10 November 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

HUT TNI 2021: 112 alutsista digelar di sekitar Istana Merdeka Jakarta

Mengkritisi Peran TNI Dalam Merawat NKRI

Oleh: Andi Muh Darlis*)

BatasNegeri – SEBAGAI kekuatan bersenjata, TNI tidak dibentuk oleh pemerintah sebagaimana layaknya tentara di negara-negara demokratis lainnya. Bersama rakyat, TNI membidani kelahirannya sendiri (created by self) sekaligus melahirkan negara Republik Indonesia (RI) yang diperjuangkan melalui revolusi  fisik. Perjuangan bersenjata bersama rakyat dengan mengorganisasi diri sebagai kekuatan perlawanan yang menjadi embrio lahirnya TNI (proto tentara).

Suasana revolusi membuat rakyat mengorganisasi diri menjadi Tentara Rakyat untuk mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme yang telah mengangkangi Nusantara ratusan tahun lamanya. Tentara Rakyat berhasil membebaskan belenggu ketertindasan dan mengantarkan lahirnya RI lalu kemudian berdiri BKR (Badan Keamanan Rakyat), pada 22 Agustus 1945 yang menjadi cikal bakal terbentuknya TNI. Suasana revolusi akibat penjajahan memantik heroisme seluruh lapisan rakyat Indonesia melakukan perjuangan bersenjata. Penjajahan menjadi raison d’etre memuncaknya semangat revolusioner di kalangan rakyat Indonesia. Jenderal Soedirman sebagai primus inter pares militer Indonesia dan sejumlah tokoh lainnya menjadi eksponen perjuangan revolusi fisik yang sangat berperan bagi lahirnya TNI yang revolusioner, profesional dan modern. 

Turbulensi kebangsaan

Dalam perjalanan sejarah bangsa sejak RI berdiri, tidak sepi dari berbagai ancaman dan tantangan yang tidak jarang nyaris meruntuhkan kedaulatan negara. Ancaman dari luar berupa kembalinya kekuatan asing yang ingin menguasai Indonesia kembali membuat TNI bersama rakyat harus berjuang mempertahankan eksistensi negara yang baru diproklamirkan. Selain ancaman dari kekuatan asing, TNI harus juga menghadapi sejumlah pemberontakan di Tanah Air. 

Pemberontakan seperti PRRI/Permesta, DI/TII di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, Dewan Gajah, Dewan Garuda, Dewan Banteng, Brigade Manguni, Pemberontakan Muso, Republik Maluku Selatan (RMS), Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), pemberontakan Andi Azis dan G30S/PKI adalah sederet pergolakan bersenjata yang mampu dituntaskan TNI. 

Ancaman dan tantangan tersebut adalah batu ujian yang tidak ringan bagi TNI dalam mempertahankan kedaulatan negara. TNI timbul dan tenggelam bersama negara yang diperjuangkannya dan menjelma menjadi avant garde bersama rakyat mempertahankan negara. Perjuangan TNI tersebut adalah bentuk altruisme TNI terhadap keselamatan negara dan bangsa yang telah diperjuangkan bersama rakyat. 

Hubungan TNI dan negara tak bisa dilepaskan, hal itu terlihat jelas dari pernyataan Jenderal Soedirman, “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sanggup mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negara Republik Indonesia, yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sampai titik darah penghabisan.” Kewajiban tersebut menjadikan TNI ebagai tentara yang berdisiplin, revolusioner dan profesional sedari dulu dibuktikan dan dipegang teguh oleh TNI.  

Reformasi TNI

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI (sebelum berubah nomenklatur menjadi TNI) pernah menjadi kekuatan sosial politik (sospol), selain fungsi pokoknya sebagai kekuatan pertahanan negara. Peran sospol yang dominan dan determinan tersebut dikenal sebagai dwi fungsi yang menjadikan TNI sebagai aktor politik utama. Konsep dwi fungsi TNI adalah gagasan AH Nasution ketika menyampaikan pidato pada peringatan HUT Akademi Militer Nasional di Magelang pada 12 November 1958. Beliau mengemukakan konsep ‘jalan tengah’ (middle way) yang memberikan kesempatan dan peran lebih luas bagi TNI sebagai golongan fungsional.

