BatasNegeri – Sinopsis: Kericuhan telah melanda wilayah Papua di Indonesia sejak bulan Agustus 2019. Australia telah mendesak pengekangan diri dari orang Papua maupun pemerintah Indonesia. Banyak pihak mendesak agar pemerintah Australia melakukan lebih banyak intervensi.
Papua merupakan wilayah Indonesia yang memiliki ikatan budaya dan etnis yang lebih dekat dengan Melanesia. Kawasan itu baru-baru ini telah diguncang gelombang protes selama lebih dari sebulan dan mengakibatkan kematian puluhan orang. Ketegangan antara orang Papua dan pemerintah Indonesia telah membara sejak Papua secara resmi dimasukkan menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah bebas dari jajahan Belanda dan usai pelaksanaan referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang secara luas dianggap curang tahun 1969.
Tahun 2003, wilayah Papua dipecah menjadi dua provinsi, yakni Papua Barat dan Papua. Meski demikian, wilayah itu lebih banyak disebut oleh media internasional sebagai Papua Barat.
Selama beberapa dekade sejak pengambilalihan wilayah Papua oleh pemerintah Indonesia, seruan untuk kemerdekaan Papua terus berlanjut dan terkadang mengakibatkan bentrokan mematikan.
Dalam beberapa pekan terakhir, kerusuhan di kawasan Papua dilaporkan telah menyebabkan puluhan korban jiwa dan banyak orang menderita luka-luka. Sayangnya, informasi yang terverifikasi sulit untuk diperoleh karena adanya pembatasan pelaporan oleh jurnalis internasional maupun tindakan perlambatan internet yang disengaja oleh pemerintah Indonesia.
Kerusuhan di Manokwari, Senin (19/8/2019). Foto: bisnis.com
Ketika ditanya di Canberra pekan lalu tentang situasi keamanan Papua yang terus memburuk, Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne mengatakan kepada awak media bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik harus melakukan “pengekangan mutlak.” Menurutnya, “Hal itu (situasi keamanan Papua) terus ditindaklanjuti oleh para perwakilan kami dengan pihak berwenang di Jakarta.”
Tetapi mengingat kerusuhan yang semakin mematikan tepat di seberang Australia, haruskah pemerintah Australia melakukan lebih dari sekadar menyerukan pengekangan?
Australia berupaya tidak merusak hubungan dengan Indonesia
Jonathan Pryke, direktur program Kepulauan Pasifik di Lowy Institute, mengatakan kepada podcast Signal di ABC bahwa para pemimpin politik Australia telah berusaha “menghindari masalah ini sebaik mungkin” dengan memberi wartawan “jawaban rutin demi ketenangan di semua sisi.” Faktanya, situasi keamanan Papua yang kian memburuk telah menjadi “permainan berisiko tinggi” bagi pemerintah Australia.
Secara resmi, Indonesia maupun Australia berkewajiban untuk “saling menghormati kedaulatan, integritas wilayah, persatuan nasional, dan kemandirian politik, serta tidak campur tangan dalam urusan internal satu sama lain” sesuai ketentuan Perjanjian Lombok yang diratifikasi tahun 2006.
Dikutip dari ABC, Minggu (6/10), Perjanjian Lombok dilakukan setelah pertikaian diplomatik ketika Australia menerima 43 pencari suaka asal Papua, yang akhirnya mendorong Indonesia untuk menarik duta besarnya dari Canberra.
Pryke menambahkan bahwa para diplomat dapat mempertimbangkan banyak faktor, termasuk jika seorang pejabat tinggi Australia akan berbicara tentang isu Papua, mereka harus memastikan pernyataan itu menimbulkan dampak nyata.
Australia seharusnya melakukan lebih banyak intervensi atas isu Papua
Pryke mengatakan situasi Papua telah memicu seruan khususnya dari negara-negara Melanesia agar Australia melakukan lebih banyak intervensi. Dia mengatakan bahwa di Vanuatu dan Kepulauan Solomon, terdapat “tuntutan terus-menerus” agar Australia mulai “lebih banyak bersuara atas masalah ini.”
