26 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Di Tempat Ini Perpustakaan dan Rumah Guru Jadi Satu

BatasNegeri – Gedung Sekolah Dasar (SD) Negeri 05 Suruh Tembawang bercat hijau nampak sepi. Maklum, ini hari Minggu. Namun ada satu orang yang ada di perpustakaan.

Melongok ke bagian dalam perpustakaan, ada kasur dan perabotan rumah tangga di dalam perpustakaan sekolah, berjejer dengan rak-rak buku untuk murid SD. Seorang anak kecil usia empat tahun tertidur di atas kasur yang digelar. Di dekatnya ada perempuan dewasa.

Pendidikan di Tapal Batas dan Kekhawatiran saat Menatap MalaysiaI
Ibu Guru Siti dan anaknya yang tinggal di perpustakaan SD

Perempuan ini adalah guru yang mengajar di SD 05 Suruh Tembawang. “Saya Siti Sunarsih,” kata perempuan itu saat ditemui detikcom di wilayah perbatasan Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat ini, pada Minggu (16/7/2017).

Ibu dua anak berusia 30 tahun ini adalah wali kelas 3 SD. Siti sudah mengajar sejak 2006 sebagai guru honorer yang dibayar memakai dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dari tahun 2015 dia menjadi guru honorer dengan Surat Keterangan (SK) Bupati Sanggau. Jadi sudah 11 tahun dia menjadi guru honorer.

Tak ada rumah dinas yang mencukupi baginya untuk tinggal. Perpustakaan menjadi pilihan tempat tinggal bagi dia dan suaminya yang bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Pendidikan Kabupaten Sanggau.

Perpustakaan SD Negeri 05 Suruh Tembawang

“Di sini perlu ada rumah dinas. Ada sembilan guru di SD, rumah dinasnya cuma satu, ditempati dua guru. Ada satu guru lagi yang menempati mes Pemda,” kata Siti yang mengaku belum mendapat tunjangan khusus guru perbatasan 2017 ini.

Terlihat di seberang perpustakaan, ada rumah kecil yang kokoh namun tak cerah. Itu adalah satu-satunya rumah dinas untuk guru yang ditempati dua orang.

Pendidikan di Tapal Batas dan Kekhawatiran saat Menatap Malaysia
SD Negeri 05 Suruh Tembawang

SDN 05 Suruh Tembawang punya total 74 siswa. Sembilan guru yang mengajar di sini terdiri dari enam PNS, dua orang guru honorer Kabupaten, dan seorang guru honorer BOS.

Ada empat orang guru yang berasal dari luar Suruh Tembawang, dua di antaranya menempati rumah dinas dan satu lagi tinggal di mes Pemda. Guru yang rumahnya jauh ini pulang ke rumah masing-masing sepekan sekali, yakni pada hari Sabtu, hari Minggu balik lagi ke Suruh Tembawang.

Wahab, Kepala Dusun Gita Jaya, desa yang hanya bisa ditempuh lewat jalan tikus dan jalan swadaya masyarakat selama dua jam bermotor dari sini, juga mengatakan kondisi sarana pendidikan di kampungnya mirip-mirip saja, bahkan lebih parah ketimbang di pusat desa ini.

“Kata Pak Kades, mes guru di SD Negeri Pool tempat kami itu seperti kandang babi. Dia ngomong di depan Bupati. Tapi ya mes itu ditempati, kalau musim hujan dipindah-pindahin buku, kalau agak kering sedikit dihamparkan tempat tidur,” kata dia menceritakan kehidupan guru yang tinggal di kampungnya.

Ada pula di SD-SD wilayah Dusun Pool dan Sekajang, dusun yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki selama empat jam melewati jalan tikus dari pusat desa Suruh Tembawang, sama sekali tak ada mes guru. Para guru di sana biasa menginap di gedung SD atau di bagian perpustakaannya.

Guru Perbatasan Bandingkan Kondisi di Sini dan di Malaysia

Di pojok Jalan Paralel Perbatasan yang belum jadi ini, masalah akses jalan masih menjadi kendala utama. Selain itu, masalah konektivitas telekomunikasi juga dihadapi warga. Jangankan mengakses informasi dari internet, bahkan untuk menelpon saja warga harus pergi ke bukit, barulah ada sinyal Telkomsel.

Listrik juga tak menyala 24 jam kecuali untuk hari Minggu saat warga yang mayoritas beragama Nasrani di sini menunaikan ibadah. Di hari biasa, listrik hanya menyala dari petang hari sampai pagi hari. Dengan kondisi seperti ini, lalu bagaimana dengan pengajaran Teknologi dan Informasi untuk anak-anak sekolah?

“Waduh, di sini masih jauh (dari kondisi ideal pengajaran informasi dan teknologi),” tanggap guru kelas 6 SDN 05 Suruh Tembawang, Djumadi, kepada detikcom.