Konsep yang disampaikan tersebut kemudian berpengaruh dan berdampak psikologis bagi TNI untuk aktif  berpolitik. Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di era Orde Baru, peran politik TNI sangat mewarnai dunia perpolitikan nasional. Konsep dwi fungsi adalah bukti nyata keikutsertaan TNI dalam dunia perpolitikan di Indonesia. 

Periode sebelum Reformasi menimbulkan banyak tuntutan/gerakan masyarakat sipil, yang berusaha menekan militer untuk keluar dari kancah perpolitikan di Indonesia. Tuntutan untuk kembali pada jati diri sebagai pengemban fungsi pertahanan negara, namun kondisi politik Indonesia belum menemukan momentum untuk itu. Fungsi sospol TNI kemudian banyak dikritik dan digugat oleh berbagai elemen masyarakat sipil karena dianggap menghambat kehidupan demokrasi. 

Keterlibatan TNI sebagai kekuatan politik kemudian dikritisi oleh Daniel S Lev bahwa “Dwi fungsi ABRI bukan saja monopoli politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa bagi kerusakan kenegaraan, karena seluruh lembaga negara di posisikan berada di bawah kekuasaan institusi militer.” Aktivitas TNI dalam dunia politik juga dipandang oleh Erick A Nordlinger sebagai gejala pretorianisme di mana tentara ikut terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis. 

Desakan yang cukup kuat dari civil society jelang pergantian rezim di 1998 menyadarkan TNI untuk kembali ke fungsi alamiahnya yaitu bidang pertahanan. Pergeseran kekuasaan dari Orde Baru ke era Reformasi membuat TNI mengambil langkah strategis untuk menyesuaikan diri dengan menerbitkan paradigma baru dalam berbangsa dan bernegara. Paradigma baru tersebut dimaksudkan sebagai respons positif TNI terhadap tuntutan Reformasi untuk meredefinisi dan mereposisi, serta melakukan reaktualisasi peran TNI yang selama Orde baru dinilai menghambat kehidupan demokratis. 

Politik TNI

Spirit TNI mengawali reformasi sesungguhnya merupakan keputusan bersejarah sebagai momentum memutus peran politiknya dan mendorong penuh sipil maju ke gelanggang politik nasional sebagai bentuk civilian supremacy. Reformasi TNI ditandai adanya penataan kembali peran TNI dalam tatanan kehidupan nasional yang lebih demokratis. 

TNI kembali ke tugas pokoknya sebagai alat negara di bidang pertahanan yang merupakan panggilan pengabdian kepada negara sebagai misi suci. Misi suci tersebut, oleh Samuel P Huntington merupakan karakter militer profesional yang ditandai oleh tiga ciri pokok;

pertama, memiliki keahlian dan pengetahuan sehingga militer menjadi spesifik.

Kedua, militer memiliki tanggung jawab sosial khusus, artinya militer selain memiliki nilai-nilai moral tinggi dan terpisah dari insentif ekonomi juga mempunyai tugas pokok kepada negara.

Ketiga, militer melahirkan rasa esprit de corps yang kuat (corporate character). 

Oleh Huntington, ciri-ciri tersebut melandasi hubungan militer dan negara yang berisikan pengakuan militer profesional terhadap supremasi sipil dan  militer, yang melakukan intervensi politik pada hakikatnya menyalahi etika profesional. Bagi TNI, kembali ke khitah sebagai alat negara bidang pertahanan adalah keniscayaan dan tentu saja sudah menjadi core business TNI. 

Politik TNI adalah politik negara yang berarti bahwa kesetiaan TNI hanya kepada negara yang telah diperjuangkannya bersama rakyat. Tunduk pada otoritas sipil adalah wujud profesionalisme TNI dan kemuliaan tertinggi atas kembalinya TNI ke koridor sebagai alat pertahanan negara, serta penjaga kedaulatan negara. Itu sesungguhnya merupakan kemenangan militer dan sipil untuk secara bersama membangun meraih cita-cita nasional sesuai amanat UUD 1945. 

Tantangan TNI ke depan

Pascareformasi bergulir, kompleksitas masalah yang dapat mengancam eksistensi negara cukup menyita perhatian. Kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan bangsa dan negara yang akhir-akhir ini mengalami banyak tantangan menjadi concern utama TNI. Sebagai tentara revolusioner profesional TNI tentu tidak akan tinggal diam dan siap untuk merespons kompleksitas potensi ancaman. 

