4 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Demiliterisasi Laut China Selatan dan Penguatan Koalisi Kawasan

BatasNegeri – Laut China Selatan yang diklaim sepihak oleh China sebagai wilayah teritorial mereka adalah ancaman nyata bagi stabilitas kawasan dan bahkan global. Klaim sepihak China atas wilayah Laut China Selatan dengan kebijakan nine dash line sebenarnya tidak memiliki dasar hukum yang sah, mengingat Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 telah menetapkan tentang batas tiap negara, termasuk wilayah perairan yang meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen (LK), dan laut lepas.

Indonesia sendiri telah meratifikasi UNCLOS 1982 pada 31 Desember 1985 melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Selain Indonesia juga ada 167 negara lainnya yang telah meratifikasi UNCLOS 1982. Secara keanggotaan, China dan Indonesia sama-sama merupakan anggota UNCLOS, namun berbeda dengan Indonesia yang mengakui soal ZEE di wilayah Laut China Selatan, China sendiri tidak mau mengakuinya. Inilah salah satu pangkal masalahnya, padahal China adalah anggota UNCLOS 1982 sejak 1996.

China mengeklaim bahwa dalam sejarahnya, kawasan Laut China Selatan adalah bagian dari wilayah kekuasaannya yang telah dikuasasinya sejak 2000 SM. Klaim China atas Laut China Selatan dengan pendekatan historical tittle semacam ini mengingatkan kita pada klaim Israel atas tanah Palestina sebagai tanah yang dijanjikan oleh Tuhan kepada orang Yahudi sebagaimana termaktub dalam Alkitab.

Meski pada kenyataannya, klaim tersebut susah untuk dibenarkan, namun hingga hari ini—dengan alasan teologis—Israel terus melakukan penyerangan ke Palestina untuk perluasan wilayah teritorialnya. Apa yang terjadi di Palestina, bukan tidak mungkin terjadi di Laut China Selatan, jika seluruh pihak tidak dapat menghargai kesepakatan UNCLOS 1982 dan putusan Arbitrase tahun 2016 tentang Laut China Selatan.

ASEAN sendiri pada 26 Juni 2020 dalam KTT ke-36 telah membahas tentang berbagai tantangan kawasan termasuk terkait positioning Laut China Selatan. Dalam konferensi tersebut, para pemimpin ASEAN telah menegaskan bahwa UNCLOS 1982 adalah dasar untuk menentukan hak maritim, hak berdaulat, yurisdiksi, dan kepentingan atas zona-zona maritim, sekaligus tentang kerangka hukum yang berlaku untuk semua kegiatan di perairan dan laut.

Sikap ASEAN ini sangat tepat, mengingat kawasan Laut China Selatan adalah wilayah yang menjadi bagian dari beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, juga Indonesia. Sikap ASEAN ini juga tidak bisa dipisahkan dari konsistensinya atas putusan Arbitrase Internasional tentang Laut China Selatan yang dikeluarkan tahun 2016.

Kesamaan pandangan di kawasan ASEAN terhadap Laut China Selatan sebenarnya merupakan modal tersendiri bagi perwujudan kedaulatan di wilayah ASEAN. Mengingat sebelumnya negara-negara ASEAN dianggap ‘bisu’ atau ‘bungkam’ dalam menyikapi putusan Arbitrase tahun 2016 tersebut.

Oleh karena itu, sudah saatnya secara bersama-sama ASEAN menjaga kedaulatan kawasan untuk stabilitas ASEAN dan juga global. Hal ini mengingat bahwa Laut China Selatan adalah jalur pelayaran internasional yang strategis dan memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Menurut American Security Project, cadangan gas di Laut China Selatan mencapai 266 triliyun kubik dan menyumbang 60-70% dari total cadangan hidrokarbon teritori tersebut. Selain itu juga ada yang menyebut bahwa terdapat cadangan minyak yang mencapai 213 miliar barel atau hampir 80% dari cadangan minyak Arab Saudi.

Ini belum termasuk kandungan lain seperti komoditas pangan berupa ikan, juga rare earth element (REE) yang sangat diperlukan untuk industry hilir berteknologi tinggi. Artinya, bukan hanya soal isu kedaulatan negara yang ada pada konflik Laut China Selatan, tapi lebih dari itu juga soal itu pertahanan dan ekonomi yang sedang disasar oleh China untuk semakin menancapkan pengaruhnya di kancah global.

Meski pemimpin ASEAN sudah tegas terkait UNCLOS 1982, namun sayangnya negara-negara di kawasan ASEAN juga memiliki ‘hutang budi’ yang cukup besar pada China, terutama pada sektor-sektor investasi di negaranya masing-masing. Sebut saja, Indonesia yang dalam catatan Bank Indonesia (BI) menyebutkan bahwa utang Indonesia kepada China per September 2023 adalah sebesar US$21,163 miliar.

Begitu pula dengan Filipina, Kamboja, Singapura, Thailand, Malaysia, juga Vietnam yang dalam china index adalah termasuk dalam negara-negara yang ‘diintervensi’ oleh China baik pada sektor militer, teknologi, ekonomi, pendidikan, politik, media, hingga kebijakan luar negerinya. Artinya, kita patut ‘curiga’ bahwa diplomasi ekonomi China di negara-negara ASEAN bukan tidak mungkin adalah upaya untuk menguatkan pengaruhnya pada penguasaan atas Laut China Selatan.