“Di Pasifik, khususnya di Melanesia, ada rasa solidaritas dan persaudaraan dengan orang-orang Melanesia di Papua,” ujar Pryke.
Veronica Koman, aktivis dan pengacara Indonesia pro-Papua, mengatakan kepada program The World di ABC bahwa Australia setidaknya harus mendorong Indonesia untuk memberikan akses kepada Kantor Hak Asasi Manusia PBB dan wartawan internasional ke Papua. “Saya pikir masalah hak asasi manusia berada di atas perjanjian bilateral apa pun,” tuturnya.
Aktivis Papua Barat Victor Yeimo dan pengacara HAM Veronica Koman yang kini tinggal di Sydney dan sedang dikejar oleh pemerintah Indonesia. (Foto: via The Guardian)
Veronica Koman mengatakan bahwa setidaknya 55.000 penduduk Papua telah mengungsi, namun ABC tidak dapat memverifikasi klaim Koman tersebut secara independen.
Pengacara hak asasi manusia itu saat ini berada di Australia untuk berlindung dari ancaman keselamatan terhadap dirinya. Indonesia juga telah mengancam akan mengejarnya melalui Interpol.
Australia sebelumnya telah memihak Indonesia
Dalam periode pasca Perang Dunia II, Australia pada awalnya mendukung upaya kemerdekaan Papua, tetapi mundur karena strategi Perang Dingin Barat untuk meminimalisir “busur ketidakstabilan” (the arc of instability). Dalam beberapa dekade sejak itu, Australia telah menunjukkan kesediaannya untuk memihak Indonesia dalam masalah separatisme.
Sementara mantan Perdana Menteri Australia John Howard membanggakan “pembebasan” Timor Leste sebagai salah satu pencapaiannya, dokumen intelijen AS yang baru-baru ini diungkapkan menyatakan bahwa intervensi Amerika —bukan Australia— telah memaksa Indonesia untuk menghormati referendum kemerdekaan wilayah itu tahun 1999 dan mengizinkan masuknya misi penjaga perdamaian.
Dalam dokumen-dokumen itu tidak ada tanda-tanda bahwa Australia secara aktif menekan Amerika Serikat untuk mengambil langkah-langkah untuk melindungi rakyat Timor Timur, meskipun terdapat kekerasan yang memburuk dan bukti bahwa angkatan bersenjata Indonesia telah mendukung atau bahkan bekerja sama dengan kelompok-kelompok milisi setempat.
Profesor Clinton Fernandes di University of New South Wales menjabat sebagai analis intelijen utama untuk Timor Timur di Australian Theatre Joint Intelligence Centre (ASTJIC) di Sydney tahun 1999. Dia mengatakan kepada ABC bahwa dokumen-dokumen yang telah diungkapkan tersebut “pada dasarnya mengonfirmasi bahwa kebijakan pemerintah Howard adalah untuk memastikan Timor Timur tetap menjadi wilayah Indonesia. Dan pada akhirnya mereka terpaksa mengubah kebijakan.”
Menteri Luar Negeri Australia pada saat itu Alexander Downer membantah tuduhan sikap apatis pemerintah Australia terhadap kemerdekaan Timor Leste, sebagai respons terhadap ABC.
Pryke mengatakan bahwa situasi Papua jauh dari situasi mengkhawatirkan yang dapat mendorong jenis intervensi yang dilakukan terhadap Timor Leste tahun 1999. Pryke mengatakan bahwa Australia tidak akan menjadi pihak pertama yang mengajukan kekhawatiran atas hubungan dengan Indonesia.
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan belum memberikan komentar lebih lanjut tentang sikap Australia terhadap isu Papua.[*]
Sumber: www.matamatapolitik.com
More Stories
Personel Yonkav 12/BC Bantu Masyarakat Cor Jalan Di Perbatasan RI-Malaysia
TNI-POLRI Kerjasama Susun Kajian Pertahanan Perbatasan Negara dalam Mendukung IKN
Presiden Jokowi Buka dan Hadiri Nusantara TNI Fun Run di IKN