oleh: Ade Miranti Karunia, Muhammad Idris
Presiden Joko Widodo bertolak ke Natuna, Kepulauan Riau dan bertemu dengan para nelayaan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu Natuna.
Di hadapan para nelayan, Jokowi mengatakan bahwa Natuna adalah teritorial NKRI dan tidak perlu ada pihak yang meragukannya.
“Hari ini saya ingin memastikan dan memberitahukan bahwa Kepulauan Natuna adalah teritorial kita yang masuk dalam NKRI,” kata Jokowi dilansir dari Antaranews.com.
Pernyataan tersebut dipicu dengan masuknya kapal penangkap ikan dan coast guard China di perairan Natuna pada 31 Desember 2019 lalu.
Kapal nelayan asing tersebut diduga melakukan pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan melakukan praktik illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing di wilayan tertitori Indonesia.
Luas lautan capai 99 persen
Kepulauan Natuna sempat masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malayasia.
Namun pada abad ke-19, Kepulauan Natuna masuk ke penguasaan Kedaulatan Riau dan masuk wilayah Kesultanan Riau.
Saat Indonesia merdeka, delegasi dari Riau menyerahkan kedaulatan pada Republik Indonesia yang berpusat di Pulau Jawa.
Kepulauan Natuna berada di Provinsi Kepulauan Riau dan berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.
Pemerintah Indonesia telah resmi mendaftarkan Kepulauan Natuna sebagai wilayah kedaulatan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 18 Mei 1965.
Dilansir dari pemberitaan Kompas.com pada 4 Januari 2020, pada tahun 2011 potensi sumber daya ikan laut Natuna mencapai 504.212,85 ton per tahun atau sekitar 50 persen dari potensi Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP RI) 711 di Laut Natuna.
Pada tahun 2014, pemanfaatan produksi perikanan tangkap Natuna mencapai 233.622 ton atau 46 persen dari total potensi lestari sumber daya ikan.
Potensi ikan di Natuna atara lain ikan jenis kerapu, tongkol krai, teri, tenggiri, ekor kuning, selar, kembung, udang putih, udang windu, kepiting, rajungan, cumi-cumi, dan sotong.
Sementara penyebaran penangkapan ikan di Natuna adalah di skeitar Pulau Bunguran, Natuna Besar, Pesisir Pulau Natuna, Midai, Pulau Serasan, Tambelan, dan Laut China Selatan.
Untuk penangkapan ikan menggunakan kapal besar biasanya berada di luar lokasi 4 mil laut yang berada di wilayah laut Natuna, China Selatan.
Sumber daya perikanan yang kaya di Laut Natuna Utara membuat kapal China kembali masuk ke Laut Natuna Utara.
Padahal 5 tahun ke belakang, Pemerintah Indonesia gencar menenggelamkan kapal ilegal fishing.
Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim. Baca juga: Tinjau Kapal Perang di Natuna, Jokowi Tegaskan Hak Berdaulat Indonesia di ZEE
Dilansir dari pemberitaan Kompas.com, 7 Januari 2020, Abdul Halim mengatakan Wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia (WPNRI) 711 di Laut Natuna bagian utara adalah wilayah yang kaya dengan ikan tuna, cakalang, dan tongkol.
Sementara itu, stok ikan tuna, cakalang, dan tongkol di perairan Vietnam atau China sudah menipis.
Hal tersebut mmembuat nelayan di Vietnam dan Natuna mencari ikan di Laut Natuna.
“Kenapa mereka lari ke Natuna? Alasan utamanya adalah potensi ikan serupa di perairan mereka sudah mulai menipis sehingga mereka (Vietnam) memberdayagunakan 2.134 kapal yang dimiliki di atas 50 gross ton lari ke perairan kita,” kata dia.
Halim menjelaskan khusus untuk China, alasannya bukan hanya mengincar sumber daya perikanan namun juga menginncar Laut Natuna Utara karena kaya akan sumber daya minyak dan gas.
Cadangan gas raksasa
Natuna menyimpan cadangan gas raksasa di bawah lautnya yang diklaim sebagai salah satu yang terbesar di dunia.
Dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ( ESDM), Indonesia memiliki cadangan gas bumi mencapai 144,06 triliun kaki kubik (TCF), terdiri dari cadangan terbukti (P1) sebesar 101,22 TSCF dan cadangan potensial (P2) 42,84 TSCF.
Cadangan gas terbesar di Indonesia berada di Natuna, tepatnya berada di Blok East Natuna 49,87 TCF. Selanjutnya disusul Blok Masela di Maluku 16,73 TCF, dan Blok Indonesia Deepwater Development (IDD) di Selat Makassar 2,66 TCF.
Dilansir dari pemberitaan Kompas.com pada 8 Januari 2020, salah satu lapangan gas produksi yang terbesar ada di Corridor di West Natuna yang dikelola ConocoPhillip.
Komposisi saham di blok ini yaitu Conocophillips 54 persen, Pertamina 10 persen, dan Repsol 36 persen.
Hampir sebagian besar gas di Natuna disalurkan ke Singapura melalui pipa sepanjang 656 kilometer ke Sakra, Singapura.
Gas pasokan untuk Natuna didapat dari Lapangan Suban Blok Corrdidor.
Gas alam tersebut kemudian digunakan untuk pembangkit listrik, industri, dan rumah tangga lewat jaringan gas perkotaan dengan produksi harian di lapangan mencapai 325 juta kaki kubik.
“Jadi gas kita kan banyak di Sumatera, suplai ke Singapura akan habis di 2023. Kita akan tarik ke dalam negeri,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif di Ruang Rapat Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (27/11/2019). [*]
kompas.com
More Stories
Pembangunan PLBN Menjadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru
Tantangan Geopolitik Indonesia bagi Presiden Terpilih Prabowo Subianto
Daerah Perbatasan sebagai Beranda Rumah Bangsa, Cegah Ketimpangan dan Bangunkan Potensinya!