27 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Tampak kelompok pengungsi asal Nduga di Kampung Pintas, Wamena, Kabupaten Jayawijaya Papua, Senin (22/7/2019). KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA (FLO) 22-07-2019

Menunaikan Janji bagi Tanah Papua

BatasNegeri – Lebih dari 100 nyawa melayang akibat rentetan kekerasan di Papua sepanjang 2019. Ribuan orang kehilangan rumah dan mengungsi akibat kerusuhan ataupun konflik antara aparat keamanan dan kelompok kriminal bersenjata, seperti yang terjadi di Nduga. Ini merupakan tahun kelam bagi ”Bumi Cenderawasih”.

Belum pernah terjadi aksi massa yang hampir bersamaan menjalar di banyak kota di Provinsi Papua dan Papua Barat seperti pada Agustus-September lalu. Dipicu kasus ujaran kebencian bernada rasisme di Surabaya, Jawa Timur, kerusuhan awal meletus di Manokwari lalu merambat ke Sorong, Fakfak, Jayapura, Deiyai, dan Timika. Terakhir, kasus berbeda tetapi bernuansa sama juga memantik huru-hara di Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya.

Hal ini sudah seharusnya menjadi wake-up call bagi pemerintah, panggilan untuk sungguh-sungguh menyelami dan mengurai tuntas masalah di tanah Papua. Sampai kapan konflik akan terus berulang?

Pemerintahan Joko Widodo sebenarnya telah berupaya meretas ketimpangan pembangunan di Papua daripada daerah lainnya di negeri ini. Masalah ini sejak lama dipandang sebagai salah satu pangkal utama ketidakpuasan masyarakat, keresahan yang kemudian terpendam menjadi benih-benih gejolak dan konflik.

Presiden menggencarkan proyek-proyek infrastruktur di Papua sejak awal menjabat, termasuk pembangunan urat nadi Jalan Trans-Papua yang diidamkan warga sejak lama. Infrastruktur diyakini menjadi fondasi untuk mengungkit kesejahteraan Papua. Dana otonomi khusus juga terus digelontorkan hingga triliunan rupiah setiap tahun bagi Provinsi Papua dan Papua Barat.

Kebijakan untuk memperhatikan Papua kian dikuatkan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat. Inpres ini menggerakkan semua kementerian serta kepala daerah di Papua dan Papua Barat untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam mempercepat pembangunan berbagai bidang.

Salah satu hasilnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua dan Papua Barat masuk dalam kategori sedang dengan nilai 60,06 dan 63,74, meningkat dari tahun 2017. Bahkan, khusus Provinsi Papua, skor IPM itu membawanya naik kelas dari kategori rendah pada tahun-tahun sebelumnya.

Namun, semua itu belum cukup karena masih jauh dari rata-rata IPM Indonesia tahun 2018, yakni 71,39 atau masuk kategori tinggi. Bahkan, di antara 34 provinsi se-Indonesia, Papua dan Papua Barat masih menempati urutan terbawah.

Jika dirunut lebih jauh lagi berdasarkan kabupaten/kota, Papua dan Papua Barat memiliki daerah dengan IPM kategori rendah (skor di bawah 60) terbanyak. Dari 26 kabupaten yang berstatus IPM rendah secara nasional, 17 kabupaten berada di Papua dan 5 lainnya di Papua Barat.

Oleh karena itu, meski banyak yang telah dilakukan, tidak kalah banyak pula pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tantangan yang dihadapi pun tidak ringan. Membangun Papua bukanlah perkara setahun dua tahun. Apalagi jika mengingat ketertinggalan Papua yang begitu dalam akibat akumulasi marjinalisasi kebijakan pembangunan selama puluhan tahun.

Keadilan sosial

Dari aspek geografis, tantangan yang tersaji demikian besar. Papua adalah provinsi terluas di Indonesia. Bersama Papua Barat, luasnya mencakup 22 persen dari keseluruhan wilayah Indonesia. Luasan itu 3,2 kali lipat luas Pulau Jawa yang terdiri atas enam provinsi. Sementara bentang alamnya ekstrem, mulai dari puncak-puncak tertinggi di Pegunungan Tengah hingga hamparan rawa-rawa di pesisir selatan.

