20 April 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Kemerdekaan Harus Sampai Pelosok Perbatasan

BatasNegeri – Pembangunan infrastruktur jalan di kawasan perbatasan memang sedang digalakkan. Jalan aspal mulus mulai muncul, kesan terisolir beranjak hilang. Tapi masih ada daerah-daerah yang sulit dijangkau.

Saat detikcom mengunjungi Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, kami diberi tahu adanya dusun terpencil bernama Gun Tembawang dan Gun Jemak, letaknya di Desa Suruh Tembawang. Gun Tembawang dan Gun Jemak adalah dua dusun terdepan yang langsung berhadapan dengan Malaysia.

Di Entikong, Kepala Desa Suruh Tembawang bernama Gak Mulyadi memberi tahu kami bahwa perjalanan menuju Gun Tembawang butuh waktu minimal sembilan jam dan sangat tergantung cuaca. Bisa saja butuh waktu seharian bila cuaca buruk.

Sebagian perjalanan harus ditempuh menggunakan speed boat menyusuri Sungai Sekayam selama tiga jam. Itupun tidak melulu melaju, ada kalanya speed boat harus ditarik dan diangkat bila melewati bebatuan terjal. Ongkos perjalanannya tembus sejuta Rupiah untuk sekali perjalanan berangkat saja. Sungguh upaya yang luar biasa mencapai tapal batas.

Perjalanan menuju Desa Suruh Tembawang.Perjalanan menuju Desa Suruh Tembawang. Foto: Perjalanan ke Suruh Tembawang (Danu Damarjati/detikcom)

Pihak TNI, orang-orang di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, dan orang pemerintahan menyatakan sebenarnya akses menuju Gun Tembawang lebih mudah ditempuh lewat Malaysia. Melaju saja lewat PLBN Entikong ke teritorial Malaysia, tempuh perjalanan sekitar dua jam kemudian turun di Gun Sepit Malaysia. Dari situ, perjalanan menuju Gun Tembawang Indonesia bisa ditempuh berjalan kaki sekitar sejam. Orang-orang di Gun Sepit Malaysia dan Gun Tembawang Indonesia punya ikatan kekerabatan sebagai sesama masyarakat Dayak Bidayuh.

Gapura menuju Desa Suruh Tembawang.Gapura menuju Desa Suruh Tembawang. Foto: Perjalanan ke Suruh Tembawang (Danu Damarjati/detikcom)

Mempertimbangkan alokasi waktu yang terbatas, kami memutuskan untuk menempuh perjalanan menuju pusat Desa, yakni Suruh Tembawang yang berjarak sekitar 45 km dari Entikong. Kini perjalanan menuju Suruh Tembawang bisa ditempuh menggunakan sepeda motor melewati Jalan Paralel Perbatasan. Bagi masyarakat sini, ini adalah jalan yang mudah bila dibanding medan menuju dusun-dusun perbatasan.

“Kalau jalanan kering bisa lebih cepat. Kalau hujan ya tidak bisa pakai motor, satu-satunya cara adalah lewat Sungai Sekayam (perahu bermotor),” kata Gak kepada kami sebelum berangkat.

Minggu (16/7/2017) pagi setelah hujan, kami bertiga dari detikcom bersiap berangkat ke Suruh Tembawang. Empat motor disiapkan, termasuk pinjaman motor Kawasaki KLX250 dari Kepala Subsektor Polsek Entikong Ipda Nursalim. Ada Gak yang akan kembali ke Desanya, keponakannya bernama Budet, dan Kepala Dusun Gita Jaya bernama Wahab juga ikut mengantarkan kami.

Motor-motor yang digunakan ini punya kemampuan menggaruk medan tanah dan bebatuan terjal. Pokoknya bagaimana caranya, motor bebek juga harus dibikin bisa nge-trail. Motor Budet misalnya, Yamaha F1ZR yang sudah dibubut silindernya, dipotong rangkanya, ganti setang, ganti peredam kejut, hingga ganti ban. “Modif ini habis Rp 4 juta,” kata Budet.

Wahab menunggangi Honda Supra X yang sudah dibubut mesinnya dan diganti bannya. Dia kebetulan berada di Entikong untuk membeli bahan bangunan bersama rombongan gotong royong sekitar 10 sepeda motor dari Dusun Gita Jaya, namun sesampainya di Entikong dia memisahkan diri untuk membantu perjalanan ini.

Jalan berbatu.Jalan berbatu. Foto: Perjalanan ke Suruh Tembawang (Danu Damarjati/detikcom)

Dari Jalan Lintas Malindo Entikong, Kami tancap gas ke Suruh Tembawang pukul 09.30 WIB. Suara mesin motor dua tak yang dikemudikan Budet memang berisik sekali. Jalan Paralel Perbatasan yang kami lalui sejauh ini masih berupa aspal mulus.

