9 Oktober 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Mengenal Tenun Ikat Nagekeo

BatasNegeri – Dalam satu dekade terakhir, kain tenun tradisional NTT masuk segmen papan atas. Bukan hanya Presiden Jokowi yang mengenakan pakaian motif NTT pada beberapa kali acara kenegaraan, sejumlah menteri, pengusaha, profesional, dan artis terkemuka juga mengenakan dengan bangga pakaian motif Flobamora, di antaranya tenun asal Sumba, Timor, Sabu, Lio, dan Nagekeo.

Kain tenun tradisional–tenun ikat dan songket–sedang digandrungi konsumen menengah-atas dan tenun NTT mendapatkan tempat tersendiri di hati konsumen. Saat menghadiri pesta pernikahan, para tamu dari kalangan elite mengenakan pakaian motif NTT. Pemandu talkshow TV nasional juga sesekali mengenakan tenun motif NTT.

“Kain tenun NTT indah dan terkesan elegan,” kata Rosianna Silalahi, pemimpin redaksi Kompas TV kepada Beritasatu.com, pekan lalu.

Ia mengenakan baju dengan motif Telepoi Rendu.

Telepoi Rendu, demikian Ketua Dekranasda Nagekeo Eduarda Yayik Pawitra Gati, masuk kategori tenun songket sederhana yang umumnya tidak bermotif. Penenun kreatif acap menambahkan motif bunga dan saat ini dikembangkan menjadi berbagai ragam, di antaranya selendang dan syal.

Selain Telepoi Rendu, Nagekeo memiliki tenun motif Nage atau Boawae dan motif Mbay. Tenun motif Boawae dikenal dengan nama Hoba Nage. Didominasi warna merah marun, hitam, dan putih, Hoba Nage pada masa lalu biasanya dikenakan oleh perempuan, sedang kaum pria umumnya mengenakan kain tenun Mbay.

“Dalam pertemuan adat, perempuan mengenakan Hoba Nage, pria memakai Ragi Mbay,” kata Wakil Bupati Negekeo Marianus Waja kepada Beritasatu.com di Gedung Sentra IKM (Industri Kecil dan Menengah), Mbay, Kamis (11/11/2021).

NTT, demikian anggota DPR dari Fraksi Nasdem yang istri gubernur NTT, Julie Sutrisno Laiskodat, memiliki lebih dari 800 motif tenun asli. Setiap kabupaten, bahkan kecamatan, memiliki motif tenun yang khas. Kabupaten Timor Tengah Selatan, misalnya, memiliki 132 motif tenun asli.

“Kebanyakan belum didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM, sehingga rawan diklaim pihak lain. Bukan hanya oleh negara asing, seperti Malaysia, juga provinsi lain di Indonesia berpotensi mengklaim lebih dahulu,” kata Julie yang juga menjabat ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) NTT.

Nagekeo memiliki tiga motif utama tenun tradisional, yakni Hoba Nage, Ragi Mbay, dan Telepoi Rendu. Dilihat dari proses pembuatannya, Hoba Nage masuk kategori tenun ikat, sedangkan Ragi Mbay dan Telepoi Rendu adalah songket. Pembuatan tenun ikat relatif lebih mudah dan masa pembuatan lebih pendek, bisa dalam hitungan minggu.

Pembuatan songket lebih rumit karena ada proses “menganyam” untuk membuat motif. Penenun menambah benang pakaian sebagai hiasan atau motif dengan cara menyisipkan benang berwarna di atas benang lungsi. Untuk memproduksi songket Mbay dibutuhkan waktu beberapa bulan.

Motif tenun ikat, kata Yayik Pawitra Gati, sudah dicetak lebih dahulu dengan cara mengikat benang sesuai gambar yang diinginkan. Setelah itu, benang dicelupkan ke larutan pewarna. Setelah kering, ikatan benang dibuka dan disusun dalam bentangan benang bermotif untuk selanjutnya dijalin dengan alat tenun. Peralatan tenun ikat tidak menggunakan isir dan gugu sebagaimana yang digunakan oleh penenun songket bermotif.https://www.youtube.com/embed/1nWEBWos-A8

Dhowik, satu rumpun dengan Ragi Mbay. Bisa dijelaskan bahwa Ragi Mbay yang lebih rumit disebut Dhowik Mbay. Teknik anyaman cukup sulit dan dibutuhkan ketekunan lebih besar. Tidak semua penenun mampu melakukannya. Sepintas, orang awam tidak bisa membedakan Ragi Mbay biasa dan Dhowik Mbay. Sama-sama bewarna dasar hitam dan bermotif kuning dan hijau. Namun, jika dicermati lebih dalam, ada perbedaan signifikan. Bunga Dhowik Mbay lebih besar.

Etnis Tonggo yang hidup di pantai selatan Nagekeo mengembangkan Ragi Mbay dengan motif yang sedikit berbeda. Banyak warna hijau dan biru, meski tetap menampilkan warna dasar hitam dengan motif kuning sebagaimana Ragi Mbay. Dengan jaringan perdagangan yang lebih luas, penenun Tonggo memproduksi kain tenun sesuai pesanan konsumen, mulai dari baju biasa hingga jas. Meski motif Tonggo banyak dipasarkan di Jawa, Ragi Mbay, apalagi Dhowik Mbay, jauh lebih menarik.

