15 Desember 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Pangan di Perbatasan ini Masih Bersandar dari Negara Tetangga

BatasNegeri – Seorang perempuan paruh baya berjalan memasuki pemeriksaan bea cukai di Pos Lintas Batas Negara Entikong. Ia menjinjing satu tray telur dan membawa bungkusan. Di belakangnya ada anak perempuannya yang menenteng barang serupa. Mereka baru saja “ngaleng” dari negeri jiran, Serawak, Malaysia. Kepada saya, ia mengenalkan dirinya Mama Angga, sapaan karib bagi nama putranya.

Sehari-hari ia berjualan lontong sayur, kwetiau, nasi, dan beragam lauk di sebuah kios kecil berukuran 3×3 meter di terminal Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat. Letak terminal ini bersebelahan dengan kantor kecamatan. Tapi, Mama Angga seringkali hanya membuka kios setengah hari, sisa waktunya untuk “ngaleng” bersama sang anak.

“Saya ngaleng kalau diajak teman, sekali ngaleng bisa dapat Rp10-20 ribu. Anak saya juga ngaleng karena lagi nganggur,” ujarnya.

“Ngaleng” adalah sebutan populer masyarakat setempat untuk kegiatan membawakan belanjaan orang lain dari Serawak ke Entikong. WNI yang tinggal di wilayah perbatasan macam masyarakat Entikong dan Sekayam sudah lazim berbelanja di negeri Malaysia.

Pada 1970, untuk mempermudah kegiatan ekonomi dan transaksi di kawasan perbatasan, pemerintah kedua negara membuat Border Trade Agreement alias Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia. Isinya, masyarakat Indonesia di daerah perbatasan diizinkan berbelanja ke Malaysia maksimal 600 ringgit atau sekitar Rp2 juta per bulan per kepala.

Mereka dibebaskan bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Prosedurnya, mereka memiliki Kartu Identitas Lintas Barang (KILB) yang dirilis oleh kantor bea cukai setempat. Bagi yang tak punya kartu tersebut, kantor bea cukai mengizinkan mereka berbelanja asalkan untuk konsumsi pribadi.

Sayangnya, beberapa orang menyalahgunakan kemudahan akses tersebut. Mereka memperdagangkan kuota kartu tersebut dan menyerahkan barang belanjaannya kepada juragan. Beberapa orang seperti Mama Angga dan anak perempuannya termasuk salah satunya.

Mereka membantu barang yang lolos dari pemeriksaan bea cukai dengan cara membawa sedikit demi sedikit setiba di zona netral, daerah di antara batas terluar Indonesia dan Malaysia.

“Biasanya barang belanjaan dibongkar lalu dipecah, dibagi ke banyak orang (pengaleng),” ungkap Baginda Rahmad Siregar, Pelaksana Pemeriksa Bea Cukai Entikong kepada saya, pertengahan Juli lalu. Juragan biasanya memakai jasa 10 sampai 20-an warga pemilik KILB atau pengaleng. Di tangan juragan, setelahnya barang belanjaan dijual kembali kepada warga sekitar.

Praktik “ngaleng” terlihat lazim tetapi sulit diberantas karena selama syarat administrasinya lengkap, seorang warga bisa mengantongi kartu Pas Lintas Batas (PLB). Asalkan Anda sudah melampirkan KTP, kartu keluarga, akta kelahiran, dan surat rekomendasi dari pejabat setempat, petugas imigrasi wajib mengeluarkan kartu tersebut.

Pada satu kesempatan, di Kantor Imigrasi Entikong, saya melihat seorang pegawai imigrasi berusaha mencegah seorang ibu mendapatkan kartu tersebut, di tengah beberapa warga yang tengah mengantre.

“Bosnya saja yang suruh urus ke sini,” ujar si petugas. “PLB ini punya ibu, bukan bos ibu.”

Budi Sismono, Kepala Seksi Perbendaharaan Bea Cukai Entikong, berkata kepada saya bahwa pihaknya “memang tak bisa menampik karena tak semua orang punya modal untuk berbelanja.”

Data dari mereka menyebutkan jumlah masyarakat pemegang Kartu Identitas Lintas Barang per Juni 2018 mencapai 8.000-an orang, dengan pengguna aktif sekitar 5.000-an orang.

Jalur Tikus

Selain modus “ngaleng” dan memperjualbelikan KILB, masih ada beragam cara yang dipakai warga untuk menyelundupkan barang kebutuhan pokok dari Malaysia ke Indonesia. Salah satunya dengan menghindari pemeriksaan bea cukai, menempuh jalur-jalur tikus, atau melewati pos lintas batas tradisional yang mati.

