Medio Februari 2020, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dari Jakarta bekerjasama dengan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Kuching, Sarawak, Malaysia mengadakan bakti sosial (baksos) berupa pemberian alat kontrasepsi gratis bagi para pekerja di Sarawak, Malaysia.
Ini merupakan bukti kehadiran negara untuk para pekerja Indonesia di Malaysia. Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo bersama romobongan BKKBN Pusat dari Jakarta blusukan ke ladang kelapa sawit Tradewinds Plantations Berhard, Sarawak.
Menurut Konjen RI di Kucing, Yonny Tri Prayitno, saat ini, jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Sarawak, Malaysia, sebanyak 130 ribu orang. Mereka tersebar di 52 perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Saat rombongan BKKBN Pusat dan Konjen RI tiba, puluhan pekerja Indonesia di Tradewinds Plantations Berhard, Simunjan, yang terdiri dari pasangan suami istri (pasutri) mengaku sudah duduk manis di bawah tenda yang terpasang di pekarangan masjid, tak jauh dari pemukiman mereka.
Kepala Subdirektorat Kualitas Pelayanan KB Jalur Swasta BKKBN Pusat, dr Nia Reviani MAPS, tiba paling pertama di lokasi acara. Begitu wanita berkerudung merah jambu itu mendekat, rasa senang tidak dapat mereka sembunyikan lantaran sebentar lagi akan mendapat alat pencegahan kehamilan cuma-cuma.
Namun, gurat-gurat kebahagian itu mendadak sirna saat Nia mulai menjelaskan jenis alat yang akan diberikan. Nyali mereka mendadak ciut. Para ibu mengira bahwa pemerintah akan membagikan pil KB.
Pada kesempatan itu, BKKBN ingin mengutamakan pemberian alat kontrasepsi jangka panjang berupa KB susuk dan alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) atau intrauterine device (IUD) atau dikenal dengan spiral.
Nia bukan tidak membawa pil KB. Hanya saja, BKKBN ingin meningkatkan kesadaran para penyumbang devisa negara untuk menggunakan yang jangka panjang. Semata-mata untuk kebaikan mereka juga.
“Kalau ibu-ibu masih pakai pil, mau berat badannya bertambah terus? Dengan memakai KB susuk atau spiral, ibu-ibu bisa menurunkan berat badannya, pemakaiannya juga lama, dan kejadian untuk kebobolan pun akan kecil. Selain itu, kalau pakai yang jangka panjang, ibu-ibu bisa mengumpulkan uang untuk dipakai mudik. Ibu-ibu mau mudik, kan?,” kata dr. Nia sebagaimana dirilis liputan6.com.
Ternyata, keengganan para ibu itu menggunakan KB susuk lantaran salah persepsi. Menurut mereka, alat kontrasepsi yang ditanamkan di lengan akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Ada ketakutan di diri mereka tidak dapat mengangkat sawit hasil panen.
Mendengar seabreg kegelisahan yang ditunjukkan para pekerja Indonesia, Nia pun meyakini bahwa pemasangan KB susuk tidak akan menyulitkan gerak mereka.
“Tenang, ibu-ibu. Pemasangannya di sebelah kiri. Mengapa di sebelah kiri, karena tangan kiri jarang dipakai beraktivitas.”
Miskul, yang semula terlihat agak ragu, mantap melangkah bersama empat orang yang lain, berjalan di belakang Nia menuju perkantoran ladang kelapa sawit yang berjarak 200 meter dari pekarangan masjid.
Ruangan di sebelah kiri dari gedung perkantoran sudah disulap menjadi klinik KB. Terdapat tiga bilik berukuran kecil dengan pembatas kain berwarna hijau. Masing-masing bilik berisi kasur empuk dilapisi seprai berwarna biru, dengan tambahan dua buah bantal dan selimut yang tebal. Di dekat pintu, duduk seorang perawat yang bertugas mengukur tekanan darah para calon pemasang alat KB.
