Oleh: Desi Angriani
BatasNegeri – ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’. Lagu ini seolah mengingatkan Indonesia pada sejarah kejayaan masa lampau. Jauh sebelum zaman penjajahan, bangsa Indonesia dikenal aktif dalam bidang pelayaran dan penjelajahan samudera. Cerita nenek moyang yang menguasai perniagaan laut mengacu pada Kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Di mana saat itu, Indonesia disegani sekaligus diakui sebagai bangsa maritim terbesar di dunia.
Namun kejayaan tersebut sirna setelah penjajahan dari Belanda dan Jepang menguasai Indonesia. Belanda melakukan praktek politik adu domba dan memonopoli perdagangan dengan melibatkan Kerajaan-kerajaan saat Indonesia belum menjadi republik.
Pada masa kemerdekaan 1945, Presiden Soekarno membangkitkan kembali sektor kemaritiman Indonesia dengan membentuk Kementerian Koordinator Maritim dan Kementerian Perindustrian Maritim dalam kabinet Dwikora I&II. Kementerian ini bergerak dalam pembuatan dan perbaikan kapal serta pembuatan alat-alat terapung.
Sayangnya setelah Orde Baru muncul fokus perhatian pemerintah Soeharto beralih untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agraris. Hal ini dibuktikan lewat swasembada pangan di 1980-an.
Sementara itu, pada era Reformasi sektor kelautan Indonesia terus berbenah. Dimulai saat terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid yang kembali membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan. Departemen tersebut terus dipertahankan hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bahkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan turut disahkan guna memberikan kepastian hukum terhadap wilayah perairan Indonesia. Berbagai kegiatan Sail Morotai, Sail Komodo, dan Sail Raja Ampat terus dilakukan untuk menyemarakkan bidang kemaritiman sekaligus menarik wisatawan asing serta lokal.
Upaya pemerintahan SBY pun dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan Presiden Jokowi dalam janji kampanyenya di pilpres 2014 ingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Alasannya potensi laut Indonesia bisa menggerakkan roda perekonomian nasional, mulai dari sektor perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, perhubungan laut, sumber daya pulau-pulau kecil, hingga jasa maritim.
Hal ini terlihat dari 70 persen perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Dan 75 persen produk dan komoditas yang diperdagangkan dikirim melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar USD1.300 triliun per tahun.
Keinginan Jokowi kemudian diimplementasikan dalam lima pilar yakni, pembangunan budaya maritim, pengelolaan sumber daya maritim, pembangunan infrastruktur dan konekivitas maritim, diplomasi dan pertahanan-keamanan maritim. Kelima pilar tersebut berada di bawah tanggung jawab Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman.
Pada masa pemerintahan Jokowi pula pembangunan infrastruktur di bidang kemaritiman dimulai. Yakni berupa pembangunan tol laut secara bertahap. Tujuannya untuk menghilangkan disparitas harga antara Indonesia bagian barat dengan timur karena beban logistik yang mahal.
Alasan Presiden selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya terpusat di Pulau Jawa sehingga untuk mendistribusikan muatan logistik ke wilayah yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah, khususnya di Kawasan Timur Indonesia membutuhkan biaya tinggi.
“Itu artinya, kita tidak cukup hanya membangun pelabuhan dan bandara. Dan tidak cukup hanya menyediakan angkutan barang di laut maupun di udara dengan kewajiban mengangkut barang-barang kebutuhan pokok dari dan ke daerah tertinggal, terpencil, terluar, dan daerah perbatasan,” kata Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Program tol laut pun mulai beroperasi pada November 2015 lalu dengan tiga ruas trayek dari enam yang direncanakan. Sementara 15 trayek sudah beroperasi pada April tahun ini. Dari jumlah tersebut, tujuh trayek dioperasikan oleh operator swasta melalui proses lelang murni, dan delapan trayek lainnya dioperasikan oleh badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui penugasan.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengklaim pembangunan tol laut yang mayoritas berada di wilayah timur Indonesia telah mampu menurunkan perbedaan harga di Indonesa Barat dan Indonesia Timur hingga mencapai 50 persen. “Tol Laut ini program baik sekali dan bisa hilangkan disparitas harga. Bisa turunkan harga di daerah-daerah,” ungkap Budi pada Senin, 13 Agustus 2018.
