BatasNegeri – Kehadiran etnis Rohingya bukan merupakan urusan Indonesia. Indonesia tidak seharusnya memperlakukan etnis Rohingya sebagai pengungsi mengingat Indonesia bukan peserta “Convention relating to the Status of Refugees” yang dikenal sebagai Refugees Convnetion 1951.
“Bila etnis Rohingya hendak diperlakukan sebagai pengungsi maka ini merupakan urusan UNHCR dan Indonesia hanya membantu sedapatnya mengingat para etnis Rohingya saat ini berada di Indonesia,” ujar Rektor Universitas Jenderal A. Yani, Hikmahanto Juwana melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, bantuan dari Indonesia tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Perpres 125).
Dalam Pasal 1 angka 1 Perpres 125 didefinisikan istilah pengungsi dari luar negeri yaitu “pengungsi adalah orang asing yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia disebabkan karena ketakutan yang beralasan akan persekusi dengan alasan ras, suku, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik yang berbeda serta tidak menginginkan perlindungan dari negara asalnya dan/atau telah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi di Indonesia”.
Menjadi pertanyaan, kata Hikmahanto, para etnis Rohingya yang berdatangan itu apakah telah melalui suatu screening atau seleksi untuk dapat dikatagorikan sebagai pengungsi luar negeri menurut Perpres 125? Apakah mereka benar sedang dipersekusi atau ingin mencari penghidupan yang lebih baik di Indonesia? Apakah mereka sudah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari UNHCR?
“Bila belum melalui proses screening maka tidak ada keharusan bagi pemerintah untuk memperlakukan etnis Rohingya sebagai pengungsi luar negeri sehingga Perpres 125 diberlakukan,” ucapnya.
Karena itu, kata Hikmahanto, sudah seharusnya pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap gelombang kedatangan etnis Rohingya. “Jangan sampai pemerintah terlambat mengambil kebijakan sehingga menjadi pekerjaan rumah yang sulit untuk diselesaikan di kemudian hari,” katanya.
Hikmahanto mengatakan, paling tidak ada lima hal yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai bentuk ketegasan.
Pertama, pemerintah menyerahkan segala sesuatu kepada UNHCR.
Kedua, pemerintah harus meminta agar UNHCR menyiapkan dan mengeluarkan anggaran untuk kebutuhan sehari-hari dari etnis Rohingya.
Ketiga, pemerintah untuk sementara harus mencarikan pulau terpencil untuk menampung etnis Rohingya yang sudah ada di Indonesia. Ini untuk mengantisipasi mereka lari dari penampungan dan berbaur dengan warga lokal.
Keempat, pemerintah meminta ke Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta untuk melakukan pemulangan terhadap etnis Rohingya atau UNHCR sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (2) dan (3) Perpres 125.
Kelima, Indonesia wajib meminta kantor UNHCR di Jakarta yang bertugas untuk melakukan screening para pencari suaka dan status pengungsi untuk segera ditutup. Hal ini karena kantor tersebut menjadi faktor pendorong banyaknya etnis Rohingya dan sejumlah bangsa keluar dari negaranya datang ke Indonesia.
Karena itu, kata Hikmahanto, saat ini pemerintah perlu segera turun tangan. “Jangan sampai kekesalan dan kemarahan masyarakat Aceh membuat mereka harus main hakim sendiri. Bila ini terjadi maka sejatinya pemerintahlah yang patut disalahkan,” pungkasnya.[*]
indonesiasatu.co
More Stories
Sebanyak 18.481 keluarga di perbatasan RI-Malaysia Mendapat Bantuan Pangan dari Bulog
Indonesia-Malaysia Jalin Kerja Sama Pembangunan SOSEK MALINDO di Wilayah Perbatasan
Ini Lima Pintu Imigrasi yang Sering Digunakan Buronan Internasional untuk Masuk Indonesia