“Saya mau kurus,” kata Miskul sambil tertawa saat mengutarakan alasannya menjatuhkan pilihan menggunakan alat kontrasepsi susuk.
Miskul seharusnya menjadi orang pertama yang dipasangkan KB susuk. Sayang, ibu satu orang anak ini keburu panik, yang membuat tekanan darahnya mencapai 200 mmHg. Perawat pun menyuruh Miskul untuk istirahat sejenak.
Miskul saat sedang mendapatkan pelayanan pemasangan KB susuk
Sepuluh menit kemudian, Miskul kembali masuk ke dalam klinik. Saat menjalani pengecekkan tekanan darah, lagi dan lagi perawat meminta dia buat tenang. Tensi Miskul memang sudah turun, tapi hitungannya masih tinggi, yaitu 168 mmHg. Tekanan darah setinggi ini tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan.
ugup juga menyerang Nur Hayati. Tensi pertama wanita 34 tahun berhenti di angka 152/60 mmHg. Setelah beristirahat selama lima menit, dan menggunakan waktu yang sebentar itu untuk berkonsultasi dengan Nia guna meyakini diri sendiri bahwa tidak salah memilih, tekanan darah ibu tiga orang anak turun menjadi 128/60 mmHg.
“Belum pernah melakukan ini, jadinya deg-degan,” kata Nur.
Nur selama ini pengguna suntik KB tiga bulan. Hal ini sudah dia lakukan sejak lahir anak pertama yang sekarang sudah berumur 25 tahun. Gara-gara alat kontrasepsi yang dia gunakan, Nur kebobolan sampai akhirnya memiliki tiga orang anak yang jarak umurnya sangat berdekatan.
“Anak kedua saya umurnya 20 dan anak ketiga 19 tahun,” Nur menjelaskan.
Nur mengaku agak kelimpungan saat harus melakoni rutinitas suntik KB tiga bulan di tempat tinggalnya sekarang. Sebab, biaya yang digelontorkan tidak murah. Sekali suntik, kata Nur, dia harus membayar sebesar 90 Ringgit Malaysia atau setara Rp296 ribu.
“Karena harus cek kencing (urine) dulu. Jadi biayanya mahal,” ujarnya. Karena biaya yang agak mencekik, Nur tak ingin menyia-nyiakan ‘hadiah’ dari BKKBN.
Setelah perawat menyatakan Nur dalam kondisi baik-baik saja, seorang bidan membawa dia ke dalam bilik untuk dilakukan tindakan pemasangan alat kontrasepsi susuk. Saat tindakan berlangsung, Nur terlihat jauh lebih rileks. Tiga orang bidan yang menanganinya, terus mengajak Nur berbicara agar dia tidak merasakan sakit saat alat dimasukkan ke dalam lengan.
“Sakit, enggak?,” tanya seorang bidan.
“Tidak,” jawab Nur.
“Benar? Masa enggak sakit?,” tanya bidan yang lain.
“Benar,” jawab Nur lagi. Tidak sampai lima menit, pemasangan alat selesai.
Bahagia tak dapat Nur sembunyikan. Keinginannya untuk pasang alat kontrasepsi susuk pun terwujud. Saat ditanya bagaimana rasanya saat proses pemasangan alat kontrasepsi berlangsung, Nur menjawab,“Tidak sakit sama sekali. Kayak digigit semut, tapi lebih sakit digigit semut.”
Mahalnya biaya KB di sana juga dilontarkan pekerja Indonesia bernama Yamani. Saat berkeinginan ‘tutup warung’ setelah anak keempat lahir, Yamani berpikir agak panjang. Sudahlah mahal, keberadaan rumah sakitnya pun jauh dari pemukiman tempat tinggal dan kerja mereka.
Akan tetapi di satu sisi, wanita asli Makassar harus cepat-cepat melakukannya. Karena untuk kali ini, Yamani benar-benar takut kebobolan. “Kalau yang kemarin itu tidak ada yang kebobolan, karena kemauan sendiri,” kata dia.
