4 Oktober 2024

batasnegeri.com

Membangun Indonesia dari Pinggiran

Filosofi Hidup di Balik Warisan Budaya Noken

BatasNegeri – Noken, tas rajutan dari kulit pohon milik orang Papua telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui UNESCO, menjadi Warisan Budaya Tak Berbenda (Intangible Cultural Heritage), pada tanggal 4 Desember 2012.

Maka, setiap tanggal 4 Desember dunia memperingatinya sebagai Hari Noken. Menjadi kebanggaan bagi masyarakat Tanah Papua, Budaya Papua mendapatkan perhatian, pengakuan sekaligus perlindungan di tingkat dunia.

Apa dan mengapa Noken layak mendapatkan perhatian khusus dari Badan Dunia, tak lain karena Noken bukan hanya hadir sebagai sebuah produk budaya namun juga filosofi hidup yang terkandung di dalamnya.

Pengakuan Noken sebagai Warisan Budaya Tak Berbenda, tak lepas dari perjuangan dan peran serta Titus Chris Pekey, Putra Papua asal Wakeite, Kabupaten Deiyai, penggagas noken sebagai warisan budaya dunia.

Apa yang membuat Noken mendapatkan perhatian secara khusus oleh Unesco, tak lain adalah karena keberadaan Noken sebagai Produk Budaya sesuai dengan Kriteria yang ditentukan. Di sisi lain, Indonesia termasuk negara yang meratifikasi Konvensi 2003 Unesco, tentang Perlindungan Warisan Budaya Tak Berbenda.

Kita selama ini mengenal Noken sebagai “Tas Rajut” asli Papua, yang terbuat dari serat kayu pohon manduam, pohon Nawa atau anggrek hutan. Noken, biasanya diisi dengan sayur mayur, buah, berbagai barang, bahkan hingga anak kecil pun dimasukkan/dipikul dalam noken. Cara pemakaiannya pun khas; para wanita khususnya yang tinggal di daerah Pegunungan Tengah Papua, biasanya menggantungkan noken di kepala, sementara kaum pria menggantungkannya di leher.

Secara fisik, Noken memang berbentuk tas, namun dibalik itu, noken memiliki makna filosofi yang sangat mendalam.

“Filsafat Noken adalah Noken Kehidupan. Bagi saya, merajut noken sama seperti menganyam atau merajut kehidupan.” demikian tutur Titus Pekey yang juga bekerja sebagai seorang peneliti noken sekaligus menjabat sebagai Ketua Ekologi Papua.

Menurutnya, noken dimaknai sebagai Noken Kehidupan karena banyak alasan; noken digunakan untuk membawa sumber kehidupan, berupa bahan – bahan pangan seperti sayur-mayur, buah dan daging. Noken juga digunakan untuk menggendong kehidupan, yakni anak-anak kecil Papua yang digendong dalam noken.

Mama-mama asli Papua, akan membawa anaknya ini ke mana saja ia pergi, misalnya saja ke pasar, ke gereja atau ke mana saja. Lebih dari itu, Noken merefleksikan makna kehidupan; bagaimana setiap orang menganyam/merajut dan mempererat simpul-simpul persaudaraan antar sesama manusia.

Noken dianyam dan disimpul secara kuat, untuk melindungi kehidupan di dalamnya. Perlindungan terhadap kehidupan, dimaknai secara menyeluruh sebagai perlindungan terhadap hutan sebagai penyedia bahan baku kehidupan. Manusia, dalam hal ini Orang Asli Papua (OAP) membutuhkan hutan sebagai penyedia dan penyangga kehidupan, karena itu ia wajib memelihara, menjaga, melestarikan dan melindungi hutan. Kerusakan lingkungan hutan, berarti kerusakan terhadap kehidupan, dan kepunahan hutan bisa jadi kepunahan terhadap kehidupan didalamnya termasuk kepunahan manusia yang bergantung hidup daripadanya.

Tanah Papua, terdiri lebih dari 250 etnis dengan bahasa suku masing – masing. Suku Asli Papua, terbagi dalam 7 wilayah adat, yakni:

  • Wilayah Adat Mamta; Jayapura/ Port Numbay, Sentani, Genyem, Depapre, Demta, Sarmi, Bonggo, Depapre
  • Wilayah Adat Saireri : Biak Numfor, Supiori, Yapen Waropen, Wandamen, dan Nabire bagian selatan
  • Wilayah Adat Domberai: melingkupi bagian kepala burung, yakni Manokwari, Babo, Bintuni, Wondama, Wasi, Sorong, Raja Ampat, Teminabuan, Inawatan, Ayamaru, Aifat, Aitinyo
  • Wilayah Adat Bomberai : Fak Fak, Kaimana, Kokonao, Mimika
  • Wilayah Adat Ha-anim: Merauke, Digoel, Muyu, Asmat, Mandobo
  • Wilayah Adat La-pago: Pegunungan Bintang, Wamena, Tiom, Kurima, Oksibil, Okbibab
  • Wilayah Adat Me-Pago: Puncak Jaya, Tolikara, Paniai, Nabire Pedalaman

Setiap wilayah adat memiliki Noken yang disebut dengan bahasa suku masing – masing. Misalnya Inoken (Suku Biak), Kangke/ Koroboi (Sentani), Su (Suku Hugula), Jum (Suku Dani), Sum (Suku Yali), Agiya (Suku Mee), Ese (Suku Asmat), dan Mok (Suku Moi). Bentuk noken untuk setiap suku pun bermacam – macam, dengan bentuk rajutan yang khas dan tingkat kelonggaran; ada yang seperti jaring, ada pula yang dianyam rapat.

Noken yang dikenal dengan berbagai nama menurut bahasa suku dalam 7 wilayah adat tersebut, memiliki makna filosofi yang kurang lebih sama, yakni sebagai simbol persaudaraan, persatuan, perlindungan terhadap kehidupan dan kesuburan. Kesamaan makna filosofi inilah, yang menjadikan noken kental sebagai ciri khas Papua. Tak hanya itu, makna filosofi noken yang sangat dalam itulah yang menjadikannya layak sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda.

Tanggal ditetapkannya Noken sebagai Warisan Budaya Dunia pun, disahkan sebagai Hari Noken Dunia, untuk diperingati setiap tanggal 4 Desember.

Sang Pengggagas Noken, Titus Pekey yang menyebut dirinya sebagai anak noken mengatakan :

“Menyelamatkan noken berarti menyelamatkan identitas dan jati diri Manusia Asli Papua, karena noken adalah warisan budaya yang sangat luhur di Tanah Papua.”[*]

peranperempuan.id