Keseriusan klaim China atas Laut China Selatan yang terbaru adalah dengan merilis ‘Peta Standar China 2023’ yang justru telah memasukkan kawasan laut bagian timur Taiwan sehingga menambah satu garis putus dari yang awalnya disebut nine dash line menjadi ten dash line.

Selain itu, dengan adanya ten dash line tersebut juga memperluas klaim atas wilayah laut China yang berbatasan dengan Filipina sekaligus menunjukkan bahwa China akan menguasai seluruh kepulauan Spartly yang di dalamnya termasuk dalam Kelompok Pulai Kalayaan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Zona Maritim Filipina yang ditolak tegas oleh China.

Demiliterisasi LCS dan Penguatan Koalisi Kawasan

Laut China Selatan telah menjadi arena untuk unjuk kekuatan militer China sejak beberapa waktu yang lalu, salah satunya pada Juni 2020 yang melakukan latihan militer selama lima hari di perairan dekat Kepulauan Paracel yang lokasinya diklaim oleh China dan Vietnam. Tentu pihak Vietnam merespon bahwa apa yang dilakukan oleh China di wilayah perairannya adalah pelanggaran serius terhadap kedaulatan Vietnam.

Tak hanya China, Filipina dan Amerika juga melakukan latihan perang dalam rangka menangkal invasi di Laut China Selatan pada 6 Mei 2024 kemarin. Hal ini sebagai respon atas manuver ‘berbahaya’ Beijing Coast Guard di perairan regional, terutama di Laut China Selatan beberapa hari sebelumnya.

Sebelum Filipina, Indonesia juga telah melayangkan protes ke China pada September 2020 karena aktivitas Beijing Coast Guard di perairan Natuna yang merupakan wilayah kedaulatan Indonesia. Beberapa aktivitas militer China di Laut China Selatan semakin membuktikan keseriusan China dalam mengklaim kawasan tersebut meskipun bertentangan dengan UNCLOS 1982 dan putusan Arbitrase tahun 2016. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN untuk masalah di kawasan Laut China Selatan tersebut?

Pertama, kekayaan yang terkandung di Laut China Selatan sangatlah luar biasa, baik untuk menunjang perekonomian negara di kawasan, industri pertahanan, maupun keamanan. Oleh karena itu, perlu ada kesepakatan bersama antara ASEAN dan China untuk merumuskan kesepakatan bersama tentang pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya dalam rangka menguatkan hubungan China dan ASEAN yang hasilnya digunakan secara proporsional sesuai dengan aturan yang disepakati.

Hal ini dapat dilakukan jika seluruh negara sepakat untuk melakukan demilitarisasi di kawasan Laut China Selatan, sehingga akan mengurangi risiko konflik yang terjadi di kawasan tersebut.

Kedua, ASEAN adalah kawasan yang menjadi mitra strategis China dalam hal perdagangan, di mana keduanya menjalin komitmen kerjasama yang disebut dengan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) yang ditandatangani pada 2017.

Keberadaan Laut China Selatan yang berada di kawasan ASEAN dan China ini merupakan keunggulan tersendiri sebagai jalur transportasi strategis untuk perdagangan internasional antara ASEAN dan China. Termasuk untuk aktivitas ekspor-impor berbagai macam komoditas, baik hasil tambang, minyak, kendaraan, mesin, bahan bakar mineral, dan sebagainya.

Oleh karenanya Laut China Selatan harus dikelola bersama untuk kepentingan kawasan sesuai dengan aturan yang berlaku secara internasional untuk menjaga stabilitas ekonomi di kawasan ASEAN, bahkan global.

Namun, untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang dapat memicu ketegangan di kawasan Laut China Selatan, sepertinya harus dilakukan juga opsi ketiga, yaitu penguatan koalisi militer ASEAN dalam upaya untuk menjaga kedaulatan kawasan sebagaimana didasarkan atas UNCLOS 1982 dan putusan Arbitrase tahun 2016.

Hal ini menjadi pijakan bagi ASEAN untuk bergerak dalam rangka menjaga kedaulatan negaranya masing-masing. Namun, perlu diingat bahwa untuk menguatkan koalisi militer di kawasan ASEAN, mungkin tidak perlu melibatkan negara lain di luar kawasan ASEAN, seperti Amerika, Australia, dan India seperti yang dilakukan pada 19 September 2023 dalam acara yang bertajuk ASEAN Solidarity Exercise (ASEX-01) Natuna.

Keterlibatan Amerika dan negara sekutu Blok Barat dalam upaya penjagaan kedaulatan di kawasan Laut China Selatan justru berpotensi menjadi konflik yang meluas, tidak hanya antara China dan beberapa negara di ASEAN, tapi menjadi konflik Barat dan Timur. Oleh karena itu, ASEAN harus segera membentuk Koalisi Militer ASEAN untuk memaksimalkan kerjasama dalam pertahanan dan kedaulatan kawasan yang bertugas untuk mengawasi dan menjaga daerah perbatasan masing-masing di kawasan Laut China Selatan.

Terakhir, bahwa tidak dipungkiri saat ini China adalah sebuah kekuatan yang luar biasa di dunia, terutama dalam aspek kekuatan ekonomi maupun kekuatan militernya.

Maka dari itu, jika dengan pendekatan militer kita belum mampu menjadi penyeimbang dari kekuatan China, maka opsi selanjutnya adalah dengan pendekatan ekonomi. Prinsipnya adalah bagaimana pendekatan ekonomi itu dilakukan dengan prinsip saling menguntungkan, baik untuk China maupun ASEAN, khususnya Indonesia agar tercipta stabilitas di kawasan.[*]