Oleh: Agus Kosek*)
BatasNegeri – Sebuah narasi provokatif kembali ditulis oleh seorang pemuka agama yang kerap disebut pendeta politik di lingkungan tanah Papua, yakni Pendeta Socrates Yoman. Melalui portal media online normshedpapua.com, sebuah wadah media yang selama ini menampung tulisan-tulisan panjangnya dengan diksi bertele-tele. Diketahui bahwa dirinya baru saja mengunggah tulisan berjudul: Gereja Harus Melawan 6P yang Didasari Diskriminasi Rasial yang Merusak Penduduk Orang Asli Papua Selama 62 Tahun Sejak 19 Desember 1961 Sampai Sekarang. Sebuah judul panjang yang jelas tidak masuk kurasi bagi redaktur media online kredibel atau terverifikasi sebagai media professional yang mendasarkan pada kaidah jurnalistik.
Tulisan yang disebut oleh Socrates sebagai refleksi minggu tersebut menjelaskan maksud dari 6P sebagai singkatan dari perampokan, pencurian, penjarahan, penipuan, pembohongan, serta pembunuhan. 6P tersebut disebut didasari oleh sifat diskriminasi rasial yang merusak Penduduk Orang Asli Papua, atau disingkatnya PAOP.
Dirinya mengkaitkan hal tersebut dalam konteks Papua dimana negara Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara. Sila pertama yang berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa, namun disebutnya tidak berlaku untuk para penguasa yang seperti tidak mengenal Tuhan. Menurutnya, yang ada dalam penguasa Indonesia hanya mengutuk, berbohong, membunuh, mencuri, dan menumpahkan darah PAOP dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, yakni insiden kerusuhan di Wamena beberapa waktu lalu yang telah menewaskan 12 PAOP. Jauh sebelum itu, juga disebutnya terdapat tindakan diskriminatif merendahkan PAOP seperti penyebutan monyet, gorilla, KKB, OPM, separatis, kopi susu, dan tikus-tikus. Diskriminasi rasial tersebut disebut terus dirawat dan dipelihara oleh penguasa dan orang-orang yang baginya tergolong 6P. Bahkan pembunuhan terhadap PAOP disebut masih akan terus berlangsung karena terdapat perintah negara yang disampaikan oleh Presiden RI dan didukung PDIP yang disampaikan kepada TNI-Polri di Papua.
Framing Pembelaan Terhadap Kelompok Separatis Menggunakan Dalil Agama
Singkatan 6P yang disebut oleh sang pendeta politik Socrates Yoman sebenarnya tak bisa diterapkan pada seluruh masyarakat yang berdomisili di Papua, baik orang asli maupun pendatang. Adanya gangguan keamanan yang berakibat pada tindakan tak diinginkan seperti penyerangan atau pembunuhan adalah buah kebrutalan kelompok separatis di Papua yang berusaha menunjukkan eksistensi ataupun resistensi, bahkan ketika harus melukai atau menewaskan PAOP. Kehadiran kelompok yang bertentangan dengan pemerintah, jika tak ingin disebut separatis, KKB, OPM dan sebagainya jelas dianggap sebagai hal yang mengganggu masyarakat sipil pada umumnya. Sebagai contoh, adanya kasus penyanderaan terhadap pilot Susi Air yang dilakukan Egianus Kogoya telah berdampak pada pengungsian masyarakat di sejumlah distrik akibat adanya ancaman. Belum contoh-contoh lain, ketika sejumlah aparat TNI/Polri ataupun tukang bangunan hingga tukang ojek yang tiba-tiba diserang secara bergerilya hingga mengakibatkan sejumlah korban jiwa.
Socrates Yoman sebagai seorang pendeta telah kehilangan marwahnya dalam menyejukkan jemaat. Sejak dulu dirinya bahkan telah bersikap kontradiktif dengan memposisikan diri sebagai seseorang yang membela keberadaan kelompok separatis Papua yang jelas-jelas bertentangan dengan negara. Jika menurut ajaran agama Kristen bahwa pemerintah sebagai wakil Tuhan, maka yang dilakukan Socrates adalah pembangkangan.
