4 Oktober 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Pengungsi di Tengah Pandemi COVID-19

oleh Inayah Hidayati*)

BatasNegeri – Menurut The 1951 Refugee Convention, pengungsi merupakan seseorang yang melarikan diri dari rumah dan negaranya karena ‘ketakutan akan penganiayaan atas ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu dan pendapat politik’. Selain itu banyak pula pengungsi yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk menghindari bencana alam atau buatan manusia.

Data PBB (2020) menyebutkan setiap menit 20 orang meninggalkan segalanya untuk menghindari perang, penganiayaan, teror, bencana hingga pandemi. Indonesia sendiri saat ini menjadi rumah sementara bagi 13.623 pengungsi dari 49 negara, dimana 28 persennya adalah anak-anak (UNHCR, 2020).

The 1951 Refugee Convention dan 1967 Protocol disusun untuk melindungi para pengungsi di seluruh dunia karena mereka termasuk orang yang paling rentan. Konvensi dan protokol yang dikeluarkan oleh PBB tersebut memastikan pengungsi mendapatkan perlakuan layak di negara penerima.

Kemudian hak-hak pengungsi dirinci lebih detil dalam The 1951 Refugee Convention yang meliputi hak untuk tidak diusir dari negara penerima, hak unuk tidak di hukum karena memasuki wilayah negara secara ilegal, hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan tempat tinggal, hak atas pendidikan, hak atas bantuan, hak kebebasan beragama, hak mengakses pengadilan, hal atas kebebasan bergerak/berpindah di dalam teritori negara penerima, hak untuk mendapatkan identitas dan dokumen perjalanan serta yang paling penting adalah hak untuk dilindungi.

Situasi COVID-19 yang terjadi di seluruh dunia tentu saja berdampak bagi para pengungsi. Berita yang dilansir BBC News (2020) menyebutkan dua pengungsi etnis minoritas Rohingnya di Bangladesh dinyatakan positif COVID-19 pada pertengahan Mei ini. Kondisi ini terntu saja cukup mengkhawatirkan karena dua orang tersebut tinggal di kamp pengungsian bersama dengan sekitar 1.900 orang lainnya.

Kondisi pengungsian yang sulit untuk menerapkan physical distancing dan keterbatasan fasilitas termasuk air untuk mencuci tangan lebih sering akan meningkatkan potensi penyebaran virus. Kamp pengungsian tujuannya memang dibangun sebagai ‘tempat sementara’ namun batasan ‘sementara’ ini sering menjadi dalam hitungan tahun hingga menampung beberapa generasi pengungsi (Raju & Ayeb-Karlson, 2020). Kondisi kamp yang dihuni banyak orang dalam jangka waktu tahunan tentu saja akan menciptakan lingkungan kumuh yang sulit dijaga kebersihannya dan rentan penularan berbagai macam penyakit dan virus termasuk COVID-19.

Lain halnya dengan kondisi di Indonesia, Kementerian Luar Negeri, UNHCR dan IOM (2020) menyebutkan saat ini belum ada pengungsi yang terinfeksi COVID-19. Meskipun bukan negara yang meratifikasi The 1951 Refugee Convention dan 1967 Protocol, Indonesia tetap berupaya untuk menjalankan mekanisme nasional untuk penanganan pengungsi yang bekerjasama dengan pemerintah daerah, UNHCR, dan IOM termasuk dalam situasi pandemi COVID-19.

Selama masa pandemi ini pemerintah Indonesia telah membekali pengungsi dengan informasi dan alat perlindungan diri seperti masker, alat sanitasi dan disinfektan (Pramudyani, 2020). Dalam menangani pengungsi Indonesia berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2015 serta asa kemanusiaan, non-refoulement, dan hak asasi manusia.

Walaupun hingga saat ini pengungsi di Indonesia belum ada yang menjadi korban COVID-19, pemerintah perlu mengantisipasi potensi penyebaran virus di kelompok pengungsi ini. Misalnya kondisi fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah DKI Jakarta saat ini sudah dihuni sebanyak 250 pengungsi perang asal Afganistan, Somalia dan Myanmar (voi.id, 2020). Daya tampung fasilitas ini memang untuk 1.000 orang, namun situasi pandemi yang mengharuskan physical distancing sudah cukup sulit diterapkan. Belum lagi keterbatasan sarana prasarana lainnya yang mana pengungsi harus memakainya secara bergantian, hal ini tentu saja meningkatkan risiko penularan.