Namun aspal mulus tak lama kami lalui, sekitar 15 menit saja. Setelah itu jalanan berganti bebatuan dan kerikil bercampur tanah, menanjak dan menurun. Kanan kiri jalan adalah semak belukar, pepohoan, tebing, jurang, atau juga bukit kebun sawit.

Jalan jelek menuju Desa Suruh Tembawang.Jalan jelek menuju Desa Suruh Tembawang. Foto: Rachman Haryanto

Sekali lagi ada aspal sampai Dusun Merau, namun tak panjang dan berganti dengan jalan batu dan kerikil. Proyek Jalan Paralel Perbatasan ini memang sedang dikerjakan, sesekali terlihat alat berat dan tanda-tanda keberlangsungan proyek.

Setelah melewati Pos SSK1 Satgas Pamtas Entabang di Desa Palapasang, ada jembatan bambu dan kayu melewati jurang bersungai. Dua anak remaja yang menunggu meminta uang Rp 10 ribu dari setiap pelintas. Jembatan ini hanya cukup untuk lewat satu motor, jadi harus bergantian melintas bila ada beberapa motor yang hendak lewat.

Jembatan bambu dilewati motor.Jembatan bambu dilewati motor. Foto: Rachman Haryanto

Jalan menanjak, Budet menginstruksikan teman saya untuk memakai, “Gigi dua! Gigi dua!” Motor yang dikendarai teman saya nampak kesulitan menapaki jalna menanjak. Medan mulai berat. Knalpot salah satu motor yang diboncengi rekan saya mulai mengepulkan asap.

Kini jalanan berganti tanah sepenuhnya. Lebar jalan juga tak konsisten, ada yang selebar dua meter dan ada yang lima meter. Tak ada lampu penerangan jalan. Bila hujan turun deras, tentu situasi bakal kacau balau. Dipastikan pengendara motor bakal berkubang dengan lumpur di tempat ini.

Jalan berlumpur menuju desa di perbatasan.Jalan berlumpur menuju desa di perbatasan. Foto: Rachman Haryanto

“Jalan paralel ini sebenarnya dulu sudah dibuka era Presiden SBY, tapi waktu itu masih sempit. Pada era Presiden Jokowi tahun 2015, jalanan ini diperlebar,” kata Wahab.

Terlepas dari halangan dan rintangan, juga berhenti sejenak bila ada motor yang bermasalah, sepeda motor yang kami tumpangi relatif gesit melewati medan serusak ini.

Tak terasa, jarum jam sudah menunjukkan pukul 12.00 WIB. Sudah empat sungai besar dan empat sungai kecil dilewati. Kini kami sampai di tepian Desa Suruh Tembawang. Nampak warung di depan, kami berhenti sekadar melepas dahaga. Di sini ada tujuh orang pemotor. Mereka adalah warga tapal batas juga, yakni dari Badat yang hendak pergi ke Entikong. Namun nampaknya perjalanan yang mereka tempuh lebih berat dari yang telah kami lalui barusan.

“Wah berat medannya, lihat saja celana ini,” kata seorang pemotor sambil menunjuk noda lumpur sampai sekitar paha.

Kemerdekaan Harus Sampai Pelosok Perbatasan

Gak menyampaikan kelakar soal hubungan infrastruktur jalan dan kemerdekaan. Dulu sebelum ada jalan layak dari pusat Kecamatan Entikong ke pusat Desa Suruh Tembawang, orang Suruh Tembawang selalu bilang, “Indonesia merdeka hanya sampai di Kecamatan Entikong!”. Kini pembangunan digulirkan, Jalan Paralel Perbatasan meski belum ideal nyatanya sudah membuka mobilitas pusat Desa Suruh Tembawang ke pusat Kecamatan Entikong. Masalah masih tersisa: jalan dari Suruh Tembawang ke dusun-dusun pelosok perbatasan semacam Gun Tembawang.

“Sekarang jalan sudah sampai pusat Desa Suruh Tembawang. Kini orang jadi bilang Indonesia merdeka hanya di pusat desa!” kata Gak berkelakar. Tentu harapan ke depan, dusun-dusun di pelosok perbatasan bisa benar-benar merdeka dari keterisolasian akibat buruknya infrastruktur jalan.

Warga Desa Suruh Tembawang.Warga Desa Suruh Tembawang. Foto: Rachman Haryanto/detikcom

Desa Suruh Tembawang yang dihuni 672 kepala keluarga terdiri dari 2.982 jiwa. Di dalam Desa ini ada 10 Dusun, di antaranya ada dua dusun yang berbatasan langsung dengan Malaysia yakni Dusun Gun Tembawang dan Gun Jemak. Gun Tembawang diisi 42 kepala keluarga, Gun Jemak dihuni 58 kepala keluarga.

