BatasNegeri – Kantor berita Portugal, Lusa, 6 Juni 2020 melaporkan pemerintah Timor Leste ingin mengkriminalisasi pencemaran nama baik serta pelanggaran kehormatan dan reputasi terhadap individu dan entitas, di media dan jejaring sosial.
Langkah-langkah yang diusulkan itu, yang diperkenalkan dalam rancangan undang-undang untuk mengamandemen KUHP, disiapkan oleh Kementerian Kehakiman, di mana Lusa memiliki akses.
Undang-undang itu memungkinkan hukuman penjara untuk pelaku pencemaran nama baik, membuat menyinggung gengsi seseorang (bahkan yang sudah meninggal) atau suatu kelompok sebagai kejahatan.
Menanggapi hal itu, mantan Presiden Timor Leste José Ramos-Horta mengatakan, pemerintah seharusnya tidak memperdebatkan kemungkinan kriminalisasi pencemaran nama baik, karena undang-undang yang akan menghukum pelaku pencemaran berisiko membahayakan hak-hak warga negara.
Sebaliknya, katanya, pemerintah Timor-Leste harus berkonsentrasi pada masalah-masalah seperti ekonomi.
“Saya pikir itu bukan masalah prioritas bagi pemerintah. Daripada pemerintah dan parlemen membuang-buang energi dan waktu untuk membahas undang-undang baru itu, yang akan membatasi demokrasi kita, lebih baik mereka berfokus pada dinamika ekonomi kita yang lumpuh total,” katanya.
“Saya menghimbau kepada Perdana Menteri untuk memberi tahu pemerintah, kita memiliki prioritas lain. Mari kita berikan masyarakat kita kebebasan penuh untuk berbicara dan mengkritik,” ujar Ramos-Horta, seperti yang dikutip Asia Pasific Report.
“Apa yang harus dilakukan oleh Perdana Menteri, untuk menunjukkan ia tidak setuju untuk menghambat opini publik dan hak-hak warga negara,” tegasnya.
Undang-undang itu, menurut Ramos-Horta, mengingatkan pada beberapa undang-undang yang telah disahkan, yang dianggap “kejam” di tingkat internasional. Beberapa undang-undang itu telah berkontribusi pada penurunan peringkat Timor-Leste dalam hal kebebasan pers.
Sebelumnya, Timor Leste mengamandemen Undang-Undang Media tentang Dewan Pers yang menyebabkan peringkat indeks kebebasan persnya anjlok 26 peringkat ke posisi 103 dari 180 negara, menurut laporan Reporter Without Borders World Press Freedom Index.
“Saya tidak melihat bagaimana undang-undang baru ini akan membantu kebebasan berekspresi di Timor-Leste dan status Timor-Leste sebagai demokrasi penuh”, ucapnya.
Ramos-Horta juga mengkritik fakta bahwa proposal tersebut menggabungkan jaringan sosial, “yang seperti percakapan di kedai kopi”, dengan media. “Selama bertahun-tahun proliferasi jejaring sosial, saya tidak melihat platform itu telah memengaruhi keamanan, perdamaian, atau pembangunan negara dan martabat atau prestise pemerintah,” ujarnya, dinukil dari Asia Pasific Report.
“Gubernur adalah individu, seperti orang lain. Bukan karena mereka adalah Presiden, Perdana Menteri atau Wakil, mereka tiba-tiba menjadi orang-orang yang tidak bisa tersentuh,” sergahnya.
Ia menyebutkan insiden bulan lalu di Parlemen Nasional Timor Leste, di mana penyerangan antar deputi terjadi, menjungkirbalikkan meja, berteriak, mendorong, dan intervensi petugas polisi.
“Tidak ada keresahan yang lebih besar dari apa yang terjadi di Parlemen tersebut. Media dengan setia melaporkan apa yang terjadi, melaporkan pernyataan bombastis yang dilakukan beberapa pemimpin terhadap satu sama lain, dari sisi yang berbeda,” tuturnya.
“Jika kita tidak ingin media dan jejaring sosial melaporkan hal-hal memalukan yang tidak bermartabat, mari kita berperilaku dengan lebih sopan,” katanya.
Meski begitu, Ramos-Horta meminta para jurnalis untuk lebih berhati-hati dalam membuktikan fakta sebelum melaporkan berita tersebut, mencatat telah ada contoh seperti itu di media negara.[*]
matamatapolitik.com
More Stories
BPPD Kepri Dorong Konektivitas Serasan Sematan
Presiden Prabowo Disambut Hangat di Kupang
Menko Polkam: Teroris Bisa Kecoh Aparat Pakai AI