Wanita 31 tahun memiliki empat orang anak, yang jarak kelahirannya bisa dibilang ‘lebih normal’ ketimbang Nur. Anak pertama Yamani berumur 17 tahun, anak kedua berumur 14 tahun, anak ketiga tujuh tahun, dan yang terakhir baru berumur satu tahun.
“Anak pertama laki-laki, ternyata anak kedua laki-laki lagi. Saya pengin anak perempuan, program lagi, yang lahir (anak ketiga) laki-laki lagi. Coba terus akhirnya anak terakhir dapat perempuan,” katanya.
Biaya KB bisa mencapai 100 Ringgit Malaysia
Menurut Yamani, setiap tiga bulan dia harus cek darah dan KB yang biayanya mencapai 100 Ringgit Malaysia atau setara Rp329 ribu. “Di kampung saya (Makassar) cuma Rp25 ribu,” katanya.
Yamani adalah pelaku suntik KB tiga bulan sejak 2004. Selama 15 tahun membiarkan hormon progesteron (progestin) yang berasal dari suntik KB masuk ke tubuhnya, membuat badannya melar.
“Dulu badan saya kecil,” kata Yamani. Yamani pun merasa lega setelah tahu sudah ada KB susuk tertanam di lengan kirinya. “Saya jadi bisa berhemat. Nanti kalau saya pulang kampong tiga tahun lagi, sekalian KB (susuk) lagi di sana,” ujarnya.
Biaya Melahirkan Tak Kalah Mahal
Yamani bercerita bahwa tidak hanya biaya KB saja yang mahal. Untuk melahirkan pun, Yamani setidaknya harus memiliki uang setidaknya 3.500 Ringgit Malaysia atau setara Rp11 juta.
Waktu anak ketiga lahir di rumah sakit di Kota Bintulu, biayanya masih lebih murah. Sekitar 900 Ringgit Malaysia atau setara Rp2,9 juta sudah mencakup semua. Mulai dari kamar, biaya dokter, sampai perawatan jika anak yang lahir terkena sakit kuning.
Sementara di rumah sakit di kawasan tempat tinggalnya sekarang, biaya sebesar 3.500 Ringgit Malaysia saja belum mencakup semua itu. “Kalau anak kena kuning, tambah lagi. Cek penyakit lain, nanti tambah lagi. Total di hospital kalau dihitung 6.000 Ringgit Malaysia (Rp19,7 juta),” katanya.
Melahirkan Sendiri di Rumah
Hal ini yang akhirnya membuat Yamani harus melahirkan anak terakhir di rumah. Bahkan, semua proses persalinan dilakukan berdua suami tercinta.
“Saya melahirkan sendiri dibantu suami. Tidak pendarahan dan yang menggunting ari-ari suami saya juga. Guntingnya pakai gunting rumah,” katanya.
Kegiatan Rutin
Konjen RI berkeinginan, kegiatan pelayanan pasang KB Susuk bagi PMI di Sarawak ini dapat dijadikan agenda rutin BKKBN.
“Katakanlah sekarang kita dapat satu ladang. Nanti dapat lagi satu ladang lagi, kita buat lagi,” harap Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Kuching, Yonny Tri Prayitno.
KJRI Kuching menyerahkan sepenuhnya kepada BKKBN terkait kesiapan mereka menjadikan ini kegiatan rutin yang bisa dilakukan lebih dari satu kali dalam setahun.
“Nanti diatur atau dikoordinasikan konsulat jenderal. Katankanlah, kami yang permisi dulu dengan pihak pengusaha di sini, supaya bakti sosial ini berjalan lancar,” kata Yonny. [*]
liputan6.com
More Stories
Membangun Masa Depan Anak Perbatasan RI- Timor Leste melalui Minat Baca
Belajar dari Rote: Sekolah di Perbatasan, Ilmunya dari Penjuru Dunia
Dampak kemarau di perbatasan Indonesia-Timor Leste