6 November 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

297 Km Jalan Perbatasan Indonesia-Timor Leste Rampung Dibangun

BatasNegeri – Pembangunan Jalan Perbatasan Sabuk Merah Indonesia-Timor Leste di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hampir diselesaikan seluruhnya oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Perbatasan darat di Provinsi NTT ini dikenal dengan Sabuk Merah karena memiliki sejarah yaitu ketika Timor Leste memisahkan diri dari Indonesia dan terdapat peta perbatasan yang ditandai dengan garis merah oleh Tentara Negara Indonesia (TNI), sehingga sampai saat ini dinamai dengan Sabuk Merah.

Kepala Satuan Kerja (Satker) Pelaksana Jalan Nasional (PJN) Wilayah II Provinsi NTT, Fahrudin mengatakan, pembangunan Jalan Perbatasan Sabuk Merah di NTT yang telah diselesaikan yaitu Sektor Timur sepanjang 180 km dan Sektor Barat sepanjang 117 km.

Dengan demikian, total panjang jalan yang telah diselesaikan Kementerian PUPR ialah 297 km.

“Masih menyisakan pembangunan dua ruas sepanjang 31 km dalam masa konstruksi, yaitu ruas Oenak-Saenam (18 km) dan Saenam-Nunpo (Haumeniana) (13 km),” ujarnya dikutip dari laman Kementerian PUPR, Kamis (3/10/2024).

Lanjut Fahrudin, saat ini progres konstruksi ruas tersebut saat ini sudah mencapai 93 persen dengan target selesai akhir November 2024.

“Pembangunannya dilaksanakan sejak akhir 2022 dengan anggaran pembangunan Rp 114 miliar dengan kontraktor PT Lince-Maju Jaya, KSO,” imbuhnya.

Fahrudin menambahkan, dalam pembangunan Jalan Perbatasan Sabuk Merah terdapat juga jembatan yang telah dibangun BPJN NTT pada 2020 sebanyak 42 jembatan pada ruas Sabuk Merah Sektor Timur, dan 38 jembatan pada ruas Sabuk Merah Sektor Barat.

Dixci Rafael, warga pengguna jalan perbatasan di NTT mengatakan, jalan perbatasan yang selesai dibangun sangat membantu dalam memperpendek waktu tempuh warga setiap harinya.

“Sebelumnya dari Kota Kefamenanu ke Napan menempuh waktu 2,5 jam, sekarang dengan adanya pembangunan PLBN dan akses jalan yang baik, jadi hanya sekitar 20 menit. Masyarakat jadi lebih cepat dalam mengangkut hasil bumi ke kota dan menjualnya ke pasar,” pungkasnya.[Kompas.com]