BatasNegeri – Akademisi.Dr. Chusnul Mariyah dari Universitas Indonesia mengungkapkan, saat ini Papua dibelenggu tiga oligarki yaitu politik, ekonomi, sosial. Dia mengingatkan, dalam menata masa depan Papua demi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jangan jadikan Papua sebagai ladang project oriented oleh oknum politik.
“Truth and reconciliation harus dilakukan, dan ikhtiar melalui interfaith dialogue. Perbedaan pendang tentu boleh, namun jika ada self determination yang merusak kedaulatan tentu juga ada aturan hukumnya,” ujar Chusnul Mariyah dalam siaran pers di Jakarta, Kamis 18 Juni 2020, dari Dialog bertema ”Menakar Masa Depan Papua” yang dilakukan secara virtual.
Sejumlah masalah masih menjadi topik pembicaraan bagi sejumlah kalangan, terkait masa depan Papua. Terutama sejak diberlalukannya Otonomi Khusus (Otsus), yang ditujukan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Selain Chusnul Mariyah, narasumber lainnya adalah Reno Mayor (Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Papua UI 2019), Boy Markus Dawir (Tokoh Pemuda Papua), Prof. Dr. Imron Cotan (Duta Besar RI), Michael Manufandu (Senior Pamong Papua) dan Dr. Wawan Hari Purwanto (Deputi Kominfo BIN) dan peserta webinar 100 orang.
Chusnul mengatakan, eksploitasi sumber daya alam (SDA) misalnya, Indonesia mempunyai Undang-Undang (UU) di mana dalam pengelolaannya, 10% milik daerah.
“Sayangnya, selalu diperjualbelikan. Tolong kunci pasal tersebut agar 10% tidak diperjualbelikan, dan tunainya didapatkan dari dividen. Dalam memperkuat daerah Papua, pendekatan legal memang mudah namun tidak kontekstual,” ujarnya.
Reno Mayor, Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Papua UI mengapresiasi kebijakan Otsus Papua. Namun, dia bertanya kenapa masyarakat Papua masih hidup tidak sejahtera di atas kekayaan alamnya?
“Karena saya pikir penerapan masih kurang tepat sasaran, sehingga sebagian masyarakat dimanja dengan Dana Otsus sebagian lagi tidak atau belum tersentuh. Sedangkan, mentalitas berjuang, kesadaran untuk bersaing, dan kualitas SDM belum merata,” tuturnya.
Reno mengatakan, pemerintah harus mengajarkan kepercayaan diri dan kesiapan bersaing bagi masyarakat Papua. Karena hal tersebut tidak diajarkan di bangku sekolah, maka sebaiknya ajarkan melalui sekolah di Papua, berikan akses pendidikan yang sesuai bagi situasi wilayah kami. Lalu, lakukan pemerataan dan tepatkan sasaran dalam penyerapan Dana Otsus.
Sementara itu, Boy Markus Dawir, tokoh pemuda Papua, mengatakan, cara pandang para pemuda Papua saat ini terbagi menjadi dua yakni yang mendukung NKRI dan yang bersebarangan dengan NKRI.
“Rata-rata, teman-teman berseberangan ini merasakan tidak hadirnya negara dalam masyarakat Papua, terutama minimnya kesempatan pemuda Papua menjadi ASN, TNI, atau POLRI dan bagian lainnya sehingga bergabung dengan kelompok separatis,” kata Boy.
Menurut dia, tergantung keseriusan negara apakah mau menginventarisasi permasalahan besar hingga permasalahan kecil, seperti kasus HAM yang tidak kunjung selesai hingga kini. Hal seperti ini bisa menjadi bom waktu.
“Lakukan cara yang baik, bermartabat, toh kami sudah sampaikan rekomendasi kepada negara dan semoga ditindaklanjuti sesuai aturan hukum,” katanya.
Prof. Dr. Imron Cotan, Duta Bear RI untuk China dan juga Australia mengatakan, di era padat teknologi dan media kini, semua berusaha memonopoli kebenaran. “Dari perspektif hukum dan sejarah, harus kita akui bahwa ada kesalahpahaman isu Papua di Indonesia. Papua dianggap sebagai entitas politik tersendiri, bahwa Indonesia mengintegrasi Papua,” katanya.
Mengenai tuduhan rasisme, diskriminasi, seperti yang disuarakan kelompok separatisme, menurut Imron Cotan, hal tersebut adalah salah tuduh.
“Tidak sepenuhnya terjadi. Ya, memang ada beberapa oknum, namun mayoritas merasakan good under NKRI. Asumsi-asumsi separatisme itu hanyalah dibangun oleh ilusi,” paparnya.
Saat ini pun, lqnut dia, sejak adanya UU 21/2001 Otsus (Otonomi Khusus) Papua, seluruh jabatan publik di provinsi Papua telah diduduki oleh OAP (Orang Asli Papua). “
Mari kita duduk bersama membicarakan permasalahan Papua tanpa membahas status politik Papua,” kata Imron.
Michael Manufandu, senior pamong Papua, mengatakan, sejak tahun 2012-2013 Presiden SBY telah menyiapkan 1.000 anak untuk belajar di universitas agar lebih konstuktif, to be the leader of tomorrow. Otsus telah membangun wilayah-wilayah yang terisolasi karena keadaan geografis, sehingga terjadi interaksi penduduk, atau pembauran serta menghadirkan pemerintah disana.
Pemerintah juga telah melimpahkan wewenang, menyerahkan anggaran untuk memampukan rakyat, sehingga Pemda memiliki kewenangan untuk mengatur rakyatnya. “Infrastruktur sekarang juga sudah jauh lebih baik sejak pembangunan oleh Bapak Jokowi,” kata Michael.
Dr Wawan Hari Purwanto, Deputi Kominfo BIN, mengatakan, saat ini, kita sedang melakukan percepatan-percepatan segala bidang, sekolah, fasilitas, energi, air bersih, kebutuhan pabrik, perbatasan Papua, yang secara prinsip mempercepat penyetaraan Papua dengan provinsi lainnya. Terlebih saat ini jelang PON Papua, kita juga bangun fasilitas olahraga dengan standar dunia. Kita kerjakan secara holistik demi mewujdukan keadilan sosial.
“Kita lihat kreatifitas di Papua, telah diberdayakan sebagai kawasan ekonomi khusus yang terkenal di dunia, kita dorong agar tumbuh cepat, termasuk penguatan distrik-distrik. Pendekatan ekologis, SDM digenjot habis, sebagaimana Reno Mayor penerima Bidik Misi sejak SMA.
“Evaluasi Otsus terus dilakukan dengan melibatkan OAP (Orang Asli Papua). Jika ada yang merasa masih belum tersentuh, mohon dimaklumi karena begitu luasnya wilayah Papua,” kata Wawn. (pikiranrakyat)
More Stories
Pembangunan PLBN Menjadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru
Tantangan Geopolitik Indonesia bagi Presiden Terpilih Prabowo Subianto
Daerah Perbatasan sebagai Beranda Rumah Bangsa, Cegah Ketimpangan dan Bangunkan Potensinya!