27 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

KNTI Minta Kepastian Perlindungan Terhadap Nelayan Yang Ditangkap

BatasNegeri – Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak Menteri Luar Negeri beserta jajarannya memastikan perlindungan kepada nelayan warga negara Indonesia di luar negeri. Desakan ini terkait dengan ketidakjelasan situasi dan keberadaan enam nelayan tradisional yang terdiri dari satu nakhoda M. Fahrol Razi (20 tahun) dan lima nelayan ABK yang telah ditangkap Agensi Penguatan Perairan Malaysia (APPM) sejak Januari 2018.

Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata mengatakan, pihakya telah mengirimkan surat desakan percepatan pembebasan nelayan tradisional Indonesia yang diatahan Malaysia kepada Presiden dan juga Menteri Luar Negeri.

“Sayangnya hingga saat ini belum juga ada respons,” kata Marthin, Rabu (6/6).

Dia menegaskan, perlindungan warga negara di luar negeri merupakan kewajiban pemerintah yang ditegaskan UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri. “Selain melakukan perlindungan, pemerintah juga berkewajiban memberikan bantuan kepada warga negara Indonesia yang sedang memiliki masalah di luar negeri,” tegas Marthin.

Ditegaskan dalam Pasal 21 UU No. 37/1999, apabila Warga Negara terancam bahaya nyata, perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara. Selanjutnya secara tegas Pasal 42 UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan memandatkan pemerintah untuk memberikan bantuan hukum dan perlindungan bagi nelayan yang mengalami permasalahan penangkapan ikan di wilayah negara lain.

“Di sisi lain, kedua negara yaitu Indonesia dan Malaysia telah tunduk kepada ketentuan hukum internasional yang melindungi hak nelayan tradisional untuk menangkap ikan di perairan lintas batas,” papar Marthin.

Berdasarkan UNCLOS 1982, setiap nelayan tradisional memiliki hak untuk menangkap ikan yang melintasi batas antar negara yang berdampingan. Selain itu, telah ada Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Indonesia dan Malaysia terkait kegiatan nelayan tradisional yang melintasi batas kedua negara. MoU tersebut ditandatangani oleh perwakilan kedua negara pada 27 Januari 2012 yang mengikat kedua negara terutama dalam kegiatan perikanan melintas batas.

“Setiap negara jika terjadi pelintas batas oleh nelayan maka wajib untuk melakukan inspeksi dan permintaan untuk meninggalkan wilayah perairan tersebut,” ujar Marthin. Tindakan tersebut dikecualikan bagi pengguna alat tangkap ilegal seperti bahan peledak, alat penangkapan ikan listrik dan kimia.

Ketua DPD KNTI Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara Tajruddin Hasibuan mengatakan, dalam konteks tersebut, korban M. Fahrol Rozi dan kawan-kawan tidak menggunakan alat tangkap ilegal. “Untuk itu, kami mendesak kepada pemerintah khususnya kepada kementerian luar negeri beserta jajarannya untuk memastikan keberadaan M.Fahrol Razi dan kawan-kawan dengan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Indonesia dan konsulat jendral Indonesia di Malaysia,” tegas Tajruddin.

KNTI juga mendesak agar pemerintah mempercepat upaya pembebasan nelayan tradisional Indonesia yang telah ditahan sejak 18 Januari 2018 itu. Pemerintah, melalui kemenlu juga didesak untuk memastikan pemenuhan hak asasi khususnya hak ekonomi dari keluarga korban.

“Hingga saat ini keluarga korban tidak mendapatkan nafkah ekonomi setelah para nelayan tersebut ditangkap aparat penjaga perairan Malaysia,” tegas Tajruddin.

KNTI juga meminta pemerintah menyelesaikan masalah perbatasan wilayah laut antara Indonesia dengan Malaysia. “Terakhir, kami mendesak agar pemerintah memperkuat pengawasan perbatasan untuk memastikan perlindungan nelayan tradisional Indonesia di batas laut dengan Malaysia,” ujar Tajruddin.

Sebelumnya diberitakan, M. Fahrol Razi beralamat dari Babalan Gang Sampan, Kelurahan Berandan Timur Kec. Babalan Langkat, Provinsi Sumatera Utara sebagai nakhoda beserta lima anak buah kapal (ABK) diatas kapal bertanda nama “Juanda” ditangkap oleh Agensi Penguatan Perairan Malaysia. Penangkapan tersebut setelah melakukan aktivitas penangkapan ikan di Selat Melaka perbatasan antara Indonesia-Malaysia.

Berdasarkan informasi yang simpangsiur diterima oleh keluarga korban, para nelayan tersebut teryata telah dikenakan hukum dan telah mengalami masa hukuman antara 4-6 bulan. Bahkan hingga detik rilis ini diluncurkan, mereka belum mendapatkan kejelasan dan belum kembali ke keluarga mereka masing-masing. Menurut keterangan keluarga korban mereka berada di tempat penampungan “Cam Zero” dan belum jelas keberadaannya.

Pengurus KNTI Daerah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara, sebelumnya telah mengirimkan surat No: 008K/KNTI-LKT-UT/012018 kepada Bapak Presiden Joko Widodo perihal Laporan Tertangkap Dan Minta Di Pulangkan Segera pada 19 Januari 2018. Surat tersebut memberikan laporan dari keluarga nelayan tradisional di perbatasan yang menjadi korban penangkapan aparat Malaysia dari 6 orang dalam.[*]

(villagerspost.com)