Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mensinyalir masih banyak Pekerja Migran Indonesia (PMI) berangkat bekerja ke luar negeri secara non prosedural alas ilegal.
Cara non prosedural itu ditempuh lantaran dililit sejumlah faktor penyebab, antara lain faktor ekonomi, ajakan keluarga yang sudah pernah bekerja menjadi PMI di luar negeri, berbelitnya pengurusan dokumen sebagai persyaratan kerja, minimnya kompetensi yang dimiliki serta tingkat pendidikan yang masih rendah, sehingga mudah dibujuk oleh para sindikat/calo.
Hal itu diungkap Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK, Ghafur Dharmaputra saat memimpin dan memberikan arahan pada Rapat Koordinasi Identifikasi, Pencegahan dan Penanganan PMI di Daerah Perbatasan, yang diselenggarakan di Kemenko PMK, di Jakarta, 6 Februari 2020.
Hadir dalam Rakor, Sestama BNP2TKI sebagai narasumber, Deputi Perlindungan BNP2TKI, Deputi Penempatan BNP2TKI, perwakilan dari Kemenaker, Kemenlu, Kemensos, Kemenkes, KPPPA, Ditjen Imigrasi Kemen.Hukum dan HAM, Kemendagri, dan perwakilan BP3TKI Tanjung Pinang, Pekanbaru, Pontianak, Nunukan, NTT, dan Medan.
Lebih lanjut, Ghafur menjelaskan mobilitas keberangkatan PMI ke luar negeri secara ilegal biasanya melalui daerah perbatasan seperti Nunukan (Kalimantan Utara), Entikong (Kalimantan Barat), Batam, Tanjung Pinang, Tanjung Balai Karimun (Kepulauan Riau), Tanjung Balai Asahan (Sumatera Utara), Dumai (Riau), dan Atambua (Nusa Tenggara Timur).
Sestama BNP2TKI, Tatang Budie Utama Razak menyampaikan “pelindungan bukan hanya penanganan masalah, melainkan pencegahannya. Kita harus membedakan apa yang dimaksud PMI Bermasalah dan PMI yang menghadapi masalah.” Adanya UU 18 tahun 2017 bertujuan untuk memberikan pelindungan kepada PMI sejak sebelum bekerja, selama bekerja dan sesudah bekerja. Pemerintah pusat hingga desa juga memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pelindungan PMI.
Menurut Tatang, Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya untuk menangani permasalahan PMI di perbatasan, antara lain: Penerbitan Peraturan Kepala BNP2TKI Nomor PER.19/KA/IX/2012 tentang Prosedur Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah pada Pengguna Berbadan Hukum di Wilayah Perbatasan, pendirian LTSA termasuk di daerah perbatasan, sosialisasi dan diseminasi informasi bekerja sama dengan elemen masyarakat, kerjasama untuk penegakan hukum dan penanganan PMI bermasalah baik deportasi/repatriasi, meninggal/sakit serta fasilitasi pemulangannya.
Beberapa poin yang dihasilkan dalam Rakor antara lain:
Pertama, perlunya penguatan peran Pemda (Provinsi hingga Desa) sesuai amanat UU No. 18 tahun 2017;
Kedua, memperkuat implementasi kerjasama lintas K/L dan Tim Satgas Pencegahan dan Penanganan PMI Nonprosedural bekerja sama dengan Pemda;
Ketiga, perlunya aturan khusus terkait tata kelola PMI di daerah perbatasan, baik di fase penempatan dan pelindungannya;
Keempat, integrasi program yang menggandeng daerah perbatasan dengan daerah kantong PMI (pendataan, pengaduan kasus, dan pemberdayaan);
Kelima, redokumentasi/program pemutihan PMI non prosedural menjadi PMI prosedural khususnya di Malaysia (perlu kesepakatan lintas K/L),
Keenam, perlunya monitoring dan evaluasi secara periodik yang dipimpin oleh Menko PMK. Sebagai tindak lanjut dari poin-poin penting tersebut, akan dilaksanakan Rapat Koordinasi membahas lebih detil dengan K/L terkait. [*]
kemenkopmk.go.id
More Stories
BP3OKP: Masyarakat Asli Papua Harus Tahu Label Pemanfaatan Dana Otsus
Harmony in the Pacific Menjadi Program Belajar Bersama RI-Pasifik
Tamu PON 2024 Dapat Berwisata ke Museum Aceh Saksikan Peninggalan Kesultanan Iskandar Muda