Penduduknya adalah masyarakat Dayak Bidayuh dengan sub-suku yang bermacam-macam bahasa. Mayoritas penduduk bekerja dengan cara berladang, lada alias sahang menjadi tanaman yang berharga untuk dijual. Ada juga jahe, terong, hingga cabai. Masyarakat di dua dusun yang berbatasan ke Malaysia biasa menjual hasil bumi ke Malaysia, dan masyarakat dari dusun lainnya sudah mulai menjual hasil buminya ke Entikong, seiring dengan terbukanya jalan dari Suruh Tembawang ke Entikong.

Penduduk Suruh Tembawang.Penduduk Suruh Tembawang. Foto: Rachman Haryanto

Masih banyak penduduk-penduduk Suruh Tembawang yang harus menempuh medan berat bila ingin bepergian. Saya melihat jalan dari pusat desa ini menuju Dusun Gita Jaya, wujudnya seperti jalan setapak di tengah ilalang, berlumpur basah dan menanjak pula.

Bagi orang-orang perbatasan di sini, jalan kaki berjam-jam bukanlah hal luar biasa. Dari Suruh Tembawang dan Kebak Raya ke Suruh Tembawang, perjalanan darat bisa ditempuh dengan berjalan kaki delapan jam lamanya. Bila hendak ke Gita Jaya atau ke Pool, perlu dua jam berjalan kaki. Kalau ke Badat, dua jam juga waktu perjalanannya namun sudah bisa ditempuh sepeda motor.

Faktor tidak tersambungnya jaring-jaring jalan ini berimbas kepada harga kebutuhan hidup mereka. “Harga semen satu sak di Entikong sekitar Rp 85 ribu, di Suruh Tembawang harganya Rp 300 ribu,” kata Gak.

“Kalau infrastrukturnya terbuka, maka akses ekonomi juga akan lancar,” ujarnya menambahkan.

Soal telekomunikasi, tak ada internet di sini. Hanya sinyal Telkomsel untuk telepon selular yang bisa menjangkau sampai sini. Itupun harus berusaha ekstra untuk mendapatkan sinyal. Ada menara Base Transceier Station (BTS) di dekat desa namun kini menara telekomunikasi itu tidak berfungsi.”Yang kami butuhkan telekomunikasi saja, bukan informasi,” kata Wahab.

Pada tiga hari sebelum menapaki tanah Suruh Tembawang, detikcom sudah menerima penjelasan dari Bupati Sanggau Paolus Hadi. Memang kondisi Jalan Nasional dari Pontianak ke Sanggau dan berlanjut ke Entikong sudah laik. Namun kelaikan jalan belumlah sampai ke desa-desa pelosok.

Jalan Paralel Perbatasan sudah dibangun, Paolus berharap jaring-jaring menuju dusun pelosok perbatasan juga turut diperhatikan pemerintah pusat.

“Yang kita dorong sekarang adalah masyarakat yang langsung berada di perbatasan, mulai dari perbatasan arah Bengkayang, arah Sintang, dan Suruh Tembawang. Bukan hanya di Border (sekitar PLBN Entikong),” kata Paolus di Rumah Dinas Bupati di Kecamatan Kapuas, Sanggau.

Untuk keseluruhan Kabupaten, Paolus menyatakan rasio jalan kabupaten yang tergolong ‘jalan mantap’ masih rendah, sekitar 55 persen saja dan selebihnya masih jalan rusak atau belum dibangun. Apa kendala untuk membangun jaring-jaring jalan sampai pelosok perbatasan?

“Ya duit lah. Bayangkan, uang Rp 1,4 triliun untuk mengurus kabupaten sebesar ‘Provinsi Banten plus’,” kata Paolus.

Medan yang harus dilalui untuk menuju Desa Suruh Tembawang.Medan yang harus dilalui untuk menuju Desa Suruh Tembawang. Foto: Rachman Haryanto

Kabupaten Sanggau punya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Rp 1,4 triliun. Dia membandingkan dengan Provinsi Banten yang punya luas wilayah 9.663 km persegi dan Kabupaten Sanggau seluas 12.857 km persegi. APBD Banten sekitar Rp 10 triliun dan APBD Sanggau sepersepuluhnya.

Namun Paolus juga sadar, kepadatan penduduk Sanggau jauh lebih rendah daripada Banten. Terlepas dari itu, penduduk Sanggau tetap harus tersentuh negara meskipun letaknya terpencil di pelosok perbatasan. Perlu dana lebih untuk membangun jalan sampai pelosok. Sedangkan membangun jalan kabupaten saja butuh sekitar Rp 4 miliar untuk panjang hanya belasan kilometer untuk kualitas setara dengan Jalan Nasional. Belum lagi, jalan kabupaten kerap hancur gara-gara aktivitas kendaraan truk-truk kelapa sawit dan industri perkebunan lainnya, apalagi bila kualitas aspalnya yang murah-murah saja.

“Dengan anggaran kecil ini, kami mohon dukungan Pemerintah Pusat juga supaya infrastruktur kita baik,” tandas Paolus.

Sumber: detik.com