7 Desember 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

UNCLOS Beri Indonesia Hak atas SDA di Perairan Natuna

Klaim China atas perairan di sekitar Kepulauan Nansha (Spratly Islands) yang tidak jauh dari Natuna membuat Indonesia geram. Klaim itu bahkan sudah ditegaskan kepada Kementerian Luar Negeri RI melalui Dubes China yang bermukim di Indonesia. Menurutnya, perairan di sekitar Kepulauan Nansha (Spratly Islands) masih menjadi milik China.

Pemerintah China juga secara sepihak mengklaim kawasan itu berdasarkan aspek historis yang mengacu pada Nine-Dash Line.

Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis Laut China Selatan seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen diklaim China sebagai hak maritimnya, bahkan meski wilayah ini berjarak 2.000 kilometer dari daratan China.

Itulah alasan China sehingga membiarkan kapal-kapal nelayan dari negaranya tetap bertahan di perairan Natuna hingga saat ini. Kapal-kapal itu bersikukuh melakukan penangkapan ikan di lokasi yang berjarak sekitar 130 mil dari perairan Ranai, Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

Selain China, ada juga pihak lain yang menuding Indonesia belum menjalankan kewajiban total allowable catch atau jumlah tangkapan yang diperbolehkan sesuai Pasal 62 UNCLOS. Indonesia dianggap tidak mampu mengelola sumber daya perikanannya secara maksimal sehingga negara lain boleh bebas menangkap ikan di ZEE RI.

Atas semua klaim dan tudingan itu, Indonesia tegas menolak. Sikap Indonesia bukannya tanpa dasar. Indonesia berpegang pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 yang memberi hak berdaulat kepada Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam termasuk perikanan. Dan hak yang diatur berdasarkan UNCLOS itu bersifat eksklusif sehingga negara lain tidak boleh menangkap ikan di ZEE Indonesia.

Tentang penggunaan Pasar 62 UNCLOS yang mengatur ihwal total allowable catch yang menjadi kewajiban Indonesia, mengutip pernyataan diplomat khusus Desk Hukum Laut Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri, Gulardi Nurbintoro,  sudah ada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.50/KEPMEN-KP/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.

“Penggunaan Pasal 62 UNCLOS pada insiden Natuna tidak tepat, karena kalaupun Indonesia belum menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, tidak menjadikan negara lain serta merta berhak untuk menangkap ikan di ZEE RI,” tegas Gulardi Nurbintoro,

Bahkan, kata dia, UNCLOS menyatakan untuk negara lain dapat menangkap ikan di ZEE RI perlu adanya perjanjian atau pengaturan lain antara kedua negara tentang hak akses.

Pemberian hak akses ini juga sudah diatur oleh UNCLOS dan diprioritaskan kepada negara yang seluruhnya berbatasan dengan daratan (land lock) dan negara yang tidak diuntungkan secara geografis, bukan berdasarkan hak historis yang tidak dikenal oleh UNCLOS.

“Prioritasnya kepada negara land lock atau geographical disadvantage statesseperti Laos, Austria, dan Swiss. Yang jelas China tidak termasuk (dalam kategori negara prioritas yang bisa diberi hak akses perikanan oleh negara pantai),” tutur Gulardi.

Indonesia tentu tidak akan mundur selangkah pun demi mempertahankan wilayah kedaulatannya di Perairan Natuna. Pemerintah sedang mengupayakan berbagai langkah dan strategi untuk menghadapi klaim China. Sebagai bangsa, kita percaya bahwa para petinggi di Republik ini di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Ma’ruf Amin dengan segala kearifan yang mereka miliki akan menyelesaikan persoalan ini setuntas-tuntasnya, tanpa harus berkonfrontasi secara fisik. [*]