Melihat peluang pasar yang semakin besar dan kekhawatiran akan kelangsungan produksi tenun tradisional, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nagekeo kini mendorong kaum milenial untuk menenun. Dekranasda, Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (Keperindag), dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nagekeo, berkolaborasi memberikan pelatihan kepada para milenial untuk belajar tenun.

“Kita tidak ingin warisan leluhur kita hilang begitu saja. Generasi muda harus dilatih untuk menenun agar budaya kita tetap lestari,” kata Wakil Bupati Marianus Waja.

Beritasatu.com sempat melihat dari dekat para perempuan milenial menenun dengan peralatan tradisional yang terbuat dari kayu. Mereka adalah perempuan putus sekolah berusia 15-25 tahun yang diseleksi dari berbagai daerah di Nagekeo. Mereka tinggal dan melatih menenun di Gedung IKM Nagekeo selama sebulan.

“Ada 38 orang. Kami berharap, setelah sebulan, mereka sudah bisa memproduksi sendiri kain tenun tradisional dan menjadi wirausaha,” kata Ketua Dekranasda Nagekeo, Yayik Pawitra Gati.https://www.youtube.com/embed/Tz456nnrcRU

Selama sebulan, para milenial diajari menenun, mulai dari yang paling mudah hingga yang paling rumit, yakni Dhowik Mbay. Ketua Dekranasda Nagekeo mengaku sulit mencari milenial yang berminat. Namun, demi kontinuitas warisan budaya, calon penenun harus ada. Mereka yang lolos seleksi, semuanya, menunjukkan minat yang besar terhadap pekerjaan menenun.

“Di sini ada instruktur yang mengajar menenun dan bisnis. Diharapkan, sepulang dari pelatihan sebulan, mereka sudah bisa mengembangkan diri menjadi wirausaha,” kata dokter Ita, sapaan sehari-hari ketua Dekranasda Nagekeo.

Pelatihan bagi 38 milenial adalah program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

“Tahun ini sudah selesai. Satu gelombang saja. Gelombang berikut, menunggu program Kemendikbudristek,” ungkap dokter Ita.

Ia berharap, kementerian lain bisa mendukung program ini. Ada sejumlah kementerian yang memiliki program memberdayakan masyarakat di perdesaan. Selain Kemendikbudristek, ada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

“Dekranasda di kabupaten siap membantu dan bekerja sama,” kata dokter Ita.

Menjadi Wirausaha
Selain menenun dengan bahan dan warna tradisional, para milenial juga dilatih memproduksi tenun tradisional dengan sentuhan modern. Tenun tradisional menggunakan pewarna alam, seperti mengkudu, taru, kunyit, mangga, dan kemiri. Ada juga pewarna dari pabrik yang mirip pewarna tradisional.

Sentuhan modern terutama pada pilihan warna, bukan motif. Motif tradisional tetap dipertahankan. Dengan demikian, apa pun variasi warna yang digunakan, motif Nagekeo tetap jelas terlihat. Sentuhan modern lebih pada pilihan warna dan jenis benang yang berasal dari pabrik.

“Tenun dengan warna cerah banyak disukai konsumen,” kata Kepala Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (Kadis Koperindag) Djawaria Kristildis Maria Simporosa kepada Beritasatu.com.https://www.youtube.com/embed/JiKaTeQhVA8

Jika kreatif dan serius, kata Til, sapaan akrab kadis Koperindag Nagekeo, para penenun yang sudah dilatih sebulan bisa hidup mandiri. Dengan menenun secara teratur, pendapatan mereka bisa di atas UMP, yakni Rp 1,8 juta per bulan. Kain tenun ikat dan Telepoi sederhana bisa dirampungkan dalam waktu kurang dari sepekan. Harga satu kain Telepoi dan Hoba Nage berkisar Rp 500.000 hingga Rp 600.000 per lembar.

“Kami minta penenun mengirimkan hasilnya tenun mereka ke sini, gedung IKM, agar bisa ditampilkkan oleh Dekranasda di ruang display,” kata Til sambil menjelaskan tenun Nagekeo motif per motif. Tenunan yang sudah dimodifikasi, baik warna, motif, dan ukuran, mendapatkan pesanan rutin dari Provinsi NTT.

Marianus mengakui pihaknya kini memberikan perhatian pada aspek ekonomi tenun Nagekeo agar pekerjaan menenun bisa menjadi mata pencarian. Para milenial yang meminati tenun bisa hidup dari pekerjaannya. Oleh karena itu, pelatihan akan diupayakan untuk terus dilanjutkan, kualitas produk terus diperbaiki sesuai permintaan pasar, dan permintaan diperkuat.

Selasa, 23 November 2021, ke-38 milenial “diwisuda” lewat sebuah acara fashion show di Aula Setda Nagekeo, Mbay.

“Mereka, para penenun muda itu yang melenggak-lenggok di catwalk. Mereka yang menenun, mereka pula yang mempromosikan,” ungkap Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do

Para remaja putri, demikian dokter Ita, alumnus pelatihan tenun diharapkan dapat menjadi milenial yang mampu mengembangkan keterampilan menenun untuk meningkatkan pendapatannya. Pada kesempatan itu, Dekranasda Nagekeo memberikan bantuan peralatan tenun. (beritasatu)