27 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

TNI Bantu Siswa Perbatasan Belajar Akses Internet

BatasNegeri – Susahnya sinyal di wilayah perbatasan negara, membuat para pelajar terpaksa harus mendaki ke tempat yang lebih tinggi untuk mendapatkan sinyal.

Hal ini dilakukan pelajar perbatasan di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, untuk belajar daring yang dipandu oleh anggota TNI yang bertugas di wilayah perbatasan negara.

Rabu (19/08/2020), seorang pelajar perbatasan bernama Natasya dan tujuh temannya yang lain harus mencari sinyal untuk mengerjakan Pekerjaan Rumah mata pelajaran matematika yang harus dikirim ke wali kelas mereka.

Mereka akan mendaki bukit menuju sebuah pondok belajar, lantaran di bukit tersebut sinyal sangat kuat. Di pondok belajar ini, sudah ada tiga orang Satgas Pamtas yang sudah menunggu kedatangan mereka.

Natasya dan teman-temannya memanggil Satgas Pamtas itu dengan sebutan Cik Gu. Hegomoni sosial di wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia memang tidak bisa dielak.

Bukan hanya tempat, di Pondok Belajar ini juga difasilitasi modem dengan jaringan internet, sebab tidak semua tempat punya akses sinyal. Satu di antaranya yang cukup kuat untuk mengakses internet adalah di Pondok Belajar ini, meskipun tidak selancar yang diharapkan.

Natasya masih duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar Negeri 01 Jagoi Babang. Begitu juga temannya yang lain. Sejak pandemi covid-19 mewabah, anak-anak sekolah diharuskan belajar secara daring, tak terkecuali anak-anak yang berada di perbatasan.

Namun, keterbatasan akses internet membuat mereka kesulitan belajar mengikuti metode baru ini. Bukan hanya itu, fasilitas pendukung lainnya seperti gadget atau laptop pun menjadi masalah baru. Anak-anak perbatasan mau tidak mau secara bergantian meminjam gadjet para Satgas Pantas untuk dimanfaatkan.

“Kami senang karena Om Tentara bantu kami belajar, apalagi kami tidak punya handpone. Kami selalu dipinjamkan sama Om Tentara untuk kerjakan PR,” kata Natasya.

Natasya adalah cerminan anak-anak perbatasan dalam menghadapi pandemi covid-19 ini. Sebelum diberlakukan metode belajar daring, anak-anak sekolah belajar seperti biasa, bertatap muka. Suasana kelas seperti itu yang dirindukan anak-anak perbatasan. Namun, wacana memanenkan metode belajar daring justru menjadi kesulitan anak-anak di sana apabila jaringan sinyal belum masuk hingga sekarang.

“Kami berharap di kampung kami ada sinyal, biar kami bisa belajar dengan tenang. Itu harapan kami,” ungkapnya.

Prajurit kepala (Praka) Aminudin Yonif Rider 641 Beruang yang menjadi salah seorang Cik Gu di Pondok belajar ini mengatakan selama pandemi covid-19, ia dan tiga petugas lainnya dijadikan sebagai guru bantu di sekolah ini. Mata pelajaran yang diajarkannya adalah matematika dan agama.

Dalam satu kelas, dibagi menjadi empat kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima sampai delapan orang. Pembagian kelompok ini berdasarkan jarak lokasi dengan Pondok Belajar yang dibuat pihaknya.

“Lokasinya menyesuikan jarak lokasi rumah mereka. Ini kelompok kedua yang kami faslitasi. Kelompok pertama berada di kampung dalam,” ujarnya.

Menurutnya, di lokasi ini hanya terdapat dua sinyal yang terbilang cukup mampu diakses. Yakni Indosat dan Telkomsel. Itupun tidak selancar yang diharapkan. Biasanya, jika waktu siang tidak cukup untuk mengajari atau membantu anak-anak perbatasan ini mengerjakan PR, maka malam harinya akan dilanjutkan kembali. Dengan catatan kondisi alam bersahabat, dengan kata lain tidak hujan.

“Kalau tidak hujan, malamnya anak-anak biasa kami jemput dari rumah ke rumah. Usai belajar, kami antar pulang kembali,” jelasnya.

Ini sudah menjadi agenda rutin setiap minggu sejak pandemi. Dalam seminggu para Cik Gu ini menjadwalkan pertemuan selama lima hari, sejak Senin hingga Jumat. Sementara Sabtu dan Minggu diliburkan.

“Itu yang kami lakukan dengan keterbatasan yang ada di sini,” pungkasnya. (borneo24)