BatasNegeri – Hidup di perbatasan negara kerap menjadi ironi. Negeri tetangga yang bertabur cahaya saat malam hari menjadi simbol kemakmuran. Tak pelak, masyarakat di perbatasan banyak menggantungkan hidup dari negeri tetangga, Malaysia.
Di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, masyarakat banyak menjual hasil bumi dan laut ke Malaysia. Itu dilakukan karena jarak yang mudah dijangkau dan beberapa komoditas bisa dijual lebih mahal di sana.
Pulau Sebatik adalah pulau terluar Indonesia di sisi timur laut Pulau Kalimantan. Wilayahnya terbagi dua: sisi selatan menjadi wilayah Indonesia, sisi utara menjadi wilayah kekuasaan Malaysia. Wilayah Indonesia dihuni oleh orang perantauan dari Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan wilayah lain.
Kondisi ini membuat distribusi kebutuhan sehari-hari yang mayoritas diproduksi di Jawa dan Sulawesi tak mudah sampai di Sebatik. Akhirnya, masyarakat Sebatik membeli berbagai bahan makanan pokok dan barang dagangan dari Malaysia. Mereka memiliki pelabuhan tak resmi yang digunakan kapal-kapal penyuplai bahan makanan pokok bersandar. Berbagai kebutuhan itu masuk ke Indonesia tanpa melewati bea dan cukai.
Hal itu terpaksa dilakukan bertahun-tahun karena barang yang didapat dari Malaysia lebih murah dan lebih cepat sampai. Dari Desa Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Tengah, wilayah Tawau, Malaysia, yang ada di Pulau Kalimantan bisa terlihat. Masyarakat bisa menuju Tawau hanya dengan menggunakan speed boat selama 15 menit.
Nilai tukar rupiah yang tak bersaing dengan ringgit Malaysia juga membuat masyarakat masih menggunakan ringgit dalam kegiatan ekonomi. Pada Minggu (22/9/2019), 1 ringgit Malaysia setara dengan Rp 3.378. Di Desa Aji Kuning, masyarakat masih menggunakan rupiah dan ringgit Malaysia untuk berbagai kegiatan ekonomi.
Sejak perbankan masuk dan memberikan berbagai kredit, rupiah saat ini mendominasi Pulau Sebatik. Kantor Bank Indonesia Perwakilan Kalimantan Utara mencatat, penggunaan mata uang rupiah menguat sejak 2008 di Sebatik. Pada 2008, ringgit Malaysia dominan digunakan di sana, yakni 60 persen. Kondisi itu mulai membaik pada 2017, penggunaan rupiah sekitar 70 persen.
Pada 2018, penggunaan rupiah kian membaik, yakni 78 persen. Rupiah masih belum bisa sepenuhnya digunakan di Sebatik karena masyarakat banyak berbelanja ke Tawau menggunakan ringgit Malaysia.
Sekolah
Saat ini, di Sebatik sudah terdapat taman kanak-kanak hingga SMA. Namun, belum semua masyarakat di sana mudah mengakses pendidikan. Warga Indonesia yang bekerja di perkebunan sawit di Pulau Sebatik bagian Malaysia, misalnya. Mereka tinggal di tengah ladang yang jauh dari pusat permukiman.
Melihat hal itu, salah seorang bidan di sana, Suraidah (64), mendirikan Sekolah Tapal Batas gratis di Dusun Berjoko, Desa Sungai Limau, Kecamatan Sebatik Tengah. Anak usia sekolah dasar dan prasekolah bersekolah gratis di sekolah itu.
Masyarakat yang tinggal sejak 1970-an bahkan menyekolahkan anak-anak mereka di Tawau. Ambo Ala (57), misalnya. Pemilik warung di Patok 3 perbatasan RI-Malaysia di Desa Aji Kuning itu menyekolahkan anaknya di Tawau pada 1990-an.
Ambo akhirnya menitipkan anaknya kepada adiknya yang sudah menjadi warga negara Malaysia di Tawau. Di sana, anaknya sekolah hingga lulus kuliah. Saat ini, anaknya menjadi warga negara Malaysia dan bekerja di Bea dan Cukai Pemerintah Malaysia.
”Kalau di Sebatik, dulu sekolah belum lengkap. Kasihan nanti anak saya,” kata Ambo saat ditemui awal Agustus lalu.
Laut
Masyarakat Sebatik juga cukup akrab dengan laut. Jika ingin bepergian jauh, mereka harus menumpang speed boat menuju bandara di Pulau Nunukan atau Tarakan. Selain itu, berbagai kebutuhan sehari-hari juga banyak didapat di dua pulau tersebut. Pulau Nunukan menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Nunukan, sedangkan Pulau Tarakan menjadi pusat perekonomian Kalimantan Utara.
Sebagian besar masyarakat Sebatik bermata pencarian sebagai nelayan tradisional. Para istri nelayan biasanya menjadi buruh ikat bibit rumput laut. Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang potensial di Sebatik. Namun, saat ini rumput laut langsung dijual seusai panen. Masyarakat belum memiliki kemampuan untuk menaikkan nilai tambah rumput laut.
Selain memberikan manfaat, laut juga menjadi ancaman warga Sebatik. Di Desa Tanjung Aru, Kecamatan Sebatik Timur, abrasi tak tertahankan. Sepuluh tahun lalu, bibir pantai sekitar 200 meter dari jalan, tetapi saat ini ombak besar menggerus daratan hingga tersisa sekitar 1,5 meter.
Dana Desa yang digelontorkan belum optimal dialokasikan. Dari sekitar Rp 1 miliar Dana Desa, hanya Rp 15 juta untuk penanggulangan bencana. Pejabat pemerintah desa belum melek mitigasi bencana sehingga anggaran yang digelontorkan kecil.
Dengan berbagai persoalan di muka, sebagai teras Indonesia, Pulau Sebatik menjadi wajah Indonesia bagi negara tetangga Malaysia. Akankah Sebatik semakin mandiri ketika ibu kota kelak pindah ke Kalimantan?[*]
More Stories
Membangun Masa Depan Anak Perbatasan RI- Timor Leste melalui Minat Baca
Belajar dari Rote: Sekolah di Perbatasan, Ilmunya dari Penjuru Dunia
Dampak kemarau di perbatasan Indonesia-Timor Leste