Hanya saja program ini masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah. Salah satunya, terkait muatan kapal yang tidak seimbang saat pergi dan kembali ke tempat asal. Misalnya, kapal yang berlayar dari Surabaya ke Maluku berhasil membawa muatan penuh. Sementara saat kembali dari Maluku, tak banyak muatan yang dapat diangkut oleh kapal tersebut.
Karenanya Budi tengah mematangkan sistem kontrak tol laut yang berbasis pada angkutan menjadi berbasis volume kontainer. Setidaknya sistem ini dapat mereduksi biaya angkut sampai 40 persen. Hasilnya nanti dapat digunakan untuk membuka jalur tol laut baru dan menambah intensitas.
“Karena uangnya ini kita bisa pakai untuk kegiatan-kegiatan menambah jalur dan menambah intensitas. Sekarang ini ada beberapa tempat cuma dua minggu sekali nanti kalau ada uang ini kita bisa tingkatkan,” sambung Budi.
Kasubdit Angkutan Laut Dalam Negeri, Ditjen Perhubungan Laut, Capt Wisnu Handoko meambahkan bahwa ada tantangan tersendiri dalam program Tol Laut. Dia mengatakan infrastruktur jalan dan laut belum tersedia dengan baik. Itu biasa terjadi di wilayah Indonesia timur.
“Saya bilang disparitas harga sampai ke pelabuhan yang saya singgahi masih terkontrol tapi kalau makin jauh sana dan transportasi infrastruktur jalan belum siap dan angkutan sungai belum terjangkau,” kata dia ketika dihubungi Medcom.id, Selasa, 15 Agustus 2018.
Dia mencontohkan kejadian ini terjadi ketika ada pengiriman barang dari Pulau Jawa ke Papua. Perbedaan jarak serta fasilitas infrastruktur yang rendah membuat kesulitan pengiriman logistik ke tempat tujuan.
“Misalnya bawa barang dari Surabaya ke Bovendigul di Papua, kapal besar baru bisa masuk ke daerah yang pelabuhannya relatif besar padahal harus masuk sungai terus naik gunung. Padahal kapal kita bisa bersandar di Timika dari situ kita butuh kapal yang lebih kecil lagi,” jelas dia yang menambahkan bahwa harus ada keberlanjutan konektivitas karena ada tiga kriteria dalam pelabuhan yang fungsinya berbeda yakni pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul serta pelabuhan pengumpan.
Selain itu di sejumlah jalan di Papua misalnya fasilitas pelabuhan tak dimbangi dengan jalan yang layak sebagai bagian dari rantai logistik sehingga ketika kontainer sampai di pelabuhan barangnya akan dikirim ke daerah tujuan dengan menggunakan perahu-perahu kecil. “Ini jadi PR kita bangun jalan yang berdekatan dengan pelabuhan,” jelas dia.
Sejauh ini dia mengatakan bahwa akan ada tiga tambahan trayek dalam waktu dekat yakni Gorontalo, Kendari, dan Selayang Bau-Bau. Pada kondisi sekarang sudah ada 15 trayek dan akan bertambah menjadi 13 trayek. Sehingga sampai akhir tahun akan ada 27 trayek untuk tol laut. “Kalau tahun depan target 21 trayek,” jelas dia.
Pengamat Maritim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Raja Oloan Saut Gurning menyambut baik kehadiran tol laut. Konsep ini dianggap berhasil menurunkan harga bahan pokok di beberapa daerah wilayah timur Indonesia. Ia menyebut terjadi penurunan harga bahan pokok di kisaran 20-25 persen.
“Saya kira sebuah penurunan yang cukup tinggi. Namun, nantinya apabila rute dan trayek ini semakin banyak, kita meyakini bahwa turunnya harga-harga ini akan menjadi semakin lebih baik lagi,” ujar Raja Saut Gurning dalam keterangan tertulisnya.
Hal serupa disampaikan oleh Sekretaris Umum Indonesia Maritime Forum (IMF) Nanang Q el-Ghazal. Dia bilang visi Presiden Jokowi untuk memperkuat bidang kemaritiman semestinya dioptimalkan lewat perumusan strategi dan teknis operasional yang tetap sasaran.
“Ini paradigma pembangunan yang harus terus dipertahankan,” ungkapnya saat dihubungi Medcom.id pada Senin, 13 Agustus 2018.
