27 Juli 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Asa dari Kampung Rufei Papua, Kehidupan Layak Siapapun Presidennya…

BatasNegeri – Suara decit papan kayu terdengar dimana-mana, jembatan penghubung, rumah dan dinding rumah-rumah yang dibangun menggunakan kayu papan di atas rawa air payau dengan penuh sampah di bawahnya.

Rumah-rumah ini disebut Kampung Rufei, kampung yang dihuni oleh tiga suku Imeko yakni Inanwatan, Metemani dan Kokoda di Kota Sorong, Papua Barat Daya.

Awalnya kami mengira, kampung yang dibuat di atas tanah rawa itu memang sengaja dibuat sebagai salah satu bentuk kebudayaan dan cara tinggal suku tertentu. Namun ternyata tidak, mereka berada di tempat itu karena terpaksa.  

Penduduk Kampung Rufei awalnya adalah penduduk yang bermukim di lahan tempat pembangunan pasar modern Rufei.

Mereka kemudian tergusur, diminta hengkang dari tanah yang puluhan tahun mereka tempati dengan uang ganti rugi sebesar Rp 2 juta. Setidaknya itu pengakuan salah satu warga yang terus-menerus mengucapkan harapannya agar pemerintah membuatkan mereka rumah yang layak.

Rumah yang kini mereka tempati tak bisa disebut layak, bahkan lebih mirip tempat pengungsian sementara. Satu rumah bisa dihuni oleh tiga sampai empat keluarga. Dindingnya tak rapat, sesekali terlihat tangan kecil anak-anak mereka mengeluarkan sampah sisa makanan dari dinding yang terlihat lapuk dimakan waktu.

Mereka terpaksa tinggal di tempat itu sejak 2003, uang ganti rugi yang minim tak bisa diharapkan untuk membeli lahan. Mereka akhirnya membangun rumah panggung ini di lahan orang, untuk meneruskan hidup mereka.

Kondisi Rumah Warga Kampung Rufei, Sorong, Papua Barat Daya yang dihuni oleh 3-5 keluarga, diambil pada Selasa (15/1/2024).

“(Tempat) kita tinggal ini tidak bisa miliki karena ini perusahaan minyak punya tempat, jadi tidak bisa bangun rumah sembarang, harus izin baru kita kasih (membuat) rumah. Dari tahun 2003 (tergusur) karena pasar mau bangun jadi kita pindah, (ganti rugi) satu rumah cuma dikasih dua juga,” kata Keturamudai saat ditemui Selasa (16/1/2024) lalu.

“Padahal dulu (kami punya) rumah, kami pindah di sini kita tidak dapat rumah. Yang lain dapat bantuan kita ini bagaimana?” katanya lagi.

Air bersih yang sulit ditemui

Pantauan Kompas.com, rumah-rumah panggung berdinding papan tipis, berpintu kayu, kadang tak berjendela, kadang jendela hanya ditutup kain.

Atap seng terlihat sudah banyak berkarat. Beberapa rumah juga terlihat sudah lapuk, tak berpenghuni. Toilet tempat mereka buang hajat juga dibuat seperti rumah panggung. Septik tanknya tak ditanam, terlihat tabung besar berwarna oranye yang pipanya mengarah ke rawa tempat rumah warga dibangun.

Sesekali anak kecil terlihat mencari ikan di rawa itu, bergelut bersama lumpur, limbah dan sampah sisa makanan yang dibuang begitu saja dari tembok-tembok bolong rumah warga.[*]

kompas.com