26 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Indonesia dan Pertemuan Puncak APEC

Oleh: Iman Pambagyo*)

BatasNegeri – Pertemuan tahunan para pemimpin ekonomi APEC telah berlangsung pada 16-17 November 2023 di San Francisco, Amerika Serikat. Pertemuan kerja sama regional yang menaungi 21 ekonomi di Pantai Timur dan Pantai Barat Samudera Pasifik ini mengambil tema “Menciptakan Masa Depan yang Kuat dan Berkelanjutan bagi Semua” atau Creating a Resilient and Sustainable Future for All.

Tampak jelas bahwa Amerika Serikat yang menjadi tuan rumah pertemuan-pertemuan APEC sepanjang 2023 menyadari bahwa sebuah Asia-Pasifik yang terpecah belah hanya akan membuat proses pemulihan ekonomi dari berbagai tantangan yang dihadapi dalam lima tahun terakhir ini menjadi semakin sulit.

Seperti dilansir oleh Statista pada 20 April 2023, saat ini sedang berlangsung continental shift, yakni  sejumlah negara di Asia mulai beranjak naik sebagai kelompok ekonomi terbesar di dunia. Hal yang menarik adalah apabila Indonesia kini masuk dalam kelompok 10 ekonomi terbesar di dunia (berdasarkan purchasing power parity), maka diprediksi pada 2028 dapat menjadi ekonomi terbesar keenam, yang berarti hanya sekitar empat tahun dari sekarang. Berdasarkan data statistik yang ada, prediksi para pengamat mengenai datangnya “abad Asia” tampaknya memang mulai terwujud.

Dalam kerangka inilah, peran yang dimainkan Indonesia di berbagai forum regional maupun internasional tidak dapat dilihat sebelah mata, tidak saja oleh bangsa lain, juga oleh bangsa Indonesia sendiri. Setelah berhasil memimpin kelompok G-20 pada 2022 dan ASEAN pada 2023, kiprah Indonesia dalam pertemuan puncak APEC di San Francisco serta pertemuan-pertemuan bilateral di sela-sela pertemuan puncak tersebut kembali menunjukkan peran penting yang mampu dimainkan.

Meskipun agenda utama pertemuan di San Francisco adalah bidang ekonomi, dalam forum APEC maupun dalam pertemuan bilateral dengan tuan rumah, Indonesia dapat menarik perhatian mitranya agar 21 ekonomi APEC menunjukkan sikap serius untuk menyikapi kekejaman yang dilakukan Israel di wilayah Gaza.

Dikabarkan, setelah melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Joko Widodo pada 13 November 2023, Presiden Joe Biden menyampaikan pesan keras ke Tel Aviv bahwa upaya Israel untuk menduduki Gaza akan menjadi kesalahan besar. Karena tekanan ini, Israel segera mengendurkan blokadenya dan membuka beberapa titik perbatasan bagi masuknya bantuan kemanusiaan kepada penduduk Gaza.

Menguatnya postur Indonesia di mata negara-negara lain tentunya tidak terlepas dari capaian-capaian yang dicatatkan Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Mungkin yang paling signifikan adalah keberhasilan Indonesia bertahan dari dampak perang dingin, serangan Covid-19, dan semakin terfragmentasinya perekonomian dunia mengikuti garis kepentingan geopolitik negara-negara besar yang memperebutkan pengaruh regional dan global. Ini tidak terlepas dari keberhasilan Indonesia di dalam negeri, utamanya di bidang ekonomi.

Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia melakukan langkah reformasi yang kompleks dan sulit, seperti mencabut sebagian besar subsidi minyak, membangun infrastruktur ekonomi hingga ke wilayah timur Indonesia, menyederhanakan berbagai peraturan perundangan melalui omnibus law, mereformasi sektor kesehatan, mendorong proses pengolahan sumber mineral di Tanah Air, dan berbagai kebijakan lain yang tidak selalu populer, tetapi perlu. Hasilnya, dalam 10 tahun terakhir perekonomian tumbuh rata-rata pada kisaran 5%, dan pendapatan per kapita terus meningkat dari US$ 1.222 pada 2004 menjadi US$ 4.580 pada 2022.

