BatasNegeri – Presiden Joko Widodo berkunjung ke Malaysia dan bertemu Tun Dr Mahathir Mohamad 8-9 Agustus lalu. Salah satu agenda pembicaraan adalah membahas tentang pendidikan di daerah perbatasan, di samping agenda hubungan bilateral lainnya. Dan, begitu disebut kata perbatasan, di benak kita langsung tertuju pada daerah-daerah yang sangat jauh dari Jakarta.
Muncul nama-nama daerah yang mulai akrab di telinga kita seperti Entikong, Badau, dan Aruk di Kalimantan Barat, lalu Motaain, Motamassin, dan Wini di Nusa Tenggara Timur, serta di Skouw, Provinsi Papua. Nama daerah itu mulai akrab, ketika Presiden Joko Widodo memberikan perhatian khusus pada pembangunan pos lintas batas di perbatasan.
Kesan yang selama ini muncul di setiap kita membicarakan perbatasan cukup beragam. Ada yang menyebut, terlalu jauh dari Jakarta, sehingga perhatian kurang. Tetapi juga ada yang menyebut, meski pun tinggal di perbatasan yang jauh dari jangkauan, tetapi sebagian besar mengatakan, mereka tetap bangga menjadi warga negara Indonesia. Ada kesan prihatin, tetapi juga tersirat syukur.
Mengingat letaknya yang sangat jauh dari pusat keramaian, maka dimaklumi jika daerah-daerah tersebut masih belum beruntung terutama menyangkut persediaan air bersih, infrastruktur jalan, sarana pendidikan, kesehatan, lingkungan yang belum tertata, di samping masih kurangnya sarana ekonomi lainnya.
Membahayakan
Meskipun mereka tetap bangga menjadi warga negara Republik Indonesia, tetapi fakta-fakta tentang kehidupan tradisional mereka tetap harus menjadi perhatian. Seandainya mereka ditanya dengan pendekatan hati ke hati, mungkin mereka akan mengungkapkan banyak keluhan. Tetapi, pada saat yang sama, mereka juga menyadari bahwa menjangkau tempat tinggalnya membutuhkan sumber daya yang besar.
Ketika penulis menyebut kondisi mereka membahayakan tentu dalam sudut pandang yang lebih luas, terutama menyangkut masa depan penduduk kawasan perbatasan. Tantangan berat yang belum tentu mereka sanggup untuk mengatasinya sendiri.
Pertama adalah tantangan terhadap minimnya fasilitas kesehatan lingkungan. Mereka hidup dengan seluruh keterbatasan yang dimiliki, misalnya tinggal dalam rumah-rumah yang sederhana, sedikit sekali fasilitas penerangan, fasilitas WC, air bersih, tempat tidur, dan sejenisnya. Risiko yang bakal ditanggung dari kondisi ini adalah tingkat kesehatan keluarga yang rendah. Sanitasi yang tidak bersih, secara langsung berpengaruh terhadap kesehatan fisik dan mental.
Kedua, tantangan lingkungan. Tantangan ini selain datang dari lingkungan rumah, juga lingkungan kawasan daerah hunian. Seberapa tinggi derajat keamanan dari sebuah kawasan hunian terkait dengan keberadaan hewan-hewan liar yang masih berbahaya, baik hewan besar, maupun virus yang berasal dari penyakit hewan. Jenis jenis hewan tertentu seperti ular, kelabang, kalajengking liar, yang menyebabkan manusia tergigit, tergores, terluka, terkontaminasi, juga tertular. Seperti di perbatasan Papua misalnya, hewan-hewan seperti ular berbisa, laba-laba, kalajengking, buaya adalah ancaman nyata. Sementara fasilitas kesehatan pendukung tidak memadai.
Ketiga, tantangan dari gelombang angin besar, juga banjir karena hujan dalam waktu yang lama mengakibatkan pohon ambruk. Berbeda dengan di perkotaan yang memiliki banyak toko penjual alat-alat pertanian, di perbatasan sangat sulit menemukan toko penjual kapak, gergaji, dan sejenisnya. Akibatnya mudah diduga, membutuhkan waktu lalu untuk membereskannya.
Keempat, kecelakaan karena senjata dan perkakas sendiri. Alat-alat berburu yang tidak ramah bisa menjadi alat pemicu kematian tidak sengaja. Mereka yang berburu sampai jauh meninggalkan tempat tinggalnya, risiko kematian sangat tinggi. Belum lagi terserang aneka satwa yang bisa mengakibatkan kelumpuhan, kesakitan luar biasa yang belum tentu bisa terselamatkan.
Tantangan terbesar kelima adalah pasokan sumber daya makanan. Hutan belum tentu mampu menyediakan bahan makan di sepanjang tahun. Mengandalkan pasokan makanan dari hutan adalah kemustahilan, sementara berbelanja kebutuhan yang berasal dari kota tentu berbiaya lebih mahal.
Bahaya Perbatasan
Di samping banyaknya ancaman terhadap keberadaan individu dan keluarga, perbatasan juga menyimpan ancaman riil terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pandangan penulis, ancaman di perbatasan sungguh skalanya bisa membesar manakala tidak mendapatkan perhatian sungguh-sungguh seperti misalnya;
Pertama, pembukaan jalur-jalur tikus oleh sindikat penyeludupan barang, termasuk narkotika dan obat-obatan. Ketika jalur resmi diperketat untuk memperkecil gerak perdagangan liar, jalur tikus memberikan alternatif keleluasaan. Pertanyaannya adalah, seberapa mampu patroli perbatasan melakukan pengamanan dalam satu kali duapuluh empat jam ? Sementara sindikat itu bergerak dalam jaringan yang luas dan tak kenal waktu.