Dalam kutipan Alkitab Roma 13:1 disarikan bahwa orang Kristen sejati adalah orang yang benar-benar hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, menjadi pelaku firman. Salah satu wujud nyata manusia terhadap kehendak Tuhan adalah taat kepada pemerintah. Sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Tuhan. Tuhan telah menetapkan pemerintah di atas muka bumi dengan maksud agar manusia hidup secara tertib dan teratur, dengan kata lain, pemerintah adalah wakil Tuhan di bumi. Tujuan utama Tuhan mendirikan pemerintah sesungguhnya adalah demi kepentingan manusia itu sendiri. Maka dari itu Tuhan tidak menghendaki umat-Nya menentang, memusuhi atau melawan pemerintah yang sedang berotoritas, sebab “barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.” Sekali lagi, bahwa taat kepada pemerintahan berarti juga menghormati ketetapan Tuhan.
Jejak Digital Pendeta Socrates Yoman dalam Memprovokasi Masyarakat Papua
Kecenderungan masyarakat saat ini mungkin sudah dipastikan banyak yang tahu perihal manuver sang pendeta yang kerap berlawanan dengan pemerintah Indonesia dengan mendukung aktivis pro kemerdekaan Papua. Kiprahnya sebagai penggembala umat dipertaruhkan hanya demi sikap politik dalam upaya mendukung pelepasan Papua dari Indonesia. Sejumlah jejak dari aksi yang dilakukan telah membuat banyak pihak mengernyitkan dahi dan mengelus dada tak habis pikir terhadap sikap sang pendeta.
Alumnus Universitas Indonesia (UI) yang juga merupakan Pengamat politik masalah Papua, Toni Sudibyo pernah merespon pernyataan Socrates pada tahun 2014 silam terkait penyusunan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) di Papua serta implementasinya bahwa Indonesia hanya bersandiwara dengan membiarkan orang Papua musnah melalui kekerasan negara selama hampir 50 tahun. Menurutnya, pernyataan Socrates tersebut merupakan strategi dasar para pendukung OPM di dalam maupun di luar negeri untuk melakukan segala upaya sehingga program Otsus dan program pembangunan gagal, dimana skenario selanjutnya adalah dorongan penentuan sikap politik melalui referendum untuk melepaskan diri dari Indonesia.
Jejak berikutnya, terkuak bahwa Pendeta Socrates juga bersikap kontradiktif dengan mengapresiasi peresmian kantor ULMWP di Wamena pada tahun 2016. Menurutnya peresmian tersebut merupakan dinamika dan realitas politik perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat yang diakui dan diterima Pemerintah Indonesia. Namun faktanya, peresmian tersebut ternyata menungganggi acara syukuran masyarakat Wamena atas berdirinya kantor Dewan Adat Papua (DAP). Beberapa masyarakat yang hadir dalam kegiatan tersebut kecewa karena merasa dibohongi. Masih berkaitan dengan ULMWP, di tahun 2011 sang pendeta juga pernah melakukan kebohongan publik mengklaim bahwa ULMWP dipilih secara sah oleh rakyat Papua dalam Konferensi Perdamaian Papua (KPP) pada 5 – 7 Juni 2011 di Auditorium Universitas Cenderawasih Papua. Faktanya, kegiatan tersebut berisi seminar dan dikusi dengan tema “Mari Kitong Bikin Papua Jadi Tanah Damai”.
Beranjak di tahun 2016, pernyataan Ketua MRP Papua Barat Vitalis Yumte bahwa perjuangan politik Papua sudah final melalui dua fase masing-masing Pepera 1969 dan Otsus 2001, dibantah oleh Pendeta Socrates. Menurutnya pernyataan tersebut tidak mewakili suara Nurani orang asli Papua. Ia bersikeras tak ada istilah final dalam kehidupan masyarakat, tapi selalu ada dinamika dan proses politik. Pernyataan tersebut kemudian direspon oleh generasi muda Papua Emus Kogoya bahwa Socrates bukan politikus, yang dimaksud final bukan kebijakannya, tetapi status politik bahwa Papua secara sah merupakan bagian dari NKRI. Jika saat ini terdapat kebijakan Otsus, DOB, dan lainnya merupakan upaya percepatan pembangunan di Papua. Seorang mahasiswa Papua di Jakarta bernama Emilia Karubaga juga turut merespon pernyataan Socrates yang menurutnya tidak mencerminkan seorang pendeta, namun cenderung provokator yang selalu memperkeruh dengan bersembunyi dibalik agama. Semestinya dirinya membuat sejuk hati umat, bukan membuat panas.