Pengungsi tidak memiliki hak untuk bekerja sehingga berimbas pada kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhannya dan sangat bergantung pada pemerintah setempat dan lembaga internasional seperti UNHCR dan IOM. Beban pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19 secara umum juga berimbas pada kelancaran pemberian bantuan kebutuhan sehari-hari pengungsi.

Pengungsi memang termasuk dalam kelompok paling rentan di masa pandemi COVID-19 ini. Kesulitan memperoleh informasi karena kendala bahasa menjadikan hambatan utama para pengungsi untuk mengakses bantuan, layanan hingga cara untuk melindungi diri sendiri dari bahaya virus (Kluge dkk, 2020). Kondisi ini sudah pasti akan meningkatkan risiko tertular virus di kelompok pengungsi.

Kondisi pembatasan sosial hingga lockdown juga mengganggu pihak pemerintah maupun lembaga internasional untuk memenuhi kebutuhan pengungsi. Saat memperketat pergerakan penduduk, pemerintah perlu mempertimbangkan dampaknya pada kelompok pengungsi dan memastikan kebijakan tersebut tidak menghambat pengungsi untuk mengakses layanan kesehatan dan informasi.

Pandemi ini secara signifikan telah mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pengungsi di seluruh dunia. Belajar dari pengalaman masa lalu, untuk melindungi pengungsi dari paparan virus COVID-19 pemerintah harus hadir untuk merespon kebutuhan pengungsi termasuk akses kesehatan (San Lau, 2020). Pemerintah juga harus memberikan akses dan layanan kesehatan yang sama dengan penduduk lokal dan tanpa diskriminasi, terutama bagi negara yang sudah meratifikasi The 1951 Refugee Convention dan 1967 Protocol. Jangan sampai COVID-19 menjadikan pengungsi yang sudah rentan secara eksponensial menjadi lebih rentan.

Pada masa pandemi COVID-19 ini PBB mengkampanyekan bahwa kita semua perlu berjuang dan bekerja sama untuk dunia yang lebih inklusif dan setara, dunia di mana tidak ada yang tertinggal termasuk para pengungsi. Setiap orang diharapkan mengambil peran untuk membawa perubahan dan perbedaan. Setiap orang, termasuk pengungsi, dapat berkontribusi pada masyarakat dan #EveryActionCounts dalam upaya menciptakan dunia yang lebih adil, inklusif dan setara.

Selamat Hari Pengungsi Sedunia 2020, Every action counts.[lipi.go.id]

*)Peneliti Mobilitas Penduduk di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Referensi

BBC News. (2020, 15 Mei). Virus corona: ‘Ribuan orang kemungkinan meninggal’ setelah dua pengungsi Rohingya positif mengidap Covid-19. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-52671664.

Kluge, H. H. P., Jakab, Z., Bartovic, J., D’Anna, V., & Severoni, S. (2020). Refugee and migrant health in the COVID-19 response. The Lancet395(10232), 1237-1239.

Pramudyani, (2020, 30 April). Tidak ada pengungsi di Indonesia yang terinfeksi COVID-19.https://jateng.antaranews.com/internasional/berita/1454902/tidak-ada-pengungsi-di-indonesia-yang-terinfeksi-covid-19?utm_source=antaranews&utm_medium=nasional&utm_campaign=antaranews

Raju, E., & Ayeb-Karlsson, S. (2020). COVID-19: How do you self-isolate in a refugee camp?. International Journal of Public Health, 1.

San Lau, L., Samari, G., Moresky, R. T., Casey, S. E., Kachur, S. P., Roberts, L. F., & Zard, M. (2020). COVID-19 in humanitarian settings and lessons learned from past epidemics. Nature Medicine26(5), 647-648.

UNHCR. (2020). Refugee Population Statistics. Datasheet. https://www.unhcr.org/asia/data.htmldiakses pada 20 Juni 2020.

United Nations. (2020). World Refugee Day. https://www.un.org/en/observances/refugee-day. diakses pada 20 Juni 2020.

VOI.id. (2020, 13 Mei).  COVID-19 di Jakarta: Nasib Malang Pengungsi Perang di Episenter Penularan. https://voi.id/berita/5862/covid-19-di-jakarta-nasib-malang-pengungsi-perang-di-episenter-penularan

The 1951 Refugee Convention

1967 Protocol

Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2015