27 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Diana da Costa, Gadis Blasteran Timor Leste-Atambua yang Mengabdi di Pedalaman Papua

BatasNegeri – Diana da Costa (23 tahun) mulai mangabdikan hidupnya di pedalaman Kabupaten Mappi Papua sejak November 2018. Kali pertama menginjakkan kaki di pedalaman Mappi Papua, ia menangis karena anak-anak di kampung itu tak bisa menyebutkan identitas negaranya sendiri.

Belum lagi menghadapi berbagai keterbatasan di tempat Diana mengajar, seperti minimnya ruang kelas dan kurangnya tenaga guru.

Diana menggantungkan harapannya kepada Pemerintah RI melalui Menteri Pendidikan Nadiem, agar memberikan perhatian lebih kepada anak-anak Papua agar mereka tidak tertinggal dan semakin mencintai Indonesia.

Berikut isi surat Diana kepada Menteri Pendidikan Nadiem Makarim sebagaimana dirilis jakartamedia.co.id. Berikut isi suratnya.

Nama lengkap saya Diana Cristiana Da Costa Ati, S.pd, Guru Penggerak daerah terpencil SDI Kaibusene Distrik Haju, Kabupaten Mappi, Provinsi Papua.

Saya asli orang Timor Leste bercampur Atambua , tapi saya cinta Merah Putih. Ayah saya kembali memilih Timor leste, tetapi saya dan ibu memilih Indonesia pada saat jejak pendapat. Dan terpaksa Saya dan Ibu harus berpisah dengan Ayah sampai sekarang. Kami hanya bertemu di pintu batas.

Saya seorang guru muda yang berumur 23 tahun, lulusan Universitas Nusa Cendana 2017, jurusan Pancasila dan Kewarganegaraan.

Bagi saya, ini merupakan suatu pengalaman yang luar biasa ketika harus berhadapan dengan kehidupan yang jauh berbeda dari kehidupan di kota sebelumnya.

“Tanah kami tanah kaya,kami berenang di atas minyak,tidur di atas emas…..”

Secuil lirik dari Edo Kondologit di atas membuat saya yakin anak Papua itu bisa. Dulunya ( Nopember 2018 ), anak-anak SDI Kaibusene sama sekali tidak bisa menyebutkan identitas negara Indonesia. Mereka menyebutkan warna bendera Indonesia adalah Bintang Kejora. Indonesia Raya pun tak bisa dinyanyikan oleh murid kelas 6, paling fatal lagi Pancasila tidak bisa dihafalkan sama sekali.

Saya menangis pertama kalinya mau di bahwa kemana nasib anak Negeri ini? Mau salahkan siapa?

Kondisi sekolah yang terbatas dgn segala fasilitasnya ruangan cuma 3 kelas, sehingga kegiatan mengajar harus bercampur, atau karena kurangnya tenaga pendidik? atau karena malasnya pendidik turun tinggal di daerah sejuta rawa dan ikan betik ini?

Yang pasti bukan salah anak didik saya. Hal kecil tapi sangat miris ketika di dengar.

Beda dengan sekarang, semenjak bulan Februari 2019, anak-anak didik saya mengalami banyak perubahan. Mereka punya mimpi yang sangat besar.

Mereka berkata: “Ibu sa su cape ka begini terus saya mau naik pesawat kayak bapak2 dorang di Jakarta sana, naik mobil mewah, sa tra pernah naik mobil Ibu guru, sa mau tidur di atas spon, Sa mau minum air bersih, Sa mau jadi orang hebat ibu…”

Dengan niat mengubah nasib mereka giat belajar walau kadang dengan segala keterbatasan buku mereka tetap harus mau latihan membaca dan menulis. Mereka mau lakukan semuanya sebab mereka mulai paham pendidikan itu merupakan pedoman menuju kehidupan yang layak.

Mereka tidak lagi pergi ke hutan, kami guru para bersikeras berkata kepada orangtua murid, “cukup mace dan pace saja ke hutan anak dorang dengan kita belajar supaya besok besok mereka bisa beli berasa kasih pace dorang makan ka”

Sekarang semua lagu nasional mereka sudah bisa menyanyikan, bahkan bahasa Inggris ajaran dasar pun sudah bisa mereka sebutkan dan pahami terjemahannya.

Saya percaya ketika seorang guru bekerja dengan niat baik, leluhur dan nenek moyang orang Papua merestui, bahkan Tuhan melihat semua ketulusan kita maka diberkati semua usaha kita, walau kadang banyak yang berkata, “kalian bertahan?”
Kalau bukan kita siapa lagi?
Saya Papua, Saya Indonesia

Anak didik saya bermimpi suatu saat nanti seiring matahari terbit di ufuk timur ini kami yg kulitnya hitam dan rambutnya keriting bisa menjadi orang No 1.

Aamiin Nak….semuanya bisa. Yang rajin belajar dan berdoa…”
Mimpi itu Luka, tapi luka jika diobati akan sembuh.

Kami sebagai guru telah menyiapkan perpustakan mini dgn jumlah buku yang sangat minim, hanya 500 buahsebagai bahan bacaan, dan dapat di pergunakan setiap jam 16.00 WIT di rumah kami yang tak seindah perpustakaan di Kota Kota.

Anak didik saya berkata yg paling membuat saya terharu: ”Ibu guru pisang goreng ni kenapa harus orang kulit putih ee yang jual, padahal kami pisang banyak sekali yg ditanam?”

Saya menjawab: ”Karena kamu selama ini malas, coba kamu pikir kamu jual pisang kasih orang orang kulit putih mereka buat pisang goreng kamu beli lagi..yang untung siapa?? Lebih baik mari sini ibu ajar kamu buat pisang goreng supaya kamu tahu dan menghasilkan uang utk beli buku.”[*]

Foto-dari berbagai sumber