antonio dan Hermene merupakan cermin warga eks Timor Timur yang hingga kini masih berjuang demi penghidupan yang layak. Sempat menempati kamp pengungsi di Belu pascajajak pendapat 1999, warga kelahiran Balibo di Timor Timur itu kini menumpang di gubuk berukuran 6×8 meter milik kerabatnya, di Desa Tulakadi, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu. Dinding gubuk itu berupa bebak, dahan lontar kering yang disusun berjajar. Adapun atapnya dari seng dan lantainya masih tanah.
Meski kondisi ekonominya kini masih jauh dari sejahtera, mereka tetap berharap akan masa depan yang lebih baik. ”Sa pu cita-cita jadi polwan. Saingin orangtua bangga,” kata Agusta dengan tersenyum.
Sekitar 3 kilometer dari tempat tinggal Hermene, Eugenodera Madeira (46) tampak sibuk mengupas buah asam. Pria yang biasa dipanggil Jenu itu telaten mengupas satu per satu buah asam yang dikumpulkannya dari hutan sejak subuh. ”Hasilnya lumayan. Sehari terkumpul 20-30 kilogram, sa jual 4.000 rupiah per kilogram,” katanya.
Sembari mengumpulkan buah asam di hutan, Jenu juga mengumpulkan ranting kering untuk kayu bakar. Selain dipakai sendiri untuk kebutuhan memasak, ranting kering itu dijual Rp 5.000 per ikat.
Di rumahnya yang berukuran 8×7 meter di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Jenu juga berjualan barang kelontong dan bensin eceran. Di luar itu, ia juga mengolah lahan 0,5 hektar miliknya untuk ditanami jagung, pepaya, tomat, dan cabai. ”Di sini, kalau malas, tidak bisa makan,” kata Jenu.
Masih lekat dalam ingatan bagaimana ia dan keluarga eksodus dari Timor Timur, September 1999. Lima tahun ia bertahan hidup di kamp pengungsian di Desa Silawan, mengandalkan bantuan pemerintah dan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Dari menyisihkan sebagian bantuan serta keuletannya bekerja, Jenu bisa membeli rumah dan lahan di pinggir jalan perbatasan menuju Timor Leste. Ia juga bisa menyekolahkan empat anaknya, yakni satu di bangku SMA, dua di bangku SMP, dan satu masih SD.
Dengan perjalanan hidup berliku yang dijalani selama 20 tahun terakhir, serta memulainya dari tidak memiliki harta sepeser pun, Jenu justru semakin cinta Indonesia. ”Sa bangga jadi orang Indonesia. Apalagi, di perbatasan banyak yang dibangun, jalan juga bagus. Kami orang NTT bangga punya (Presiden) Jokowi,” kata Jenu yang sudah memasang bendera Merah Putih di depan rumahnya sejak 2 Agustus lalu.
Pengabdian
Bagi sebagian warga eks Timor Timur, pilihan untuk tetap menjadi warga negara Indonesia bukan sekadar pilihan politik yang didasari semangat patriot. Lebih dari itu, di antara mereka ada yang memang terpanggil untuk mengabdi bagi Indonesia. Salah satunya Melikhior Abi (58), warga asli Ambeno, Oekusi, Timor Timur.
Satu dekade sebelum jajak pendapat 1999, pria yang akrab dipanggil Melkhi ini menjadi guru PNS di Distrik Ermera, Timor Timur. Sesaat setelah jajak pendapat dan Timor Timur lepas dari Ibu Pertiwi, Melkhi dan keluarga turut eksodus. Mereka tinggal di kamp pengungsian di Dusun Haliwen, Desa Kabuna, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu.
Setahun tinggal di pengungsian, Melkhi datang ke Dinas Pendidikan setempat agar bisa melanjutkan status guru PNS. Ia pun ditempatkan di SD Salore. ”Talenta saya jadi guru. Indonesia telah memberi semua, membuka wawasan saya. Jadi, lebih baik tetap mengabdi di Indonesia,” katanya.