Pendidikan di Tapal Batas dan Kekhawatiran saat Menatap Malaysia
Guru SDN 05 Suruh Tembawang

Tak ada pengajaran komputer di SD. Djumadi mengatakan bangunan sekolahnya memang tak ada masalah. Gedung sekolah dibangun tahun 2012 dan relatif masih kokoh sampai sekarang. Hanya saja perlengkapan di dalamnya masih kurang. Untuk kursi 74 murid, yang layak pakai cuma sekitar 20-an kursi. Pihak sekolah terpaksa melengkapi kekurangan dengan meminjam kursi plastik milik pemerintahan Desa. Tak ada pula alat-alat olahraga untuk murid. Bahkan untuk tiang bendera Merah Putih saja, mereka menggunakan batang kayu karena belum dibangun tiang bendera permanen.

Yang membuat Djumadi merasa bersyukur, sekolah ini gratis total untuk semua murid. Bila ujian setiap tahunnya, para murid pergi ke pusat Kecamatan Entikong karena pelaksanaannya digelar di sana. Mereka bakal menempuh perjalanan via Sungai Sekayam menggunakan perahu bermotor, ongkosnya Rp 1,5 juta sekali berangkat, kalau pulang-pergi maka Rp 3 juta.

“Itu semua dibebankan ke Biaya Operasional Sekolah (BOS),” kata Djumadi.

Namun demikian, dia ingin pemerintah lebih memperhatikan pendidikan di kawasan tapal batas ini. Soalnya di seberang sana, yakni di seberang kampung Gun Tembawang dan Gun Jemak, suasana sudah berbeda. Di sana adalah Kampung Gun Sepit milik Malaysia.

Pendidikan di Tapal Batas dan Kekhawatiran saat Menatap MalaysiaFoto:
SD Negeri 05 Suruh Tembawang

Menatap ke arah Malaysia, termasuk menatap kondisi pendidikannya, membuat Djumadi khawatir terhadap masa depan generasi muda yang kini bersekolah dengan sarana seadanya di wilayah Indonesia.

“Makanya kita merasa kasihan merasakan pendidikan untuk generasi muda kita di daerah pedalaman. Kan jauh ketinggalan dari negara seberang, Malaysia,” kata Djumadi, khawatir.

“Di daerah Malaysia, jalannya sudah hitam (aspal mulus). Mobil bisa masuk sampai pelosok. Anak-anak SD saja bisa internetan,” tuturnya.

Gun Tembawang dan Gun Jemak adalah dusun paling terdepan dari Desa Suruh Tembawang ini. Jaraknya delapan jam perjalanan dari pusat Desa Suruh Tembawang. Delapan jam perjalanan itu bukannya naik sepeda motor, tapi berjalan kaki. Lebih enak lewat Malaysia sebenarnya bila mau ke Gun Tembawang Indonesia. Bila lewat PLBN Entikong, hanya butuh tiga jam perjalanan lewat Malaysia termasuk berjalan kaki sekitar sejam dari Gun Sepit Malaysia ke Gun Tembawang Indonesia.

Sungai Sekayam di Suruh Tembawang, jadi transportasi menuju Entikong, apalagi bila jalan Paralel Perbatasan sedang rusak oleh air hujan

Sungai Sekayam di Suruh Tembawang, jadi transportasi menuju Entikong, apalagi bila jalan Paralel Perbatasan sedang rusak oleh air hujan. (Danu Damarjati/detikcom)

Bupati Sanggau Paolus Hadi, ditemui detikcom terpisah, menyampaikan tinjauannya soal masalah pendidikan di wilayah-wilayah pelosok perbatasan. Wilayah-wilayah terdepan itu kadang menghadapi masalah jumlah guru. Bilapun ditambah guru dari luar pelosok, maka kadang-kadang guru itu juga tak terlalu lama bertahan di pedalaman. Beratnya kondisi yang dihadapi bikin mereka tidak betah.

“Guru-guru yang dari luar banyak yang nggak tahan lama, kecuali guru yang generasi lama,” kata Paolus.

Maka untuk menyiasatinya, anak-anak perbatasan yang sudah berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi bakal dijadikan guru di wilayah perbatasan itu sendiri. Putra daerah akan mengabdi untuk kampung halamannya. Mereka-mereka ini dinilai bisa lebih beradaptasi dengan wilayah perbatasan ketimbang harus mendatangkan guru dari wilayah yang lebih ‘kota’.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sanggau disisihkan untuk menggaji putra daerah perbatasan yang menjadi sarjana dan mau menjadi guru di kampung halamannya. Para guru itu direkrut sebagai tenaga kontrak.

“Anak-anak perbatasan yang sudah lulus pendidikan, kami jadikan guru kontrak,” kata Paolus.[*]

detik.com