Di Segumun, salah satunya. Untuk mencapai salah satu desa di Kabupaten Sanggau ini Anda harus melintasi separuh perjalanan berangkal tanah, becek saat hujan dan berdebu saat panas. Kanan-kiri jalan ditanami sawit. Kondisi ini berbeda dari jalan menuju Entikong yang seluruhnya beraspal.

Anda akan mendapati pos lintas batas tradisional, yang tentu tak semegah dan selengkap Pos Lintas Batas Negara Indonesia di Entikong. Pengawasannya minim, sehingga nyaris seperti pos yang mati suri. Ada banyak kecurigaan terhadap orang asing. Di sebuah persimpangan, ada sebuah kios tempat warga mengintai pendatang. Anda mudah dicegat dan ditanya macam-macam soal keperluan datang ke sana. Warga tak ingin aktivitas ilegalnya diketahui. Warga nyaris bebas membawa beragam barang belanjaan besar-besar dari Malaysia dengan sepeda motor.

“Ada puluhan jalur tikus yang memungkinkan motor melintas, bahkan di beberapa kabupaten ada akses jalan besar, cukup kendaraan roda empat angkut barang,” jelas Khaeruddin dari Pelayanan Operasional Karantina Pertanian Entikong, menambahkan bawang termasuk komoditas yang sering diselundupkan lewat jalur tikus.

“Barang Malaysia terutama produk pertanian tak boleh lewat dari Entikong dan Sekayam guna melindungi keanekaragaman hayati dan menjaga perekonomian kita, makanya dipilih jalur tikus lewat hutan,” kata Khaeruddin.

Selain dijual kembali buat bisnis seperti warung kelontong, barang-barang selundupan seringkali dicicil dan dikumpulkan dalam gudang-gudang. Nantinya, penadah menjemput dengan truk untuk kembali diselundupkan ke Pontianak.

“Memang kebanyakan barang yang dibawa bernilai strategis, ya seperti bawang itu,” ujarnya.

Potret Pangan di Perbatasan

Dua buah ruko besar, terpaut 100-an meter, beratap baja ringan dan pepak dengan barang-barang kebutuhan pokok, berdiri di daerah Tebedu, Malaysia, hanya 2 kilometer dari Pos Lintas Batas Negara Indonesia di Entikong. Kedua ruko ini jadi lokasi belanja favorit warga Indonesia yang tinggal di perbatasan Kalimantan Barat, biasanya saat hari-hari sibuk dari Senin hingga Jumat, dengan mata uang transaksi berupa rupiah.

Saya mencoba membandingkan harga barang pokok yang dibeli di Malaysia dan Indonesia. Takaran satu kilogram beras di Malaysia dengan merek “Brand Tulip” seharga Rp12 ribu; sementara merek beras Indonesia “Madu Tupai” bisa seharga Rp15 ribu untuk takaran yang sama. Gula Malaysia hanya dihargai Rp9.500/kg, sedangkan selisih dengan gula dari Indonesia sekitar Rp3.000.

“Tidak dipungkiri, bukan tidak menghargai produk sendiri, tapi produk Malaysia selain murah, dekat, juga lengkap dan bagus kualitasnya,” ujar seorang warga Entikong bernama K. Tino kepada saya di dekat kantor kecamatan.

Selisih harga itu bernilai bagi warga di wilayah perbatasan. Merujuk Badan Pusat Statistik per bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin di Kalimantan Barat mencapai 387,08 ribu jiwa, atau setara 7,77 persen dari total penduduknya. Mereka terkonsentrasi di wilayah perdesaan, menurut BPS.

Tino mengatakan peran negara mengakomodasi hasil-hasil kebun petani warga perbatasan masih minim. Ia mencontohkan, saat musim panen karet, harga jualnya di Indonesia hanya Rp6-7 ribu, sementara bila di Malaysia, harga di penadah bisa Rp25 ribu.

“Apa ada permainan tengkulak? Di sini kalau ditanya, gudang penuh dengan alasan banjir panen. Sementara setelah ada PLBN, kami susah jual ke Malaysia, harga hanya selisih dikit Rp500-1.000,” ujarnya.

Tino menggugat dengan pertanyaan retorik: “Kapan ya kami seperti Malaysia? Bisa dapat barang murah, tak peduli tinggal di kota atau pelosok desa.” Ia menyeruput kopi dingin yang biji kopinya ditanam dari kebun sendiri tapi gulanya dibeli di negeri jiran Malaysia.[*]

tirto.id