Menilik aspek luasan itu dapat tergambar kebutuhan sumber daya yang luar biasa besar dalam membangun Papua, terutama anggaran. Belum lagi jika memasukkan variabel tingginya tingkat kemahalan harga di kedua provinsi itu.

Namun, seberapa pun besarnya tantangan itu, negara tidak boleh surut. ”Utang” pembangunan di Papua harus dilunasi untuk menunaikan janji keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, politik penganggaran yang berpihak pada pembangunan Papua adalah mutlak.

Presiden Joko Widodo kembali menegaskan komitmennya memprioritaskan pembangunan tanah Papua saat mengunjungi Wamena pada 28 Oktober lalu, termasuk perlakuan khusus dalam pemekaran wilayah. Tentu saja pembangunan harus diiringi efektivitas penggunaan anggaran.

Potensi kebocoran anggaran wajib dicegah. Ini berlaku bukan hanya di Papua, melainkan juga di seluruh Nusantara. Penyakit korupsi mesti menjadi perhatian bersama. Salah satunya dengan penegakan hukum yang tegas. Sejumlah kasus yang mencuat di Papua tahun ini menjadi ajang pembuktian bagi aparat hukum dalam mengawal pembangunan Papua.

Kejaksaan Tinggi Papua menangani 10 kasus dugaan korupsi sepanjang 2019. Kasus yang masih disidik antara lain gratifikasi senilai Rp 19 miliar yang diduga melibatkan pejabat tinggi Kabupaten Waropen, dugaan penyelewengan dana hibah di Kabupaten Keerom sebesar Rp 53 miliar, dugaan penyalahgunaan dana bantuan sosial di Keerom sebesar Rp 23 miliar, dan dugaan korupsi dana APBN di Kabupaten Sarmi sebesar Rp 2,3 miliar.

Berdasarkan data Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Papua, selama Januari-Juni 2019, kepolisian menangani 73 kasus dugaan korupsi di Papua. Kasus-kasus itu merugikan negara hingga Rp 64 miliar, di antaranya penyalahgunaan APBN, APBD, dana otonomi khusus, hingga dana desa.

Menyentuh manusia

Selain melanjutkan proyek- proyek fisik, pemerintah juga harus menyentuh aspek yang tidak kalah penting dalam pembangunan itu sendiri, yakni manusia. Bukan hanya persoalan pendidikan dan kesehatan, yang juga masih banyak catatan kekurangan, melainkan pula persoalan kemanusiaan di Papua.

Dampak konflik di Nduga, misalnya, hingga kini menyisakan masalah besar pengungsian. Ribuan warga eksodus ke kabupaten-kabupaten tetangga, terutama ke Wamena, kota terbesar di Pegunungan Tengah. Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem menyebutkan, terdapat 30.000 warga Nduga yang mengungsi untuk menghindari konflik antara aparat TNI/Polri dan kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya itu.

Theo berharap pemerintah serius menangani masalah kemanusiaan tersebut. ”Masih banyak warga yang mengungsi di hutan. Diperlukan kesepakatan bersama antara kelompok Egianus dan pemerintah untuk menghentikan konflik di Nduga,” katanya.

Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Provinsi Papua Frits Ramandey menggarisbawahi, pendekatan pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan selama lima tahun belakangan belum efektif meredam konflik di Papua. Hal itu karena masyarakat masih menyimpan kekecewaan dan rasa kurang percaya terhadap pemerintah. Salah satunya disebabkan belum adanya penyelesaian sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua, di antaranya kasus Wasior (2001) dan kasus di Wamena (2003).

Dalam kasus Wasior, sebanyak 4 warga tewas, 5 warga hilang, dan 39 warga luka-luka. Sementara kasus di Wamena menyebabkan 9 korban tewas dan 38 orang luka-luka. Frits berharap Presiden dapat membuktikan janjinya untuk menuntaskan kasus-kasus itu pada periode kedua jabatannya sehingga memberikan kepastian hukum bagi warga.

Penyelesaian kasus-kasus ini sekaligus diharapkan dapat kembali memulihkan kepercayaan warga Papua bahwa keadilan tegak memayungi seluruh anak bangsa.[*]

kompas.id