Pengembangan Sektor Perikanan Indonesia
Keberlanjutan tol laut juga diimbangi dengan pengembangan perikanan di Indonesia. Sejak Indonesia merdeka 73 tahun silam, kondisi sektor perikanan Tanah Air belum tergarap maksimal.
Padahal stok potensi lestari (MSY) ikan di laut Indonesia mencapai 12,5 juta ton per tahun. Jika melihat luas laut Indonesia yang mencapai 5,8 juta kilometer persegi, seharusnya pemanfaatan potensi laut Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain seperti Jepang, Tiongkok, Islandia dan Norwegia.
Pada kenyataannya, produksi perikanan tangkap dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pemanfaatan potensi perikanan baru mencapai 83,72 persen pada 2013. Ekspor perikanan indonesia juga masih jauh jika dibandingkan dengan Vietnam. Ekspor perikanan Vietnam 2017 mencapai USD8,3 miliar, sedangkan Indonesia hanya sebesar USD4,09 miliar atau hanya mencapai separuhnya.
Wakil Ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANNI) Nanang Q el-Ghazal mengungkapkan penyebab utama terjadinya kesenjangan antara potensi kelautan dengan pemanfaatannya adalah karena jumlah kapal penangkap ikan yang terus menurun.
Berbagai kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) seperti moratorium perijinan usaha penangkapan ikan, pelarangan sejumlah alat tangkap dan gagalnya program bantuan kapal kepada nelayan.
Kinerja KKP dianggap belum mampu mensejahterakan nelayan lantaran lambatnya pembangunan infrastruktur kelautan dan perikanan; lemahnya kelembagaan ekonomi nelayan; bantuan kapal dan alat tangkap yang tidak tepat sasaran; dan lemahnya kinerja dalam pengembangan kapasitas nelayan.
“Profesi nelayan tidak lagi menarik bagi sebagian masyarakat pesisir kita, berbagai kebijakan kurang mampu mensejahterakan mereka bahkan cenderung memiskinkan nelayan kita. Maka alih profesi ke sektor lain menjadi pilihan bagi anak-anak nelayan Indonesia,” ungkap Nanang kepada Medcom.id pada Senin, 13 Agustus 2018.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan kondisi ekspor komoditas perikanan Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara lain di tengah melambatnya perekonomian dunia.
Ia mengklaim jumlah stok ikan meningkat sehingga nilai tukar nelayan dan pembudidaya turut mengalami kenaikan. Artinya, jumlah pendapatan nelayan juga meningkat dari sebelumnya.
Terkait penurunan jumlah nelayan, Susi menyebut kebijakan yang tidak pro pada nelayan kecil menjadi salah satu penyebabnya di mana kapal asing bebas berkeliaran di perairan Indonesia. Untuk mengatasinya KKP secara tegas memerangi ilegal fishing dengan cara menenggelamkan kapal asing. Selain itu, pihaknya juga melarang penggunaan alat tangkap pukat dan cantrang agar polulasi ikan yang belum memasuki masa tangkap tidak berkurang.
“Persediaan ikan di perairan Indonesia menjadi masalah dasar kesejahteraan nelayan. Salah satu solusinya yakni memberantas illegal fishing. Jika ikan tersedia pemerintah bisa melanjutkan bantuan lain bagi nelayan,” tegas Susi.
Meskipun masih jauh dibandingkan negera tetangga ada potensi yang tinggi dari sektor perikanan indonesia tercatat dalam periode 2012-2016 pertumbuhan neraca perdagangan sektor perikanan naik 2,67 persen per tahun atau diatas Tiongkok yang naik 0,60 persen per tahun dan Vietnam yang minus 15,14 persen per tahun. Selain itu pendapatan bersih pajak dari sektor perikanan meningkat dari Rp734 miliar pada 2014 menjadi Rp1,082 triliun pada 2017 atau mengalami peningkatan hingga 47,41 persen. Sehingga sektor ini patut menjadi perhatian pemerintah.[*]
medcom
More Stories
Pembangunan PLBN Menjadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru
Tantangan Geopolitik Indonesia bagi Presiden Terpilih Prabowo Subianto
Daerah Perbatasan sebagai Beranda Rumah Bangsa, Cegah Ketimpangan dan Bangunkan Potensinya!