Hal yang sering dilupakan adalah sejak 2020, semua upaya untuk menjaga dan mendorong pertumbuhan ekonomi ini harus dibarengi dengan upaya mengatasi pandemi Covid-19 dan menyikapi proses deglobalisasi, sebuah kondisi yang tidak pernah dihadapi pemerintahan sebelumnya.

Ke depan, Indonesia tentu dapat menempatkan diri lebih baik lagi dalam peta perdagangan dunia, termasuk melalui forum regional, seperti APEC. Hal yang menarik untuk dicatat dari rangkaian pertemuan di San Francisco adalah bahwa di sela-sela pertemuan APEC terjadi kemunduran dari prakarsa Indo-Pacific Economic Framework for Prosperity atau IPEF yang diluncurkan oleh Presiden Joe Biden pada Mei 2022.

IPEF dimaksudkan untuk mendorong lebih erat kerja sama ekonomi di antara negara peserta melalui empat pilar utama, yakni (1) perdagangan; (2) mata rantai; (3) energi yang bersih, dekarbonisasi, dan infrastruktur; dan (4) perpajakan dan antikorupsi. Semula, Pemerintah Amerika Serikat berharap dapat menyimpulkan perundingan pilar perdagangan IPEF di sela pertemuan APEC di San Francisco.

Namun, karena tekanan kuat dari sejumlah anggota Kongres menjelang pemilihan umum tahun depan, rencana untuk menyepakati perjanjian IPEF pada pilar perdagangan ini tiba-tiba dibatalkan. Sejauh ini, ada 13 negara mitra Amerika Serikat yang bergabung dalam IPEF, yakni Australia, Fiji, India, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru dan tujuh negara ASEAN, yaitu Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Dalam konteks global positioning Indonesia dan untuk memetik manfaat maksimal dari perjanjian perdagangan, mungkin ada baiknya Indonesia memberi perhatian utama pada implementasi efektif dari Regional Comprehensive Economic Partnership atau RCEP daripada IPEF yang terbukti “rawan” terhadap perkembangan politik domestik Amerika Serikat. IPEF dirancang tidak untuk meningkatkan akses pasar di antara pesertanya, tetapi lebih sebagai upaya “mengekspor” kebijakan-kebijakan Amerika Serikat ke mitra terdekatnya sebagai bagian dari containment policy menghadapi bangkitnya ekonomi RRT.

Sebaliknya, RCEP yang digagas oleh Indonesia pada 2012 menawarkan peningkatan dan fasilitasi akses pasar yang dapat memperkuat dan memperdalam mata rantai pasokan di antara 15 negara anggotanya, yakni Australia, Jepang, Korea Selatan, RRT, Selandia Baru, dan 10 negara anggota ASEAN.

Di antara ekonomi APEC, hanya negara-negara di Pantai Barat Pasifik yang tidak menjadi anggota RCEP, yakni Amerika Serikat, Cile, Kanada, Meksiko, dan Peru. Sebaliknya, di antara anggota RCEP, hanya Kamboja, Laos, dan Myanmar, yang bukan anggota APEC. Apabila RCEP dibandingkan dengan Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership atau CPTPP yang beranggotakan 11 negara dengan tujuh di antaranya adalah ekonomi APEC, maka signifikansi RCEP menjadi penting dalam memasuki “abad Asia.”

APEC, CPTPP, dan RCEP tentu dapat hidup secara berdampingan, tetapi hanya RCEP yang menawarkan akses pasar dan relatif bebas dari persaingan pengaruh negara-negara besar di kawasan. Seperti diungkapkan oleh Professor Peter Petri dan Professor Michael Plummer dalam jurnal yang diterbitkan oleh Brookings Institution,“Dampak dari RCEP cukup menakjubkan meskipun perjanjian ini tidak sekuat CPTPP. RCEP memperkuat mata rantai suplai di kawasan, tetapi mengelola dengan baik kepekaan politik (di antara negara anggotanya).”[beritasatu.com]

*) Mantan Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan