BatasNegeri – Meilani Ayu Lestari tak pernah membayangkan menjadi dokter di perbatasan. Bermodalkan pengalaman dokter di rumah sakit, Meilani mengambil tantangan sebagai dokter pegawai tak tetap di Puskesmas Paloh, Kecamatan Sambas, Kalimantan Barat.
Meilani tiba tiga tahun lalu. Saat itu, fasilitas Puskesmas Paloh belum seperti sekarang. Fasilitas rumah dinas yang didapatkannya pun masih berupa bangunan kayu.
Tiga bulan pertama cukup berat buat Meilani. Selain fasilitas yang ala kadarnya, akses jalan menuju Kecamatan Paloh dari pusat Kabupaten Sambas juga buruk.
Kondisi jalanan jauh dari jalanan beraspal yang biasa dilewatinya saat menimba ilmu di Universitas Tanjungpura Pontianak. Belum lagi, Meilani kerap mendapatkan gangguan dari orang tak dikenal.
“Malam-malam, saat saya di rumah, itu biasanya ada cowok datang pakai helm menggedor pintu, itu yang saya takuti,” kata Meilani saat bercerita tentang pengalamannya mengabdi di perbatasan di Puskesmas Paloh, Kabupaten Sambas, beberapa hari lalu.
Gangguan orang tak dikenal itu menghilang seiring waktu. Kini, Meilani sudah tiga tahun menjabat sebagai dokter di Puskesmas Paloh. Statusnya pun sudah calon pegawai negeri sipil (CPNS).
Namun, pengalaman lucu justru dialami saat berurusan dengan pasien. Puskesmas Paloh memang menjadi rujukan buat masyarakat perbatasan Indonesia dan Malaysia buat berobat. Kini, puskesmas ini sudah memiliki fasilitas instalasi gawat darurat (IGD) dan rawat inap.
“Pasien kan biasanya punya keunikan semua, misal pasien nak (hendak) pergi berobat, mereka kalau berobat itu di sini harus ada obatnya, jadi mereka sakit atau tidak pulang harus bawa obat,” jelas Meilani sambil tertawa.
Meilani pernah menghadapi pasien yang mengeluh sering mengantuk. Padahal, setelah berbincang kantuk pasien berasal dari kebiasaan aktivitas sehari-hari.
“(Pasien) dia minta saya kasih obat supaya tidak ngantuk, nah itu kadang bikin saya bingung,” kata Meilani.
Perempuan asal Kabupaten Sekadau, Kaliman Barat itu juga pernah menerima pasien yang mengeluh tak enak perasaan. Usut punya usut, perasaan tak enak muncul karena habis bertengkar dengan suami. Pasien pun meminta obat kepadanya.
“Kadang-kadang pasien yang sangat ringan enggak perlu obat kadang minta obat. Makanya nanti kita edukasi,” kata perempuan 29 tahun itu.
Alhasil, Meilani tak hanya mengobati pasien yang berobat ke rumah sakit. Tak jarang, ia juga memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang penyakit yang bisa diobati dan tidak.
Puskesmas Paloh juga aktif mengadakan sosialisasi agar masyarakat tetap menjalani hidup sehat. Pengecekan tekanan darah dan kolesterol secara gratis kepada masyarakat kerap dilakukan untuk menekan risiko penyakit berbahaya.
Meilani berharap, puskesmas yang baru saja selesai dibangun menggunakan dana alokasi khusus Kementerian Kesehatan itu menarik minat masyarakat berobat. Karena, tak jarang masyarakat perbatasan lebih memilih berobat ke Kuching, Malaysia, dengan alasan fasilitas dan pelayanan yang lebih baik.
Selain bangunan, Meilani juga sering mengusulkan berbagai pelatihan buat petugas kesehatan di puskesmas. Tujuannya sederhana, petugas kesehatan memiliki kemampuan mumpuni untuk mengoperasikan sejumlah alat baru yang dimiliki puskesmas.
“Jadi biar kami juga maju, alat-alatnya juga maju. Jadi bisa menjadi daya tarik bagi warga untuk berobat ke sini, ke Paloh saja. Kalau bisa jadi puskesmas di perbatasan yang menarik warga di sekitarnya untuk berobat ke sini, jangan ke Malaysia,” pungkas Meilani.[*]
metronews.com
More Stories
Belajar dari Rote: Sekolah di Perbatasan, Ilmunya dari Penjuru Dunia
Dampak kemarau di perbatasan Indonesia-Timor Leste
Nelayan Johor Keluhkan Polusi dan Ikan yang Berkurang, Causeway Singapura-Malaysia Disebut Biang Keladinya