BatasNegeri – Pertengahan Maret 2020, ketika sebagian besar daerah menetapkan siswa belajar dari rumah, Sekolah Dasar Khatolik Wae Mata di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) juga merumahkan siswanya.
Kabupaten Manggarai Barat termasuk wilayah zona merah terkait penyebaran wabah Covid-19. Hal ini membuat kegiatan belajar tak mungkin dilakukan tatap muka di sekolah.
Namun tak seperti sekolah di kota yang sebagian besar belajar via internet atau dalam jaringan, guru di SDK Wae Mata harus mengunjungi satu per satu desa tempat siswanya tinggal. Tujuannya agar siswa tetap belajar.
Ini karena hanya satu dari 20 murid di kelasnya yang punya gawai. Sementara yang memiliki gawai pun tak mampu membiayai kuota internet untuk mendukung pembelajaran daring.
Suatu hari Stefanus Sesarius Gonsa, guru kelas lima di sekolah tersebut, berkunjung ke salah satu desa di wilayahnya dengan tujuan ingin mengajar. Kebetulan beberapa siswa berada di desa tersebut.
“[Sebelum mengajar] kami petakan dulu jumlah siswa per anak kampung (dusun atau desa). Baru buat jadwal kunjungan rumah,” jelasnya melalui diskusi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Merdeka Belajar di Daerah 3T Dalam Masa Pandemi Covid-19 secara virtual, Rabu (24/6).
Jadwal yang telah ia buat pun sudah disampaikan ke kepala desa dan orang tua dari tiap siswa. Kepala desa nantinya bakal ikut membantu menyiapkan tempat belajar untuk siswa Stefanus yang tinggal di desa itu.
Namun ketika datang, dua orang siswanya tak berada di rumah. Padahal ia sudah menyampaikan informasi bahwa hari ini adalah jadwal kunjungan belajar. Ia sempat khawatir dengan keberadaan siswanya.
Setelah mencari informasi ke tetangga dan warga sekitar, ternyata siswa tersebut ikut orang tuanya ke sawah. Akhirnya ia pun menghampiri lokasi yang disampaikan tetangga.
Ia mencari-cari keberadaan siswanya di tengah hamparan padi yang sudah merunduk. Mereka ternyata sedang sibuk bermain sembari membantu orang tuanya memanen padi. Saat itu musim panen tiba.
“Lebih dari 90 persen pekerjaan orang tua dari anak-anak yang kami dampingi berprofesi sebagai petani. Jadi sah-sah saja kalau punya kesibukan tinggi saat musim panen,” ceritanya.
Stefanus tak ambil pusing menghampiri setiap siswanya. Pengalaman kunjungan mengajar yang dia lakukan tak hanya sampai ke sawah. Kadang ia harus menjemput siswa yang malah main di kebun atau hutan saat jadwal belajar.
Menurutnya, ini jadi pemanis pengalaman mengajar di tengah pandemi. Baginya yang terpenting siswa masih bisa belajar walaupun terkendala virus dan fasilitas yang tak memadai.
Setiap bertemu siswa, ia juga rajin memberikan masker dan mengajarkan tentang protokol kesehatan. Setiap akhir pembelajaran, ia meminta siswa mengisi jurnal dengan perasaan mereka belajar hari itu serta kondisi kesehatan.
Dengan begini, kata Stefanus, ia bisa memastikan kesehatan siswa meski tak setiap hari bertemu. Hingga kini pun ia mengaku kondisi kesehatan siswa-siswanya masih terjaga, meski tinggal di zona merah.
Di samping itu, ia merasa penghargaannya sebagai guru makin terasa di tengah pandemi. Rentetan keluhan orang tua ketika mengajarkan anaknya di rumah membuktikan bahwa lambat laun banyak yang sadar menjadi guru bukan perkara mudah.
Pembelajaran jarak jauh terpaksa diterapkan di sebagian besar wilayah Indonesia sejak pandemi corona mewabah pada pertengahan Maret 2020. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memutuskan PJJ bakal tetap berlangsung bagi setidaknya 94 persen daerah.
Pada setiap daerah dan sekolah metode PJJ yang dipakai bervariasi. Mulai dari daring dengan konferensi video, aplikasi, jejaring WhatsApp, maupun luar jaringan (luring) dengan kunjungan belajar. (cnn)
More Stories
Proyek Basilika dan Gereja di IKN Telan Anggaran Rp 704,9 Miliar
RI Gandeng 10 Negara Perangi Penangkapan Ikan Ilegal
Pengelolaan Perbatasan RI-PNG Jadi Sorotan Utama di Sidang JBC ke-38