Dalam konteks kawasan regional, seperti LCS (Laut Cina Selatan) yang cukup berpotensi menjadi palagan perang dari sejumlah kekuatan militer dari banyak negara yang berkepentingan di wilayah itu. Selain itu pembentukan AUKUS (Australia, Inggris,dan Amerika Serikat) telah menciptakan ketegangan politik dan militer di Asia Pasifik. 

Eskalasi ancaman militer akan berdampak terhadap Indonesia dan tentu saja tindakan kontinjensi sudah disiapakan TNI untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Kesiapan TNI berupa infrastruktur militer dan alutsista senantiasa dibangun untuk meningkatkan daya tangkal menghadapi ancaman eksternal (ancaman tradisonal). Menghadapi semua hal itu, TNI diharapkan dapat mengembangkan kekuatan dan kemampuan yang berkarakter generik, menggabungkan komponen mechanized, motorized dan light infantery dibarengi kekuatan laut dan udara yang memadai serta kemampuan intelijen yang mumpuni.  

Ancaman yang berkembang era ini bersifat hibrid, yaitu kombinasi antara pertempuran yang bersifat konvensional, nonreguler dan asimetris. Demikian pula dengan perang proxy yang menggunakan elemen asing semakin mengemuka dan tentu saja ini menjadi tantangan TNI ke depan. 

Selain ancaman tradisonal tersebut, ancaman nontradisonal seperti siber, hoaks, illegal fishing, neocortex war, separatisme, radikalisme, terorisme, infiltasi asing/spionase, perompakan, pembajakan, penyelundupan, imigrasi gelap, narkotika, serta pencurian kekayaan akan semakin meningkat dan pada level tertentu dapat mengancam kedaulatan,keutuhan dan keselamatan bangsa. 

Terkait hal itu, Founder of Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dr Dino Patti Djalal mengatakan, “Sekarang ini ancaman non-tradisional lebih menonjol dari ancaman tradisional/konvensional.” Sederat ancaman tersebut juga menjadi tanggung TNI untuk dieliminasi. Dari aspek siber kasus ‘mustang-panda’ yang mampu menembus software 10 kementerian/lembaga negara patut menjadi perhatian. Masalah pertahanan sangat dipengaruhi dan interdependensi dengan masalah-masalah lain sehingga manajemen kolaborasi menjadi penting dilakukan.  

Ancaman nontradisional bukan lagi sebatas keamanan tetapi sudah menjadi masalah pertahanan, sehingga meniscayakan adanya porsi bagi TNI untuk ikut menangkalnya. Menghadapi ancaman nontradisional tersebut, TNI membutuhkan kapabilitas dan kapasitas untuk menghadapinya. Dengan performa TNI yang mumpuni seperti saat ini akan memunculkan rasa bangga kita sebagai bangsa. 

Semangat revolusioner profesionalisme yang menjadi karakter TNI dapat menetralisir semua ancaman terhadap NKRI. Kekuatan militer dan kemampuan sipil khususnya dalam diplomasi yang bergerak simultan dapat menciptakan deterrent effect bagi negara kita dalam berhadapan dengan negara-negara asing.  

Kolaborasi antara TNI dan seluruh elemen bangsa akan mampu mengenyahkan ancaman dari luar dan dari dalam. Tema peringatan HUT ke  76 TNI tahun ini adalah ‘Bersatu, Berjuang, Kita Pasti Menang’ menjadi momentum untuk memperkuat persatuan sebagai satu-satunya cara membangun daya tangkal. Sejak pra kemerdekaan TNI bersama rakyat telah menyatu dan saling menguatkan, sehingga membentuk kekuatan nasional yang kemudian mengantarkan lahirnya Negara RI. 

Di era kontemporer sekarang ini semangat persatuan tetap harus terwujud, tidak boleh lekang karena semangat persatuan adalah modal utama bagi bangsa Indonesia.

Sebagai penutup mari kita mengenang apa yang pernah dikatakan Panglima Besar Jenderal Soedirman, bahwa “Satu-satunya hak milik nasional/Republik yang masih utuh tidak berubah-ubah, meskipun harus mengalami segala macam soal dan perubahan, hanyalah angkatan perang Republik Indonesia (TNI).” Selamat HUT Ke-76 TNI, semoga tetap jaya dan dicintai rakyat.[MediaIndonesia.com]

*) Penulis: Widyaiswara Pusdiklat Bela Negara Kementerian Pertahanan RI