27 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

ilustrasi-cnnindonesia

Duka Papua dan Sidang Umum PBB

BatasNegeri – Dalam sebulan terakhir, telah terjadi kerusuhan di beberapa daerah di Papua. Bermula dari Manokwari (19/8/2019) berlanjut ke Sorong dan Fakfak (20/8/2019). Selanjutnya kerusuhan berpindah ke Timika (21/8/2019), Deiyai (28/8/2019) dan pecah di Jayapura (29/8/2019). Sempat reda sekitar tiga pekan, lalu muncul kerusuhan baru yang lebih parah dengan korban jiwa mencapai 30 orang di Wamena (23/9/2019).

Tak terkira kerugian yang ditimbulkannya. Kerusakan fasilitas umum, aset Pemerintah, rumah warga, harta milik pribadi, dan lebih dari itu semua adalah korban jiwa.

Pemicunya adalah dugaan insiden rasis terhadap mahasiswa asal Papua di Surabaya. Dan yang patut membuat kita prihatin, insiden rasis kemudian dikemas (baca: framing) sedemikian rupa menjadi kegawatan yang luar biasa. Untuk menciptakan kegawatan yang diinginkan, ditemukan banyak informasi berbau hoaks yang sengaja disebar.

Pemerintah menduga kuat ada aktor intelektual di balik berbagai kerusuhan itu. Bahkan insiden dugaan rasis di Surabaya itu juga tak lepas dari kemungkinan by design. Dua organisasi pro Papua merdeka telah disebut sebagai dalang, yakni KNPB dan ULMWP.

Ada target yang mereka kejar, yakni untuk mencuri perhatian Sidang Umum PBB yang saat ini tengah berlangsung di New York. Kedua sayap politik Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu (KNPB dan ULMWP) memang dikenal lihai memanfaatkan situasi. KNPB beroperasi di Tanah Papua sedangkan ULMWP di luar negeri. Keduanya bersinergi mengemas isu untuk “dijual” ke berbagai fora regional maupun internasional.

Kalau Papua aman dan damai, apa yang bisa mereka “jual”? Harus bikin aksi, supaya muncul reaksi. Aksi yang laik jual adalah aksi anarkis. Soal imbasnya sampai kepada korban jiwa, memang itulah kehendak sang aktor demi target agar isu Papua bisa masuk Sidang Umum PBB.

Tuntutan referendum tak cukup hanya digaungkan secara verbal dan menjadi trend topic di akun-akun media sosial mereka. Harus didukung kegawatan situasi terkait pelanggaran HAM terhadap orang asli Papua. Korban jiwa akibat kerusuhan itulah yang mereka kemas sebagai pelanggaran HAM berat di Tanah Papua.

Akan berhasilkah skenario mereka? Wallahualam!

Sebagai bangsa, tidak cukup kalau kita hanya meningkatkan kewaspadaan. Tapi harus ambil peran nyata menghadapi kelompok-kelompok yang menginginkan NKRI pecah. Semisal menjadi relawan yang ikut memproduksi konten positif untuk melawan hoaks. Atau setidak-tidaknya lebih bijak menggunakan media sosial.[*]

Gerry Setiawan