Sikap menyesalkan kepada gerak-gerik Socrates juga pernah ditunjukkan oleh Ketua Pemuda Mandala Trikora Provinsi Papua, Ali Kabiay. Ia menyesalkan pernyataan sang pendeta dalam status di akun Facebook atas nama Socratez Sofyan Yoman pada tanggal 1 November 2020 terkait pembentukan organisasi P5 atau Presidium Putra Putri Pejuang Pepera, di Sentani yang diketuai oleh Yanto Eluay. Menurut Ali, pendeta Socrates sebaiknya tidak terlalu mengurusi masalah politik di Papua dan belajar menghargai keputusan Ondoafi Yanto Eluay sebagai ketua P5.
Masih berkaitan dengan unggahan di media sosial, pada tahun 2021 Pendeta Socrates juga pernah mengunggah narasi menyebut Indonesia sebagai penjajah yang memadukan rasisme di tanah Papua. Unggahan tersebut direspon oleh pemerhati isu strategis dan masalah Papua, Prof. Imron Cotan, bahwa sebagai seorang doktor, pendeta, dan tokoh masyarakat, tidak seharusnya memutarbalikkan sejarah dengan pura-pura tak tahu kronologi sejarah kemerdekaan Indonesia dan hubungannya dengan Tanah Papua, bahkan mengatakan Indonesia sebagai bangsa “penjajah”.
Kasus terbaru, di tahun 2022 saat KPK mengusut Gubernur non aktif Papua, Lukas Enembe. Pendeta Socrates Yoman disebut sebagai salah satu tokoh yang mendapat aliran dana dari agar turut mengamankan posisinya. Pasca penetapan sang gubernur non aktif sebagai tersangka KPK, Socrates kerap menuliskan opini yang dimuat di beberapa portal media, salah satunya di normshedpapua.com. Di salah satu tulisannya, ia pernah menyebut bahwa para jenderal berbintang didukung oleh Menko Polhukam dan KPK sedang berperang melawan Lukas Enembe untuk kepentingan konspirasi politik tahun 2024. Menurutnya uang 1 milyar ialah uang pribadi Lukas Enembe yang ada di kamarnya, bukan uang gratifikasi. KPK dan Menko Polhukam menyebarkan informasi yang tidak benar dan menyesatkan. KPK juga disebut lembaga yang tidak independen, menjadi alat politik praktis, berperan menjadi alat salah satu partai politik, terutama partai politik yang berkuasa.
Sekilas memang pernyataan Socrates tersebut terlihat meyakinkan, terlebih disampaikan dalam kapasitasnya sebagai salah satu tokoh agama. Namun kebenaran atas kalimat-kalimat tersebut perlu mendapat verifikasi melalui sejumlah bukti. Tak lama kemudian, terdapat pengakuan dari seorang tokoh Papua, bahwa segala tulisan bernada kritis dan cenderung sentimen negatif terhadap pemerintah merupakan pesanan dari Lukas Enembe.
Keberpihakan Socrates Yoman untuk membela Lukas Enembe disebut faktor balas jasa. Maka kepada Pendeta Socrates Sofyan Yoman, sebagai tokoh agama yang justru berpolitik, membela sang gubernur karena faktor politik mungkin masih bisa dimaklumi. Namun untuk urusan hukum janganlah ikut bermain-main jika nantinya tak ingin terkena imbasnya. Ingat, bahwa melindungi tersangka kasus korupsi merupakan pelanggaran hukum, apalagi menyatakan pembelaan terhadap kelompok separatis, sudah pasti celaka besar. Dalam tinjauan agama pasti anda seharusnya lebih paham.[*]
*)Penulis adalah Pemerhati Masalah Papua
More Stories
KEDAULATAN WILAYAH,
Pembangunan Infrastruktur di Papua Memberikan Banyak Manfaat
Ekonomi Kepemudaan dan Potensi Ekspor dari Pemuda Nusa Tenggara Timur