BatasNegeri – Relayana (34) sudah enam tahun menjadi guru sejak mengikuti program Guru Garis Depan (GGD) dan ditempatkan di wilayah Natuna, Kepulauan Riau. Selama enam tahun itu pula, ia sudah merasakan ‘gelombang darat’ maupun ‘gelombang laut’ untuk mengajar di wilayah yang berbatasan dengan banyak negara dan Laut China Selatan tersebut.
Untuk diketahui, Natuna memiliki luas wilayah 141.901,20 km2 yang terdiri dari 172 pulau (30 pulau yang berpenghuni). Hanya 2% dari total wilayah itu berupa daratan dan sisanya merupakan perairan atau laut.
Ella, sapannya, awalnya ditempatkan di SD 04 Klarik yang ada di Pulau Seluan. Untuk ke Seluan dari Pulau Bunguran Besar (sebagai pulau terbesar dan pusat kota di Natuna), ia harus menyeberang menggunakan speedboat atau pompong selama dua jam.
Yang merepotkan, kata Ella, ialah saat ia harus menyeberang pada musim utara, di mana gelombang sedang tinggi-tingginya. Ia pun bercerita pernah harus terbalik dari speedboat, bahkan saat pertama kali mau menginjakkan kakinya di Pulau Seluan.
“Pertama saya dijemput sama UPTD kemarin, sampai di sini dengan keadaan hujan, besoknya mau nyebrang ke Seluan, terus keadaan sudah aman, kami nggak pakai pompong, pakai speedboat biar laju. Sampai di pulau yang namanya Pulau Sedua, yang kalau orang pulau bilang agak ekstrem, nah sampai di situ muncul gelombang (besar) sehingga speedboat, karena kan dia ringan, mutar balik,” ujar Ella kepada detikcom belum lama ini.
“Dan di situ memang udah nggak tahu lagi gimana rasanya, semuanya udah basah, luar dalam, koper basah semuanya. Habis itu bismillah aja, walau pun speedboat-nya bolak-balik gitu yah tetap tancap lagi, akhirnya sampai ke Seluan (pada tahun) 2017,” imbuh Ella.
Dua tahun kemudian, Ella dimutasikan ke SMP 3 Bunguran Barat yang ada di Kampung Segeram, kampung tua yang disebut-sebut sebagai lokasi awal penduduk Natuna, tapi sepi karena mulai ditinggalkan penduduknya. Meski berada di Pulau Bunguran Besar, namun jarak sekolah dari tempat tinggal Ella di pusat kota Ranai, termasuk jalan hutan ternyata menjadi tantangan tersendiri.
“Saya kalau ke Segeram itu dari Ranai, Senin pagi, subuh-subuh jam 5 habis salat subuh saya kejar di sini harus sampai 7.30. Kemudian Kamis saya pulang, hari Jumat (libur) sehari, mungkin ada yang harus bereskan di rumah karena ada anak yang saya tinggal. Sabtu bolak-balik, begitu juga sampai sekarang sampai empat tahun ini,” ujar Ella.
Adapun setengah dari perjalanan itu, kata Ella, merupakan jalan tanah yang diapit oleh hutan. Kondisinya lebih sulit saat masuk musim penghujan. Biasanya, Ella harus menginap di rumah warga untuk menginap sambil menunggu cuaca membaik.
Selama empat tahun mengajar di Segeram, Ella sudah banyak mengalami pengalaman menghadapi ‘gelombang darat’ tersebut. Mulai dari pecah ban hingga kemasukan ular dari hutan.
“Kalau motor saya ini sering pecah ban. Kemudian rem bisa putus tiba-tiba, jatuh segala macam. Tangan pernah terkilir, pernah (sambil) bawa anak juga di belakang, anak jatuh. Bahkan minggu kemarin juga sempat jatuh. Terus pernah juga masuk ular ke dalam baju,” ujar Ella.
Selain itu, ‘tantangan’ lain yang harus Ella hadapi ialah mengajar dengan jumlah siswa yang sedikit. SMP 3 Bunguran Barat yang baru berdiri pada awal tahun 2023 tidak pernah memiliki jumlah siswa lebih dari tujuh.
Infrastruktur dan akses ke Segeram yang sulit serta sedikitnya jumlah penduduk Segeram dinilai menjadi penyebabnya.
“Awalnya berdiri tahun 2019. Dan SMP ini awalnya masih SATAP, satu atap dengan SD. Kemudian baru-baru juga awal 2023 kemarin bulan delapan kita sudah berdiri sendiri. Sudah diganti menjadi SMP 3 Bunguran Barat. Jumlah pegawai di sini dengan TU ada 9 orang. Siswa ada 6 orang. Kelas 7 ada 3 orang. Kelas 8 ada 1 orang. Kelas 9 ada 2 orang,” jelas Ella.
Namun, di tengah keterbatasan itu, di Kampung Segeram kini sudah mulai dibangun stasiun pemancar atau stasiun pemancar atau tower Base Transceiver Station (BTS) oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo Untuk akses telekomunikasi warga. Adanya infrastruktur telekomunikasi ini turut dirasakan manfaatnya, termasuk untuk sekolah.
“Kemarin itu masalah ujian anak-anak UNBK ya. Kemarin itu sempat beberapa tahun, tiga tahunan lah numpang karena belum ada jaringan. Belum akses internetnya nggak lancar sama sekali. Jadi numpangnya ke Klarik, ke kecamatan sebelah. Sekarang alhamdulillah anak SD sudah numpang di sini karena kita sudah bisa ikut UNBK di sekolah sendiri. Iya karena ada tower, jaringannya sudah alhamdulillah sudah bagus,” jelas Ella
Lebih lanjut Ella mengungkapkan motivasinya mengajar di daerah perbatasan Natuna ini agar bisa lebih maju lagi.
“Walaupun kami tinggal di pedesaan seperti ini, harapan kami anak-anak di sini itu tidak boleh dia kalau keadaan di kampung kalau orang bilang itu nggak ada jaringan nggak ada listrik apa segala macam kan. Tapi dengan keterbatasan kita harapan kita di sini jaringannya sudah ada, dia bisa mengakses berbagai ibaratnya kemajuan-kemajuan yang ada di luar sana,” ujar Ella.
detikcom bersama Bakti Kominfo mengadakan program Tapal Batas mengulas perkembangan ekonomi, wisata, infrastruktur, wisata, dan teknologi di wilayah 3T setelah adanya jaringan internet di beberapa wilayah terdepan Indonesia.[*]
detik.com
More Stories
Belajar dari Rote: Sekolah di Perbatasan, Ilmunya dari Penjuru Dunia
Dampak kemarau di perbatasan Indonesia-Timor Leste
Nelayan Johor Keluhkan Polusi dan Ikan yang Berkurang, Causeway Singapura-Malaysia Disebut Biang Keladinya