BatasNegeri – Menko Polhukam Mahfud MD mengemukakan ada dua tantangan utama Pilkads tanggal 9 Desember 2020 yaitu penyebaran virus Corona atau Covid 19 dengan maraknya berita bohong atau hoaks. Untuk Covid 19, sudah ditetapkan untuk menggunakan protokol kesehatan yang ketat. Sementara penyebaran hoaks berupa penegakan hukum terhadap pelaku.
“Selain pandemi Covid 19, tantangan lain dalam penyelenggaraan pilkada serentak adalah munculnya konten-konten berita yang mengandung hoaks, fitnah Sara (suku, ras dan agama, Red) dan ujaran kebencian,” kata Mahfud dalam peluncuran Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada 2020 di kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (23/6/2020).
Ia menjelaskan pelaksanaan Pilkada ditengah pandemi Covid 19 harus diambil karena tidak ada yang bisa memprediksi kapan wabah ini berakhir. Tidak ada satupun ahli dalam negeri maup luar negeri yang bisa secara pasti menyebut kapan Covid berakhir.
“Dulu kita pernah mengandai-andai atau memproyeksi kira-kira Desember lah selesai dan ditunda sampai Desember (Pilkada, red). Kalau tidak tahun berikutnya. Tapi juga enggak ada yang tahu tahun berikutnya kapan. Apa betul habis Covid ini. Oleh sebab itu, lalu keputusan politik di DPR, pemerintah dan KPU tetap diadakan saja,” jelas Mahfud.
Terkait hoaks, Mahfud yang merupakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mengemukakan masalah itu menjadi tugas aparat penegakan hukum. Namun aparat hukum diminta tidak sensitif atau gampang-gampang tangkap dan proses.
“Beberapa hari lalu bicara dengan Bapak Presiden, bicara tentang hal-hal ini. Memang memprihatinkan tapi pesan Pak Presiden jangan aparat itu, jangan terlalu sensi. Ada apa-apa ditangkap, ada apa-apa diadili. Orang mau webinar dilarang. Gak usah, biarin aja kata presiden. Wong kita seminar tak seminar tetap difitnah terus kok. Mau seminar mau enggak, diawasi saja,” tutur Mahfud.
Dia menegaskan penindakan bisa dilakukan jika ada perbuatan kriminalnya. Jika hanya menyebar dan belum ada tindak kriminalnya maka bisa diawasi saja.
Kalau melanggar hukum yang luar biasa itu kriminil. Di mata umum dianggap kriminil, baru ditindak. Kalau cuma bikin hoaks ringan, orang bergurau gitu, ya biarin saja lah,” ujar Mahfud.
Mahfud meminta penegak hukum agar menjalankan penegakan hukum bersifat restoratif justice. Restoratif justice adalah tindakan untuk melanggar hukum guna menegakan hukum. Tindakan melanggar hak asasi manusia untuk menegakan hak asasi manusia. Restoratif justice dalam bahasa umum namanya apirmatif policy.
“Misal sekolah ke UI, nilanya harus sekain bisa masuk, yang bisa masuk hanya anak-anak SMA favorit, orang Papua tidak bisa masuk, orang daerah tertentu ndak bisa masuk. Maka dibuat afirmatif policy. Itu dibuat aturan bahwa orang boleh masuk kalau dari Papua meskipun nilanya sekian dimasukan program anak-anak papua. Enggak ausah ikut tes kamu masuk ke UI, UGM. Itu namanya afirmatif policy,” jelas Mahfud.
Dia menegaskan negara ini punya restoratif justice, dimana hukum sebagai alat membangun harmoni. Sesuatu pelanggaran yang tidak terlalu meresahkan masyarakat diselesaikam baik-baik.
“Saya bicara dalam konteks hoaks, seminar, orang kampanye, bicara diluruskan tetapi pakai pendekatan yang lebih manusiawi. Jangan terlalu sensi,” tutup Mahfud. (beritasatu)
More Stories
Kemenko Polhukam Gelar Rakor Penguatan Perbatasan Laut
Gelar Indonesia-Pacific Parliamentary Partnership, DPR Perkuat Posisi Diplomatik Global Indonesia
Sindikat Australia Rekrut Remaja dari Indonesia Jadi PSK, Seperti Apa Modusnya?