BatasNegeri – Jasa perahu penyeberangan Sungai Brantas di Desa Betro, Kecamatan Kemlagi, menyambungkan daratan dan kehidupan selama puluhan tahun. Keberadaannya sekaligus menjadi penanda geliat perekonomian masyarakat di perbatasan Kabupaten Mojokerto.
Transportasi air yang familier disebut perahu tambangan ini beroperasi selama 24 jam. Setiap harinya, terdapat tiga perahu yang hilir mudik mengantar warga dari Desa Betro di sisi utara sungai menuju Desa/Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang atau sebaliknya. Kapasitas perahu paling banyak bisa mengangkut 15 orang berikut kendaraannya. Dengan membayar Rp 2 ribu, penumpang bakal tiba di seberang dalam sekejap.
’’Sudah lama nyebrang pakai tambangan karena bisa langsung lurus. Kalau lewat jembatan muternya terlalu jauh,’’ ujar Nur, salah satu penumpang perahu tambangan. Warga Kabupaten Blitar tersebut sehari-harinya berjualan telur asin di Kabupaten Lamongan. Setiap dua hari sekali dia menyeberang dengan naik perahu tambangan.
Pilihan ini, diakuinya, untuk efisiensi perjalanan. Dia bisa tiba di seberang dalam waktu kurang dari dua menit. Bandingkan dengan waktu yang bakal dihabiskannya jika memilih lewat jalur darat melalui Jembatan Pagerluyung yang jaraknya sekitar enam kilometer di arah timur atau Jembatan Ploso yang berjarak 12 kilometer di arah barat. Dua jembatan ini adalah jalur darat terdekat yang menyambungkan Sungai Brantas.
Alasan Nur juga menjadi dasar bagi ratusan penumpang yang memanfaatkan jasa perahu tambang setiap harinya. Samian, salah satu penambang, mengaku, bisa mengangkut sekitar 100 orang penumpang dalam sekali sif kerja. Satu sif terdiri dari tiga orang beroperasi selama enam jam. Dengan perkiraan ini, sehari satu perahu bisa mengangkut 400 orang. Dengan kata lain, jika ditotal dari tiga perahu, ada sekitar 1.200 orang yang menyeberang.
Jika sedang ramai, Samian bisa meraup Rp 150 ribu dalam sekali sif. ’’Kalau sepi ya Rp 50 ribu sampai Rp 70 ribu,’’ ungkap pria 74 tahun asal Warga Desa/Kecamatan Kesamben tersebut. Hasil itu dibagi dengan dua operator dan pemilik perahu. Sejak dia lahir, lanjutnya, jasa perahu ini sudah ada. Dia sudah 38 tahun menjadi penambang. Samian mengaku sebagai orang terlama yang hingga kini masih bertahan menjadi operator perahu tambangan.
Menurut dia, awalnya hanya terdapat satu perahu. Namun, lambat laun seiring semakin diandalkan dan dikenal banyak orang, saat ini terdapat tiga perahu tambang milik warga Desa/Kecamatan Kesamben yang beroperasi. Perahu ini beroperasi tak kenal panas atau hujan. Bahkan, ketika permukaan air naik pun, mereka tetap beroperasi. ’’Pakai seling itu kalau sedang banjir. Karena banyak sampahnya,’’ terangnya.
Samian menyebut, para penumpang berasal dari berbagai daerah, tak hanya warga dari kedua desa yang berseberangan. Mereka meliputi para karyawan yang bekerja hingga pedagang antardaerah. Warga umum cukup bayar Rp 2 ribu, sedangkan anak-anak sekolah gratis. ’’Macem-macem yang menyeberang sini. Jadi andalahlah istilahnya,’’ sebutnya. (radarmojokerto)
More Stories
Personel Yonkav 12/BC Bantu Masyarakat Cor Jalan Di Perbatasan RI-Malaysia
TNI-POLRI Kerjasama Susun Kajian Pertahanan Perbatasan Negara dalam Mendukung IKN
Presiden Jokowi Buka dan Hadiri Nusantara TNI Fun Run di IKN