27 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Perjuangan Bung Karno untuk Papua

BatasNegeri Sejarah mencatat, Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno atau Bung Karno mati-matian jadikan Irian Barat atau sekarang Papua sebagai bagian dari NKRI.

Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 dianggap Bung Karno belum lengkap tanpa bersatunya Irian Barat atau sekarang Papua.

Kini pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melanjutkan perjuangan Soekarno mempertahankan Papua dengan melawan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua atau KKB Papua yang kini telah diberi label teroris.

Irian Barat adalah masalah krusial bagi pemerintahan Soekarno. Tanpa Irian Barat, Indonesia belumlah Indonesia.

Dilansir Tirto, Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno berpidato di hadapan taruna-taruna Akademi Militer Nasional di Yogyakarta.

“Dan apa yang dinamakan Indonesia, Saudara-saudara? Yang dinamakan Indonesia ialah segenap kepulauan antara Sabang dan Merauke. Yang dinamakan Indonesia ialah apa yang dulu dikenal sebagai perkataan Hindia-Belanda.”

Pidato Soekarno saat itu tepat di masa 11 tahun Indonesia menempuh diplomasi untuk merebut Irian Barat dari penguasaan Belanda. Pada titik itu Soekarno sudah habis kesabaran.

Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 negosiasi soal posisi Irian Barat adalah yang paling alot.

Karenanya, untuk mencegah deadlock, KMB memutuskan bahwa status politik Irian Barat akan dirundingkan lagi dalam jangka waktu setahun setelah tanggal pengakuan kedaulatan.

Namun, lewat setahun Belanda selalu mangkir.

“Inilah pembohongan besar-besaran, kecurangan gede-gedean yang dijalankan oleh pihak Belanda,” kata Soekarno dalam pidato yang kemudian diterbitkan dengan judul Kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat! itu.

Disebut dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid V (SNI V, 2008, hlm. 436-440), selama 11 tahun itu Indonesia telah mengusahakan penyelesaian bilateral dengan Belanda.

Namun, karena Belanda tak mengindahkannya, Indonesia membawa persoalan Irian Barat ke forum PBB pada 1954, 1955, 1957, dan 1960.
Presiden Soekarno

Usaha diplomasi itu selalu berakhir dengan pengabaian dan kebuntuan hingga bikin Soekarno muntab.

“Di dalam PBB pun tiada hasil sama sekali. Malahan di dalam PBB itu ada pihak yang berkata: Menyetujui Belanda menguasai Irian Barat,” kata Soekarno.

Pidato itu kemudian ditutup dengan apa yang kini dikenal sebagai Tri Komando Rakyat alias Trikora.

Intinya, gagalkan pembentukan “negara boneka Papua” dan kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.

Itu sekaligus penanda dimulainya kampanye militer merebut Irian Barat dari penguasaan Belanda.

Soekarno Hanya Sempat Merancang Dari perspektif Soekarno, Irian Barat adalah wilayah terbelakang.

Daratannya dipenuhi gunung dan rawa-rawa yang sulit ditembus.

Dalam pikirannya, penduduk di sana adalah orang primitif yang masih menggunakan kapak batu, kulit kerang, dan tongkat untuk beraktivitas.

Orang Papua hidup nomaden karena tanahnya kurang subur. Keuntungan minyak buminya pun tak seberapa bagi Belanda.

Lalu mengapa Bung Besar begitu ngotot merebutnya dari Belanda?


Presiden Soekarno

Dalam pengakuannya yang dicatat Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014, hlm. 346) Soekarno berkata, “Dibandingkan dengan wilayah kepulauan kami, Irian Barat hanya selebar daun kelor, tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami. Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan?”

Terdengar naif, memang, tetapi Soekarno juga sadar akan potensi alam Papua.

Laman media sejarah Historia menyebut bahwa dari laporan tim geologinya Soekarno tahu bahwa Papua tak hanya menyimpan minyak bumi, tetapi juga uranium.

Di zaman atom seperti saat kala itu, temuan itu tentu penting.

“Jadi saudara-saudara, sudah nyata sekali pihak Belanda di Irian Barat ialah untuk mengambil kekayaan kita. Dan kita pun mempunyai alasan-alasan ekonomis untuk menuntut kembalinya Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik,” kata Soekarno.

Irian Barat akhirnya “kembali” masuk dalam wilayah kedaulatan Indonesia pada Mei 1963.

Dalam perundingan-perundingan antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi AS, Belanda setuju menganggarkan 30 juta dolar pertahun untuk pembangunan Irian Barat melalui PBB.

Sementara Indonesia berkewajiban menyelenggarakan “penentuan nasib sendiri” bagi rakyat Papua pada Desember 1969.

Segera setelah itu pemerintah Soekarno segera merancang program-program pembangunan Papua.

Wakil Menteri Pertama Koordinator Urusan Irian Barat Subandrio di hadapan DPRD Irian Barat pada 22 Juli 1963 menyebut bahwa Pemerintah Pusat akan fokus pada penguatan keamanan, konsolidasi pemerintahan sipil, dan menggerakkan perekonomian lokal di tahun pertama setelah penyerahan Papua.

Sebagai permulaan, Pemerintah Pusat akan berfokus pada pembangunan daerah pedalaman.

“Yang menjadi rencana daripada Pemerintah dalam hal pembangunan ekonomi ialah, bahwa Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap pembangunan lembah Baliem,” kata Subandrio.

Untuk menggerakkan semua program itu, Pemerintah Pusat memanfaatkan dana dari PBB yang disebut Fund for West Irian (Fundwi).

Kompas edisi 7 Agustus 1967 menyebut dana Fundwi itu digunakan Soekarno untuk membiayai proyek-proyek perhubungan udara dan transportasi darat.

Namun, kucuran dana Fundwi sempat terhenti sejak Maret 1964, ketika Indonesia keluar dari keanggotaan PBB.

Tak terlalu jelas apakah program-program rancangan pemerintahan Soekarno berjalan atau tidak.

Ia keburu dilengserkan Soeharto usai huru-hara 1965. Keran Dana Fundwi baru dibuka kembali ketika Soeharto naik jadi orang nomor satu di Indonesia. (tribunnews)