Kedua, pergeseran batas tanah. Beberapa kali TNI yang berpatroli di perbatasan menemukan pergeseran patok. Tetapi, menyediakan patok untuk seluruh wilayah perbatasan pada sebuah negara yang memiliki ribuan pulau adalah tantangan tersendiri.
Ketiga, ketidakterjangkauan pelayanan kependudukan dan catatan sipil menyangkut tentang Kartu keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), paspor, atau pun buku nikah. Bagaimana pelayanan administrasi pernikahan, ketika di Jawa pun masih bermasalah. Seperti diketahui, di pedesaan Jawa, masih banyak ditemukan problem dalam pelayanan administrasi pernikahan. Belum lagi problem pengalihan status tanah, dan sebagainya.
Membangkitkan Kebanggaan
Solusi atas keterbatasan yang bersifat sarana fisik mulai digarap serius dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Adalah fakta, pos-pos perbatasan bukan hanya dipercantik, tetapi juga dibuat megah. Demikian juga infrastruktur lainnya. Pada 2018 lalu misalnya Kementerian PUPR telah menyelesaikan pembangunan 7 (tujuh) Pos Lintas Batas Negara (PLBN), dan pada tahun ini akan dibangun 4 PLBN Terpadu dari 11 PLBN yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan 11 Pos PLBN dengan dana dari APBN senilai Rp 1,7 Triliun.
Dengan dibangunnya PLBN di banyak sekali daerah perbatasan memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam melayani penduduk di kawasan itu. Pembangunan ini sekaligus juga untuk menjawab berbagai masukan dan kritik terhadap ketidakberimbangan, atau ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi antara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Di samping memberikan perhatian serius terhadap masalah keamanan dan pertahanan negara.
Kepedulian dan pencapaian tersebut sungguh membanggakan bukan hanya bagi penduduk di sekitar kawasan tersebut, tetapi semua warga negara. Dalam bahasa sederhananya adalah, kita bisa menampilkan diri dengan dengan postur yang lebih gagah.
Pada hemat penulis, yang mesti perlu dihadirkan lagi adalah sesuatu yang bisa menggugah dan menciptakan rasa bangga sebagai warga negara Indonesia di perbatasan. Apa yang penulis maksud sebagai rasa bangga itu ? Rasa bangga adalah salah satu potensi yang terdapat dalam jiwa manusia yakni rasa senang, lega, puas, yang muncul dari lubuk hati seseorang atas tercapainya atau memperoleh hasil yang sesuai dengan kebutuhan naluri, pikiran, dan hatinya.
Apa yang membuat sebagian besar manusia merasa bangga ? Salah satu yang bisa membuat orang bangga adalah merasa diperhatikan. Dampak dari perhatian itu bisa memunculkan rasa bahagia, senang, haru, dan bentuk-bentuk ekspresi positif lainnya. Kita berulangkali diperlihatkan oleh liputan-liputan televisi, bahwa mereka kaum papa yang merasa diperhatikan memperlihatkan ekspresi dengan haru, menangis, senang, dan bahagia.
Pertanyaannya adalah, apa yang kira-kira bisa membuat penduduk di perbatasan merasa bangga menjadi warga negara Indonesia ? Apakah terpenuhinya kebutuhan fisik seperti makan, rumah, dan pakaian ? Kebutuhan rasa aman dan keselamatan? Kebutuhan rasa sayang, bahagia ? Atau terpenuhinya kebutuhan penghargaan diri ? Atau rasa bangga yang muncul dari rasa nasionalisme yang tinggi. Karena pada kenyataan, sering kita menemukan tingginya nasionalisme seseorang yang melewati atau di atas kemiskinan yang dideritanya.
Kadangkala kebahagiaan seseorang itu bukan datang dari hal-hal yang besar. Bukan datang dari kepemilikan harta dan kekayaan. Tetapi juga bisa datang dari rasa diakui. Pengakuan! Apakah mereka yang tinggal di perbatasan itu merasa diakui sebagai warga negara ? Apa pembuktiannya ? Kepemilikan KK, KTP, mudahnya mengurus sesuatu yang menjadi haknya misalnya kepastian kepemilikan tanah dan sejenisnya. Dengan demikian, menumbuhkan nasionalisme mereka bukan karena masuk di ruang-ruang penataran, diminta menghafal Pancasila, atau Pembukaan UUD 45, tetapi muncul karena merasa diakui, dihargai, dan diperlakukan sangat baik sebagai warga negara yang jauh dari Ibukota. Ketika merasa diperlakukan adil saja, seseorang bisa tumbuh rasa nasionalismenya. Inilah agenda penting yang mesti disadari oleh semua warga bangsa. (suaramerdeka)
More Stories
Satgas Yonif 741/GN Amankan Granat Aktif dari Warga Perbatasan RI-Timor Leste
Personel Yonkav 12/BC Bantu Masyarakat Cor Jalan Di Perbatasan RI-Malaysia
TNI-POLRI Kerjasama Susun Kajian Pertahanan Perbatasan Negara dalam Mendukung IKN