Dari hasil mengajar, sedikit demi sedikit ia bisa mengumpulkan untuk modal jualan sirih pinang di pinggir jalan. Usaha sambilan itu pun terus berkembang hingga ia bisa membuka toko kelontong, selepas jam mengajar. Ia juga bisa membantu orangtua yang tinggal di Timor Leste, dengan mengirimkan sejumlah uang.
Pada 2001, tanah seluas 13×64 meter pun terbeli. Pada 2017, Melkhi bisa membangun rumah permanen seluas 12×8 meter, tempat bernaung bagi istri dan lima anaknya. Di luar pencapaian tersebut, ada hal yang jauh lebih berharga bagi Melkhi. ”Kebanggaan saya melihat murid-murid di kemudian hari sukses dan mereka masih ingat saya,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Kades pertama
”Saya awalnya tidak ada niat jadi kepala desa. Semua karena dorongan dari masyarakat,” kata Arthur. Sebelum menjadi kepala desa, Arthur bekerja di lembaga swadaya masyarakat Josa De Lamor yang bergerak di bidang pemberantasan buta huruf. Dari aktivitas yang banyak bersentuhan langsung dengan masyarakat itu, warga mengenal pribadi dan kiprahnya. Warga pun mencalonkan Arthur menjadi kepala desa.Panggilan mengabdi kepada Merah Putih mengantarkan Arthur Ximenes menjadi Kepala Desa Manusak di Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang. Setelah menjabat periode 2011-2017, Arthur terpilih lagi pada periode berikutnya hingga 2024. Ia pun menjadi warga eks Timor Timur pertama yang menjabat kepala desa di NTT, pascajajak pendapat 1999.
Saat awal menjabat, Arthur menghadapi tantangan berat untuk mengubah citra Manusak sebagai desa yang miskin dan seperti tak punya harapan. Dari 4.137 jiwa atau 907 keluarga di Manusak, sekitar 75 persennya warga eks Timor Timur. Lebih dari 35 persen keluarga di Manusak tergolong miskin.
Sejumlah program digulirkan dan kemiskinan di Manusak perlahan menurun. Program itu, di antaranya bantuan penyediaan rumah warga, pengadaan listrik, penyediaan lahan pertanian, serta pemberdayaan ekonomi warga. Hasilnya, jumlah penduduk miskin pada 2017 tersisa 219 keluarga.
Pada jabatan periode kedua ini, Arthur berkeinginan untuk terus mengurangi kemiskinan di Manusak. ”Saya pilih di sini, hidup mati di Indonesia. Saya harus melayani dengan cara apa pun di sini,” ujarnya.
Perjalanan hidup Hermene, Jenu, Melkhi, dan Arthur hanyalah sekelumit perjuangan hidup dari ribuan warga eks Timor Timur. Ketua Uni Timor Aswain Wilayah NTT Angelino Dacosta menyebutkan, pada 1999 ada sekitar 350.000 warga eks Timor Timur di NTT.
Pergulatan hidup yang dialami warga eks Timor Timur selama dua dekade, setidaknya memberi pelajaran berharga tentang spirit kemerdekaan, yakni perjuangan, kegigihan, keuletan, serta kecintaan yang begitu besar dan hasrat untuk mengabdi bagi Merah Putih. Mereka terus berjuang, di tengah kemiskinan warga NTT yang pada Maret 2019 mencapai 1,14 juta jiwa atau sekitar 21,09 persen penduduk NTT. (kompas)
More Stories
Kemendag Optimistis Perdagangan dan Investasi Indonesia-Tiongkok Meningkat di CAEXPO 2024
HUT ke-14 BNPP, Mendagri Dorong BNPP Kembangkan PLBN Jadi Sentra Ekonomi Baru
Pasir Laut atau Sedimen yang Boleh Diekspor?