4 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Padma - Gabriel Goa Sola (kanan)

Buruknya Tata Kelola Perbatasan Australia-Rote NTT, Ancaman bagi Kedaulatan NKRI

BatasNegeri – Koalisi Masyarakat Sipil Lawan Perdagangan Orang dan Penyelundupan Manusia (Koalisi) menyoroti buruknya tata kelola perbatasan antara Australia dan Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal ini dinilai dapat mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Penasehat Koalisi sekaligus penasehat PADMA Indonesia, Gabriel Goa,Jumat (28/6/2024) mengungkapkan kekhawatirannya terhadap isu Pulau Pasir atau Ashmore and Cartier Islands, yang telah dinyatakan sebagai wilayah teritori Australia oleh Kementerian Luar Negeri RI. Gabriel menjelaskan, sesuai Deklarasi Juanda 1957 dan UU No 4 Tahun 1960, Pulau Pasir tidak termasuk dalam wilayah NKRI. 

Hal ini diperkuat dengan adanya MoU 1974 serta MoU perbaruan antara Indonesia dan Australia pada 1981 dan 1989, yang mengizinkan nelayan tradisional NTT untuk menangkap ikan dan teripang di kawasan tersebut.

“Namun, kekhawatiran saya justru maraknya lalu lintas kapal dengan Anak Buah Kapal (ABK) dan nelayan yang melewati perbatasan laut, bahkan sampai ke kawasan Australia,” tegas Gabriel.

Gabriel menambahkan, pada 26 Juni 2024, pemerintah Australia-Darwin menangkap dan menahan dua kapal nelayan asal Merauke, Papua Selatan beserta 15 ABK. Ini menunjukkan adanya pelanggaran hukum terhadap aktivitas yang dianggap ilegal oleh para nelayan tersebut. 

“Kami menerima banyak laporan dari jaringan kami di NTT mengenai nelayan Indonesia yang melewati batas kelautan, baik untuk mencari ikan atau teripang, maupun membawa imigran gelap dari negara-negara konflik menuju Australia,” ungkapnya.

Nukila Evanty, anggota Koalisi yang juga ahli hukum internasional, menyatakan bahwa masalah nelayan yang membawa imigran gelap ke Australia sangat kompleks.

“Sindikat atau recruiters memanfaatkan nelayan dengan meminjam perahu mereka untuk menyelundupkan orang. Nelayan tersebut sering kali tidak mengetahui asal dan identitas orang yang dibawa. Keterbatasan informasi membuat mereka terjebak dalam praktik penyelundupan manusia,” jelas Nukila.

Nukila menambahkan, dalam hukum internasional, terdapat klausul yang menyebutkan bahwa “kedaulatan negara pantai meluas, melebihi wilayah darat dan perairan internalnya. Kedaulatan atas laut teritorial juga diatur oleh hukum internasional lainnya. Laut teritorial, menurut hukum internasional, adalah area laut yang langsung bersebelahan dengan pantai negara dan tunduk pada yurisdiksi teritorial negara tersebut.

” Dengan demikian, nelayan yang sudah memasuki wilayah Australia harus diadili berdasarkan hukum Australia, bukan malah dipulangkan ke Indonesia,” katanya.

Koordinator Koalisi, Greg Retas Daeng, SH,, menyatakan bahwa Indonesia memiliki UU No 6 Tahun 2011 yang mengatur kejahatan penyelundupan imigran. Namun, Greg menilai UU Keimigrasian Indonesia belum memadai untuk menangani penyelundupan orang ke Australia. 

“Nelayan yang terlibat seharusnya dianggap korban, bukan pelaku. Mereka perlu diberikan edukasi tentang penyelundupan orang, batas wilayah laut kedua negara, serta MoU Indonesia-Australia. Pemerintah kedua negara perlu bekerja sama dengan masyarakat sipil untuk menyelesaikan masalah ini,” saran Greg.

Greg juga mengusulkan agar dilakukan diskusi lebih lanjut mengenai isu ini. Sebagai anak NTT dan warga negara Indonesia, dirinya sangat menyayangkan jika masih banyak orang yang seharusnya korban justru dianggap pelaku kejahatan.[*]

rri.co.id