BatasNegeri – Pulau Sebatik, sebagiannya secara administrasi masuk dalam wilayah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sebagian lainnya adalah wilayah negara tetangga Malaysia.
Hanya dipisahkan oleh selat kecil, ke Sebatik hanya butuh waktu sekitar 15 menit perjalanan speedboat dari Nunukan.
Seberapa kuatpun pemerintah mengupayakan pembangunan merata, negeri di ujung Indonesia ini pasti mendapat antrian paling akhir. Melansir kumparan.com, di Sebatik masih banyak jalanan yang rusak dan memerlukan perbaikan.
Sarana infrastruktur di sekitar Desa Aji Kuning masih kalah jauh dibandingkan daerah lainnya di Kalimantan Utara.
Di Sebatik, yang ada hanya jalan melingkar yang mengelilingi pulau. Beraspal halus di beberapa sisi, tapi juga bolong, retak, berkerikil tajam hingga longsor di sisi lain. Kalau malam, gelap total di pesisir Sebatik. Belum seluruh wilayahnya menyala listrik 24 jam.
Hanya ada satu jalan raya di pulau ini. Jumlah pasar pun tak banyak. Satu hal yang paling mendominasi adalah kebun sawit ribuan hektare, kebun sawit yang dimiliki oleh segelintir pengusaha besar.
Berbicara tentang kehidupan penduduk Indonesia di Sebatik, mereka masih sangat bergantung dengan Malaysia, meskipun masuk ke dalam bagian tanah air kita tercinta. Ketergantungan ini dalam banyak aspek, salah satunya pemenuhan kebutuhan pokok yang dikonsumsi setiap harinya, hampir seluruhnya merupakan produk asal Malaysia.
Menurut salah satu warga perbatasan bernama Sannari, hal tersebut terjadi karena sulitnya masyarakat memperoleh barang-barang yang berasal dari Indonesia. Mereka hanya bisa mendapatkannya di Tarakan –yang notabene jaraknya jauh.
Selain itu, harga sembako yang mereka beli di Malaysia juga jauh lebih murah dibandingkan miliki Indonesia. Gula pasir yang merupakan kebutuhan sehari-hari masyarakat, harganya di Malaysia hanya RM 2.20 atau Rp6.600. Sementara gula pasir asal Indonesia bisa dibeli seharga 11.000-12.000 Rupiah.
“Kalau tak beli dari Malaysia, sudah tentu itu semua barang logistik mahal di Sebatik. Kami beli gula, minyak, beras, sampai gas elpiji buatan Malaysia. Kami beli pakai Ringgit di Tawau,” ujar Herman, salah satu warga Sebatik, dikutip news.act.id.
Hal unik lainnya di wilayah tapal batas ini, tak sedikit Masyarakat Penjaga Negeri hidup dengan Ringgit sebagai alat tukar utama. Hanya Ringgit bayaran yang mereka terima dari mengurus lahan sawit. Jumlahnya pun tak seberapa. Karena lebih sering berbelanja ke negara tetangga, Ringgit lebih familiar dan sering digunakan.
Hariadi (35) mengatakan bahwa berbelanja di negara tetangga adalah kebanggaan tersendiri. Prosesnya pun tidak terlalu sulit, hanya dengan menggunakan surat izin lintas batas, mereka sudah sampai di Tawau, Malaysia dan bisa membeli berbagai keperluan, dilansir dari detik.com.
Yang paling memprihatinkan adalah kurangnya air bersih untuk keperluan MCK masyarakat. Selain masalah air, ketiadaan puskesmas dan rumah sakit yang jauh membuat penduduk pergi ke rumah sakit milik Malaysia jika ada anggota keluarga mereka yang sakit.
Kendati begitu, masyarakat sangat mencintai Indonesia sebagai tanah tumpah darah mereka. Tak ada niatan sekalipun untuk pindah kewarganegaraan ke Malaysia.
Harapan mereka hanya satu: perhatian lebih dari pemerintah agar masyarakat yang ada di Sebatik sama seperti penduduk lain yang ada di berbagai belahan bumi Indonesia.[dari berbagai sumber]
More Stories
Dampak kemarau di perbatasan Indonesia-Timor Leste
Nelayan Johor Keluhkan Polusi dan Ikan yang Berkurang, Causeway Singapura-Malaysia Disebut Biang Keladinya
Cerita Pelajar Lintas Negara: Rumah di Malaysia, Sekolah di Indonesia