BatasNegeri – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) yang menetapkan status darurat kesehatan masyarakat terhadap penyebaran virus corona (Covid-19) di Indonesia (Kepres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19).
Sebelum menetapkan status ini, pemerintah pusat terlebih dahulu harus menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kedaruratan.
“Menyatakan Covid-19 sebagai penyakit berisiko yang dapat menimbulkan kedaruratan dan kesehatan masyarakat,” kata Jokowi di Istana Bogor, Selasa (31/03/2020).
Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020, Pemerintah memilih opsi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bukan karantina wilayah atau lockdown.PSBB bertujuan untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antar orang di suatu wilayah tertentu. Bentuk dari PSBB meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan dan/atau kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Lebih lanjut mengenai PSBB diatur dalam peraturan pemerintah.Penanganan keadaan dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat telah diatur dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.Dalam aturan tersebut, makna Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. (Pasal 1 ayat 2).
Sementara, Pasal 1 ayat 11 menjelaskan: Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Selanjutnya dalam Pasal 59 ayat 1 dijelaskan: PSBB baru bisa dilaksanakan setelah ada status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Bunyi pasal tersebut secara eksplisit merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sstatus Kedaruratan Kesehatan Masyarakat ditetapkan dan dicabut oleh pemerintah pusat.Dengan ditetapkannya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Pemerintah Pusat dapat menetapkan karantina wilayah di pintu masuk. Hal ini tertuang dalam UU Kekarantinaan Kesehatan Pasal 14 ayat 1.Pintu masuk yang dimaksud adalah tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara.
Ketentuan tentang penetapan pintu masuk ini diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Pintu masuk
Dalam situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, pemerintahan Jokowi dapat menetapkan dan mencabut penetapan pintu masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang terjangkit kedaruratan kesehatan masyarakat (Pasal 10 ayat 2).
Pintu masuk yang dimaksud adalah tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara.
Ketentuan tentang penetapan pintu masuk ini diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Selain itu, pemerintah pusat dapat menetapkan karantina wilayah di pintu masuk yang tata cara pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Pemerintah (Pasal 14 ayat 1 dan 2).Dalam Pasal 49 ayat 2 disebutkan penetapan karantina wilayah didasari atas pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.
Kegiatan masyarakat apa saja yang dibatasi PSBB?
Berdasarkan Pasal 59 ayat 3, hal-hal yang meliputi PSBB antara lain:
a. Peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. Pembatasan kegiatan keagamaan, dan
c. Pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.“Sesuai UU, PSBB ditetapkan Menteri Kesehatan yang berkoordinasi dengan Kepala Gugus Tugas COVID-19 dan kepala daerah, ini berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” tutup Jokowi.Maklumat Kapolri
Dalam membatasi kegiatan di tempat umum, Kepala Kepolisian Indonesia, Idham Azis, telah mengeluarkan maklumat.
Dalam maklumat tersebut, kegiatan berkumpul dapat dibubarkan, dan dapat dikenakan sanksi pidana.
Kepolisian, kata M. Iqbal akan menggunakan sejumlah pasal dari KUHP dengan ancaman pidana mulai dari 4,5 bulan hingga 7 tahun penjara jika terjadi perlawanan dari orang yang dibubarkan.
“Bahkan, resepsi pernikahan pun kami bubarkan. Tapi tentunya mengedepankan upaya persuasif humanis,” kata M. Iqbal.[*]
More Stories
Penguatan Kerja Sama Pertahanan Australia-Indonesia
Revitalisasi PLBN Meningkatkan Kesejahteraan di Perbatasan Indonesia
IKN: Titik Awal Era Baru Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan di Indonesia